Sabtu, 06 Desember 2008

Zimbabwe


Kekuasaan Itu Membelenggu

Bermula dari pemilu presiden yang kontroversial, kini Zimbabwe terjerumus ke dalam krisis, tidak hanya politik dan ekonomi, tetapi juga kemanusiaan.

Kalau berita yang tersebar ke seluruh dunia lewat beragam media benar, kita dapat mengatakan bahwa itu adalah gambaran yang sangat memprihatinkan. Misalnya, ratusan tentara merampok bank karena tidak menerima gaji. Mereka juga menjarah pasar dan toko barang-barang lainnya yang masih buka di Harare, ibu kota Zimbabwe.

Sejak Agustus lalu tercatat 565 orang meninggal karena kolera yang kini meluas ke seluruh negara karena tiadanya air bersih dan buruknya sistem sanitasi. Kondisi sosial ekonomi Zimbabwe hancur berantakan. Inflasi tahunannya mencapai 231 juta persen. Angka pengangguran mencapai 80 persen (jumlah penduduk 13,34 juta jiwa). Rakyat terpaksa makan tikus.

Zimbabwe, negeri yang pernah dikenal sebagai ”lumbung Afrika” itu, kini tak berdaya karena digerogoti nafsu kekuasaan para pemimpinnya. Krisis bermula dari pemilu presiden Maret lalu. Hasil dari lapangan menunjukkan tokoh oposisi Morgan Tsvangirai memenangi pemilu. Namun, komisi pemilihan umum menyatakan bahwa kedua kandidat—Robert Mugabe dan Morgan Tsvangirai—sama-sama meraih 50 persen.

Pada saat yang bersamaan terjadi rangkaian pembunuhan terhadap para pendukung oposisi. Tercatat 200 orang dibunuh, 5.000 orang diculik, dan 200.000 orang diusir dari rumah mereka. Upaya untuk menyelesaikan krisis dilakukan dengan dukungan antara lain Afrika Selatan. Kedua belah pihak bersepakat untuk membangun pemerintahan bersama. Namun, kesepakatan itu hanya di atas kertas. Praktiknya tidak demikian.

Perampokan dan penjarahan oleh tentara menjadi indikasi runtuhnya aturan hukum, meskipun ada yang berpendapat perampokan itu direkayasa oleh kubu Mugabe untuk menjadi alasan pembenaran pemberlakuan undang-undang darurat.

Apa pun yang terjadi di Zimbabwe mengingatkan pada kita bahwa kecenderungan kekuasaan untuk memperbesar dirinya jauh lebih kuat daripada kemampuannya membatasi diri. Selain itu, kecenderungan kekuasaan untuk membenarkan diri juga lebih besar daripada kemampuannya mengkritik dan mengawasi dirinya.

Padahal, seorang pemimpin seharusnya adalah orang-orang yang dikaruniai kemampuan moral yang lebih tinggi dari kemampuan moral rata-rata orang kebanyakan. Akan tetapi, yang kita lihat justru sebaliknya: pemimpin yang secara moral tidak bisa mempertanggungjawabkan keluhurannya.

Tidak ada komentar: