Rabu, 15 April 2009

Merayakan Kemenangan Golput 2009

Oleh M FADJROEL RACHMAN

Kinerja KPU yang tak profesional dan berubahnya sistem pendaftaran calon pemilih menghasilkan daftar pemilih tetap busuk ”yang mencurigakan”. Akibatnya, Pemilu 2009 mengalami cacat kepercayaan. DPT mengalami penggelembungan dan penggembosan sekaligus.

Menggelembung karena penggandaan dan menggembos karena jutaan pemilih tak terdaftar. Akibatnya, golput pun membengkak, baik karena yang sengaja enggan memilih maupun karena terpaksa tidak bisa mencontreng. Tidak mustahil angka golput untuk Pemilu Legislatif 2009 dapat mencapai lebih dari 30 persen.

Artinya, golput mengalahkan Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P, yang berdasarkan hitung cepat Lembaga Survei Indonesia diramalkan meraih suara nasional masing-masing 20,29 persen, 14,77 persen, dan 14,28 persen. Bila perhitungan nasional memasukkan suara golput, Partai Demokrat hanya meraih 14 persen dari penduduk berusia 17 tahun ke atas, Partai Golkar dan PDI-P masing-masing cuma 10-an persen. Jadi, golput secara de facto memenangi Pemilu Legislatif 2009.

Hak konstitusional

Golongan putih adalah hak konstitusional, hak memilih untuk tidak memilih, yang dilindungi UUD 1945 Pasal 28E Ayat 2, Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Golput merupakan deklarasi perlawanan dan perjuangan yang tecermin dari wajah ganda golput, yaitu konfrontatif dan korektif. Melawan secara konfrontatif terjadi dalam rezim fasis-militeristik Soeharto-Orde Baru, sedangkan melawan dengan paduan korektif dan konfrontatif sekarang terjadi dalam ruang demokrasi yang dikuasai kekuatan politik-ekonomi soehartois-orbais.

Golput murni—bukan yang terpaksa—adalah salah satu cara untuk melawan ketidakadilan. Kakak beradik mahasiswa/i Hans Scholl dan Sophie Scholl serta Profesor Kurt Huber dari Universitas Muenchen, Jerman, ketiganya anggota kelompok Mawar Putih, mengatakan, ”Kami tak bisa dibungkam.” Tidak bisa dibungkam oleh ketidakadilan, ketiganya dihukum mati, tetapi hal ini memicu perlawanan terhadap rezim fasis-militeristik Adolf Hitler.

Sejak 1955 hingga 2009, jumlah golput terus meningkat meski alasan untuk golput berbeda. Bila golput dihitung dari pemilih yang tidak datang dan suara tidak sah, tercatat 12,34 persen (1955), 6,67 persen (1971), 8,40 persen (1977), 9,61 persen (1982), 8,39 persen (1987), 9,05 persen (1992), 10,07 persen (1997), 10,40 persen (1999), 23,34 persen (Pemilu Legislatif 2004), 23,47 persen (Pilpres 2004 putaran I), 24,95 persen (Pilpres 2004 putaran II). Pada pilpres putaran II, angka 24,95 persen setara dengan 37.985.424 pemilih. Sedangkan pada Pemilu Legislatif 2009, bila jumlah golput sekitar 30 persen atau dikalikan dengan DPT sesuai dengan Perppu No 1/2009 sebesar 171.265.442 jiwa, maka jumlah golput pada 2009 setara dengan 51.379.633 pemilih.

Memaksimalkan demokrasi

Pemilu Legislatif 2009 seolah berjalan mulus mewujudkan demokrasi prosedural dan substantif yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar seperti sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya. Namun, sulit untuk mengharapkan parlemen yang dihasilkannya mampu menuntaskan kejahatan HAM dan KKN Orba yang diamanatkan oleh MPR. Perubahan sangat terbatas, apatisme warga akibat terampasnya hak-hak dasar demokrasi jutaan calon pemilih dalam DPT tidak mustahil akan kian meningkatkan jumlah golput murni pada Pilpres Juli 2009 dan Pemilu 2014.

Jika memang dapat dibuktikan bahwa ada ”persekutuan” antara KPU dan pemerintah—dalam hal ini Departemen Dalam Negeri— untuk mengutak-atik DPT Pemilu Legislatif 2009, koalisi pemerintahan mendatang yang dipimpin oleh partai pemenang dapat dipertanyakan legitimasinya. Jika menjadi kekuatan yang absolut, baik di eksekutif maupun legislatif, dapat diperkirakan korupsi bakal dibiarkan (sekarang saja calon anggota legislatif yang diduga korupsi menolak dipanggil KPK dan tetap ikut pemilu), legislasi yang tidak melibatkan masyarakat, dan bermuara pada tirani mayoritas. Tanpa adanya check and balances yang memadai di parlemen karena lemahnya kubu oposisi, pemerintah akan semena-mena mengemban mandat rakyat.

Pilihan bagi masyarakat pada tahun 2014 tinggal dua: memberikan kesempatan kepada para caleg dan calon presiden muda dari kubu oposisi atau memboikot sama sekali pemilu. Dengan demikian, demokrasi akan berjalan lebih maksimal di Indonesia.

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

Avigdor Lieberman, Menlu Israel Bermata "Elang" dan Selalu Curiga kepada Arab

Avigdor Lieberman lahir 5 Juni 1958 di kota Kishinev, Moldova (dulu bagian dari Uni Soviet). Ia kebetulan selalu merayakan hari ulang tahunnya bersamaan dengan peringatan kemenangan Israel atas negara-negara Arab pada 5 Juni 1967 dan agresi Israel ke Lebanon pada 5 Juni 1982.

Kedua orangtuanya dikenal sebagai aktivis rahasia zionis di kotanya. Kedua orangtuanya adalah loyalis sayap kanan radikal dalam gerakan zionis.

Namun, keluarga Lieberman menganut paham sekuler. Lieberman cerdas dan cukup populer di Universitas Kiev, tempat ia belajar, karena menulis naskah drama degan judul ”Mahasiswa perguruan tinggi”. Dia meraih piagam sastra dari negara atas karyanya itu.

Namun, kariernya sebagai sastrawan di Rusia terputus ketika pada tahun 1978, saat berusia 20 tahun, dia hijrah ke Israel.

Semula Lieberman adalah pekerja kasar di Bandara David Ben Gurion dekat Tel Aviv. Dia adalah pekerja keras. Namun, ia segara masuk universitas di Jerusalem mengambil jurusan sosiologi. Ia belajar sebagai mahasiswa di siang hari dan bekerja sebagai petugas satpam di malam hari. Dengan pengalaman sebagai petugas satpam, ia selalu curiga kepada warga Arab secara keamanan.

Di universitas, ia terlibat dalam gerakan radikal kanan rasialis ”Kach” pimpinan Rabbi Meir Kahane. Gerakan Kach mengusung ide transfer atau pengusiran warga Arab tahun 1948 ke luar wilayah Israel. Warga Arab tahun 1948 adalah warga Arab yang memilih bertahan di wilayah Israel pascaperang Arab-Israel tahun 1948.

Akan tetapi, ambisi Lieberman untuk menjadi pemimpin membuat ia segera meninggalkan gerakan Kach dan bergabung dengan Partai Likud beraliran kanan. Saat itu, Partai Likud ada di bawah pimpinan Menachen Begin. Ia dipercaya untuk bekerja pada Kotak Dana Orang Sakit di Partai Likud.

Dua peristiwa

Pada awal tahun 1990-an, terjadi dua peristiwa penting dalam perjalanan politik Lieberman. Pertama, ia memilih tinggal di permukiman Yahudi Nokdim dekat kota Bethlehem, Tepi Barat. Hal itu menunjukkan, ia percaya dan mendukung perluasan permukiman Yahudi di wilayah Palestina.

Kedua, dia mengenal Benjamin Netanyahu yang baru pulang dari New York sebagai Dubes Israel untuk PBB.

Ketika Partai Likud pimpinan Yitzhak Shamir kalah dari Partai Buruh pimpinan Yitzhak Rabin pada pemilu legislatif tahun 1992, Netanyahu mengambil alih pimpinan Partai Likud dan mulai membangun kembali kekuatan dan pamor partai untuk bersiap bertarung lagi pada pemilu berikutnya. Netanyahu saat itu menunjuk Lieberman sebagai kepala kantornya.

Dari situ, kepemimpinan tangan besi Lieberman mulai tampak. Para aktivis Partai Likud mulai membuat perhitungan dengan Lieberman.

Partai Likud secara mengejutkan kemudian memenangi pemilu pada tahun 1996. pada saat itu, Netanyahu dan Lieberman sedang gencar-gencarnya melakukan aksi provokasi dengan menuduh Yitzhak Rabin sebagai pengkhianat karena menandatangani kesepakatan Oslo dengan Yasser Arafat.

”Membunuh Rabin”

Lieberman saat itu sering memimpin unjuk rasa dengan mengangkat poster Yitzhak Rabin mengenakan seragam militer Nazi Jerman. Kubu Partai Buruh sempat menuduh Netanyahu dan Lieberman sebagai penggerak provokasi agar membunuh Rabin. Rabin lalu dibunuh oleh ekstremis Yahudi pada bulan November tahun 1995.

Meski demikian, Netanyahu dan Lieberman memenangi pemilu tahun 1996.

Netanyahu kemudian menunjuk Lieberman sebagai Kepala Kantor PM Israel. Banyak pegawai di Kantor PM, yang dipimpin Lieberman, tidak tahan dan memilih keluar lantaran sikap diktator Lieberman.

Lieberman lalu terlibat dugaan korupsi di kantornya yang membuat ia harus berhadapan dengan polisi. Ia kemudian dipaksa mengundurkan diri. Namun, Lieberman saat itu berdalih pengunduran dirinya sebagai Kepala kantor PM sebagai protes atas tindakan PM Netanyahu menandatangani kesepakatan damai Hebron tahun 1997 dan Wye River tahun 1998.

Ia lalu mendirikan sebuah partai bernama Yisrael Beiteinu (Israel adalah Rumahku) untuk para imigran Yahudi dari Rusia. Lieberman memilih nama tersebut untuk partai barunya sebagai protes atas sikap negara yang memperlakukan imigran Yahudi dari Rusia sebagai warga asing dan membiarkan para profesor imigran Yahudi-Rusia itu bekerja sebagai tukang pembersih sampah.

Pada pemilu 1999, Yisrael Beiteinu pimpinan Lieberman secara mengejutkan berhasil mendapatkan empat kursi Knesset (parlemen Israel).

Ketika Partai Likud pimpinan Ariel Sharon memenangi pemilu tahun 2001, Lieberman masuk jajaran kabinet dan menjabat sebagai Menteri Komunikasi.

Lieberman masih menganggap Sharon terlalu moderat dan memilih mengundurkan diri dari kabinet Sharon sebagai protes atas tindakan Sharon mundur dari Desa Abu Saninah dekat Hebron, yang selama ini menjadi lokasi permukiman Yahudi.

Pada pemilu 2006, Yisrael Beiteinu berhasil meraih 11 kursi Knesset. Lieberman masuk dalam kabinet pimpinan PM Ehud Olmert dari Partai Kadima.

Lieberman ditunjuk sebagai Deputi PM dan Menteri Urusan Strategis dalam kabinet PM Olmert itu. Namun, ia mengundurkan diri lagi dari kabinet PM Olmert sebagai protes atas konferensi damai Annapolis yang digalang AS pada bulan November tahun 2007 dengan melibatkan Israel.

Pada pemilu 10 Februari lalu, Yisrael Beiteinu berhasil meraih 15 kursi yang mengantarkan Lieberman menduduki posisi sebagai Menteri Luar Negeri.

”Saya tidak percaya pada pemimpin Palestina mana pun. Presiden Mahmoud Abbas adalah pemimpin Palestina yang paling bahaya. Mesir adalah negara Arab paling bahaya,” ujar Lieberman dalam suatu pertemuan dengan para mantan Dubes Rusia untuk Israel pada tahun 2001.

Lieberman pun menganggap dirinya sebagai pemimpin Israel yang ditunggu-tunggu dan dibutuhkan negara Israel.

Namun, wacana politik Lieberman kini berubah dengan menyebut bahwa Iran adalah negara paling bahaya saat ini. Di urutan berikutnya yang dia anggap berbahaya adalah warga Arab, yang tahun 1948 pernah berdiam di wilayah yang kini menjadi Israel.

Kini Lieberman berjanji akan meluncurkan konsep perdamaian baru dalam beberapa pekan mendatang untuk menggantikan konsep damai yang telah ada. Ia menyebut konsep damai yang ada sejak konferensi Madrid tahun 1991 hingga Annapolis tahun 2007 tidak becus membawa perdamaian.

Namun, perdamaian di bawah PM Netanyahu, dengan keberadaan Lieberman, tampaknya akan sulit dengan segala kecurigaan kepada pihak Arab.

Lieberman beristrikan Ella Tzipkin dan dikaruniai dua putri dan satu putra. (mth)

Thaksin: Saya "Dikerjai" Para Jenderal dan Elite

"Saya dikerjai para jenderal, termasuk Prem Tinsulanonda, penasihat kerajaan. Mereka adalah para elite Thailand yang selama ini menikmati kenyamanan politik yang berstruktur lemah,” demikian dikatakan mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra dalam berbagai wawancara dengan BBC, Aljazeera, dan Far Eastern Economic Review dalam sepekan terakhir.

Aljazeera mengatakan, Thaksin berada di Dubai, Uni Emirat Arab, tetapi televisi lainnya tidak menyebutkan lokasi Thaksin.

Kantor Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva, Bangkok, Selasa (14/4), menyebutkan, kini diusahakan penangkapan terhadap Thaksin dan 12 dalang demonstrasi para pendukung Thaksin, dengan alasan mengganggu ketenangan umum.

Thaksin sendiri membantah bahwa dia telah mendalangi dan membiayai aksi demonstrasi itu. ”Saya hanya memberikan dukungan moral kepada mereka. Jangan kira mereka itu, yang umumnya warga pedesaan dan miskin, bodoh soal politik,” kata Thaksin.

Manipulasi

Thaksin bertutur bahwa suksesnya secara politik dan dukungan yang mengkristal dari warga pedesaan telah mengganggu legitimasi dan kelanggengan elite lama di Thailand, terutama Partai Demokrat, payung politik Abhisit.

”Para tokoh Demokrat, para jenderal, akhirnya bergabung dengan Aliansi Rakyat untuk Demokrasi untuk menjungkalkan saya,” kata Thaksin.

”Mereka pun menuduh saya tidak loyal kepada Raja Bhumibol Adulyadej. Saya sangat loyal kepada Raja, tetapi para elite itu melakukan rekayasa untuk menyingkirkan saya hanya karena kelanggengan politik mereka terganggu dengan keberadaan saya,” papar Thaksin.

Thaksin melanjutkan, berbagai cara telah dilakukan para elite Thailand untuk menggusurnya. Hal ini dimulai dengan kudeta tak berdarah 2006, pembubaran parlemen, dan penyelenggaraan pemilu. ”Namun, dalam pemilu saya terbukti tetap mendapat dukungan politik dan partai saya menang,” kata Thaksin.

”Saya tidak berpikir untuk kembali. Saya hanya ingin agar rakyat pedesaan mendapatkan perhatian. Saya selalu ingin melakukan yang terbaik. Saya tidak sempurna sebagai orang, tetapi tetap mencoba yang terbaik,” katanya. (MON)

Hezbollah Lebanon Dituduh Menggoyang Mesir

Oleh Musthafa Abd Rahman

Mesir bikin kejutan dengan menangkap jaringan antek-antek Hezbollah Lebanon dalam beberapa hari terakhir ini dengan tuduhan mengancam keamanan negara. Hezbollah menolak keras tuduhan itu.

Pemimpin Hezbollah Lebanon, Sheikh Hassan Nasrullah, dalam pidatonya melalui televisi Al Manar hari Jumat (10/4) mengakui, Sami Shihab yang kini ditangkap di Mesir adalah anggota Hezbollah.

Menurut Nasrullah, Sami Shihab mendapat tugas khusus membantu logistik menyelundupkan senjata ke Jalur Gaza, Palestina. Opini di Timur Tengah kembali terbelah antara pihak yang pro dan kontra terhadap Hezbollah.

Itulah potret baru Timur Tengah yang karut-marut. Perbedaan antara prinsip kedaulatan sebuah negara dan kemuliaan dari misi membela perjuangan rakyat Palestina menjadi sangat tipis, bahkan tumpang tindih.

Kekaburan perbedaan tersebut kini memicu keributan antara Mesir dan Hezbollah Lebanon selama pekan ini.

Sejarah kelam pun berulang di Timur Tengah, sebagaimana biasanya. Peristiwa Black September tahun 1970 antara PLO dan Pemerintah Jordania, yang berakhir dengan diusirnya PLO dari Jordania, adalah juga akibat tidak jelasnya koridor antara prinsip kedaulatan sebuah negara, dalam hal ini Jordania, dan kemuliaan misi membela perjuangan rakyat Palestina, yang menggunakan wilayah Jordania.

Saat itu, PLO dengan dalih perlawanan terhadap pendudukan Israel terus memperkuat diri dengan mendatangkan berbagai jenis senjata yang diimpor dari pelbagai negara.

PLO, tanpa koordinasi dengan Jordania, melancarkan serangan-serangan terhadap Israel di dekat perbatasan dengan Jordania.

Pertempuran Israel-Palestina paling terkenal terjadi di Desa Karamah (daerah perbatasan Israel-Jordania) tahun 1968, yang memaksa Israel mundur dari arena pertempuran. Pada saat itu, banyak korban dari pihak pasukan Yahudi.

Merebut Kerajaan Jordania

Sejak itu, PLO merasa lebih kuat dan bahkan meremehkan Jordania. Slogan ”Perlawanan di atas segalanya” pun kemudian muncul di jalan-jalan raya di kota Amman dan kota lainnya di Jordania.

Perilaku gerilyawan Palestina saat itu bak berada di atas hukum dan seakan-akan Jordania adalah negerinya sendiri. Singkat kata, PLO seperti berada di atas angin.

Situasinya kemudian semakin tidak terkendali hingga meletus peristiwa upaya PLO mengambil alih kekuasan Raja Hussein bin Talal di Jordania pada bulan September 1970 yang kemudian dikenal dengan Black September 1970.

Pertempuran berdarah pun tak terhindar antara gerilyawan bersenjata Palestina dan pasukan Jordania yang masih setia kepada Raja Hussein bin Talal di jalan-jalan raya kota Amman.

Akhirnya, pasukan Jordania mampu membekuk gerilyawan Palestina dan Yasser Arafat dengan PLO-nya diusir dari negeri itu. Yasser Arafat dan PLO kemudian pindah markas ke Lebanon (1970-1982).

Terulang lagi di Lebanon

Yasser Arafat dan PLO mengulang lagi aksinya di Lebanon, seperti yang pernah dilakukan di Jordania. Kekuatan militer PLO di Lebanon semakin kuat hingga saat itu PLO mampu mengontrol wilayah Lebanon Selatan yang langsung berhadapan dengan perbatasan Israel.

Yasser Arafat dalam wawancara dengan sebuah majalah bulanan Arab pada tahun 1990-an mengakui bahwa PLO pernah mengontrol kebijakan pemerintahan di Lebanon dalam beberapa waktu.

Apa yang terjadi di Lebanon kemudian justru lebih dahsyat dari apa yang terjadi di Jordania. Lebanon terjerat perang saudara selama 15 tahun (1975-1990). Pihak PLO berandil besar di dalamnya.

Akhirnya, Israel ikut melancarkan agresi besar-besaran ke Lebanon pada tahun 1978 dan dilakukan lagi pada tahun 1982. Aksi Israel ini berhasil memaksa PLO keluar dari Lebanon. PLO kemudian pindah markas lagi ke Tunisia. Era perlawanan bersenjata PLO lalu berakhir dengan dicapainya kesepakatan Oslo tahun 1993.

Muncul pemain baru

Kemudian muncul Hezbollah sebagai pemain baru dalam arena perlawanan bersenjata terhadap Israel. Para aktivis Hezbollah semula banyak mendapat latihan militer dari para perwira Palestina, sewaktu PLO masih berada di Lebanon.

Pascahengkangnya PLO dari Lebanon tahun 1982, para pengawal revolusi Iran mengambil alih dalam melatih pemuda-pemuda Hezbollah itu. Hezbollah yang lahir secara resmi pada tahun 1982 lalu mengibarkan bendera sendiri dalam melancarkan aksi perlawanan terhadap Israel.

Kelompok Hezbollah makin membesar, hingga seperti negara dalam negara di Lebanon. Perilaku Hezbollah pun pada tahun 1980-an dan 1990-an seperti PLO pada tahun 1970-an. Hezbollah menguasai wilayah Lebanon Selatan dan sering melancarkan serangan terhadap Israel tanpa koordinasi dengan pemerintah pusat Lebanon.

Itulah yang menyebabkan Israel melancarkan serangan besar ke Lebanon tahun 1996 dan pada 2006. perlawanan Hezbollah memang membawa hasil besar, yakni memaksa Israel mundur dari Lebanon Selatan pada bulan Mei tahun 2000, setelah menduduki wilayah ini selama 22 tahun, sejak tahun 1978.

Akan tetapi, gerak Hezbollah pasca-agresi Israel ke Lebanon tahun 2006 sudah dibatasi dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 1701 yang juga mengakhiri agresi Israel itu.

Resolusi DK PBB tersebut memberi mandat kepada pasukan Pemerintah Lebanon dan UNIFIL (Pasukan Perdamaian PBB untuk Lebanon) memperluas penyebaran wilayah ke Lebanon Selatan untuk menyangga perbatasan Israel dan gerilyawan Hezbollah.

Adanya pasukan penyangga itu membuat gerilyawan Hezbollah tidak leluasa lagi mencapai perbatasan Israel.

Pindah ke Jalur Gaza

Wilayah Lebanon Selatan relatif dipasung dengan Resolusi DK PBB itu. Hal ini mengalihkan gerakan perlawanan bersenjata terhadap Israel ke Jalur Gaza yang dikontrol oleh Hamas.

Pengalaman Hamas mampu bertahan dari serangan besar Israel selama 22 hari, dari 27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009, membuat kelompok properlawanan bersenjata, seperti Hezbollah dan juga Iran, menjadikan Jalur Gaza sebagai ujung tombak melawan Israel secara militer.

Jalur Gaza kini adalah satu-satunya wilayah terbuka yang berbatasan langsung dengan Israel, tanpa ada batasan atau pasungan dari Resolusi DK PBB. Israel telah mencoba menawarkan penempatan pasukan perdamaian internasional di sepanjang perbatasan Mesir-Jalur Gaza, seperti UNIFIL di Lebanon Selatan. Mesir menolak keras tawaran Israel tersebut.

Itulah yang membuat Hezbollah dan juga Iran kini melihat Jalur Gaza sebagai wilayah terbuka.

Hambatan satu-satunya menuju Jalur Gaza adalah geografis, yakni harus melewati Mesir. Bagi Hezbollah dan Iran, Mesir bukan negara sahabat. Berbeda dengan posisi Suriah yang merupakan negara sahabat dan bisa menjadi wilayah pertahanan belakang bagi gerilyawan Hezbollah di Lebanon Selatan.

Hezbollah memutuskan menggunakan segala cara untuk mencapai Jalur Gaza dengan menyusupkan orang-orangnya ke Mesir. Muncul tuduhan bahwa penyusupan itu bertujuan menguasai pemerintahan Mesir. Kemudian muncul berita pengeboman oleh pesawat tempur Israel atas konvoi truk yang membawa senjata di pelabuhan Sudan pertengahan Januari lalu. Senjata itu akan dikirim ke Jalur Gaza melalui Sudan dan Mesir.

Prinsip Hezbollah saat ini seperti PLO tahun 1970-an, yakni perlawanan di atas segala-galanya meskipun harus mengobrak-abrik kedaulatan negara lain demi kemuliaan misi membela perjuangan Palestina.

Mesir tentu saja marah besar dan menolak diperlakukan seperti itu.

Lebih Baik DPR Dipimpin Oposisi


Rabu, 15 April 2009 | 04:24 WIB

Jakarta, Kompas - Agar keseimbangan tetap terjaga, akan lebih baik jika pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat mendatang berasal dari fraksi yang merupakan oposisi pemerintah. Pimpinan DPR pun semestinya dipilih langsung oleh anggota DPR sebagaimana pada periode sebelumnya.

Usulan itu disampaikan Ketua Fraksi Kebangkitan Bangsa (F-KB) DPR Effendy Choirie di Jakarta, Selasa (14/4). Dengan pimpinan DPR berasal dari fraksi oposisi diyakini mekanisme kontrol terhadap pemerintah bisa berjalan dengan baik.

Effendy menyebutkan, rumusan itu masih bisa diperjuangkan sekalipun sebenarnya rumusan bahwa pimpinan DPR berasal dari partai politik pemenang pemilu sudah disepakati saat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD pada Oktober silam. ”Masih bisa dibongkar itu,” kata dia.

Pemenang pemilu

Catatan Kompas menyebutkan, rapat Panitia Khusus RUU Susduk bersama pemerintah pada 20 Oktober 2008 sebenarnya menyepakati pimpinan DPR diisi oleh parpol pemenang pemilu. Jumlah unsur pimpinan DPR nantinya menjadi lima orang, terdiri atas seorang ketua dan empat wakil ketua. Sekalipun soal asal pimpinan DPR sudah disepakati, mekanisme pemilihan pimpinan DPR ini belum dirumuskan.

Secara terpisah, Ketua Panitia Khusus RUU Susduk Ganjar Pranowo mengakui, sebelum keputusan akhir di Rapat Paripurna DPR, kesepakatan yang dicapai masih bisa diperdebatkan kembali. Kesepakatan dahulu bahwa pemenang pemilu menjadi ketua DPR didasari pertimbangan agar tidak terjadi politisasi dalam pemilihan pimpinan DPR. Rumusan tersebut juga didasari keinginan menghormati parpol pemenang pemilu.

Hanya memang masih belum disepakati apakah pengisian itu secara otomatis atau tetap lewat mekanisme formal pemilihan. ”Namun, kekhawatiran saya bukan itu. Ini RUU bisa selesai atau tidak?” kata Ganjar.

Realitas sekarang masih banyak materi krusial dalam RUU Susduk yang belum tuntas, seperti cluster mengenai MPR dan DPRD. Sejak awal pembahasan, komitmen politik untuk merampungkan RUU tepat waktu sangat dibutuhkan, sekalipun semua sependapat RUU itu ditargetkan rampung secepatnya. Mendekati pemilu, dan terutama kini setelah pemilu legislatif, pansus masih sulit untuk menyusun kembali jadwal pembahasan. (dik)

CALEG ARTIS

Parlemen Bisa Mudah Didikte Pemerintah
Rabu, 15 April 2009 | 04:28 WIB

Jakarta, Kompas - Dominannya calon anggota legislatif dari kalangan selebriti dan keturunan elite partai memperbesar kemungkinan penurunan kualitas dan kinerja parlemen periode 2009-2014. Bukannya mengawal kebijakan dan komitmen terkait kesejahteraan rakyat, parlemen bisa mudah didikte eksekutif.

Hal ini disampaikan Kepala Pusat Peneliti Politik LIPI Syamsuddin Haris dan pengamat politik Reform Institute, Yudi Latief, seusai menjadi pembicara dalam diskusi di Pusat Tabulasi Nasional bertajuk ”Profil Ideal Wakil Rakyat Pemilu 2009”, Selasa (14/4) di Jakarta.

Yudi mengatakan, keputusan Mahkamah Konstitusi yang membuat sistem suara terbanyak dalam penentuan keterpilihan memaksa caleg tak hanya mengandalkan restu partai politik. Namun, mereka harus membuktikan adanya dukungan masyarakat di tataran akar rumput.

Namun, karena keputusan diterbitkan setelah proses pemilu dimulai, penyusunan daftar caleg tidak disiapkan untuk sistem itu. Akibatnya, banyak calon berkemampuan, yang semestinya menang, gagal dalam sistem yang baru. Sebaliknya, banyak figur tanpa kapasitas tetapi populer yang malah lolos ke Senayan.

Beberapa selebriti itu antara lain Nova Riyanti Yusuf (Partai Demokrat) DKI II no 2 dengan 4.492 suara pada Selasa (14/4) petang, Jamal Mirdad (Partai Gerindra/Jateng I/1) dengan 6.274 suara, Nurul Arifin (Partai Golkar/Jabar VII/1) dengan 8.106 suara, Adrian Maulana (PAN/ Sumbar II/3) dengan 1.585, dan Venna Melinda (Demokrat/ Jatim VI/3) dengan 2.498 suara.

Beberapa caleg keturunan elite politik antara lain adalah Halida Hatta (Gerindra/DKI II/1) dengan 2.733, Budi Satrio Djiwandono (Gerindra/DKI II/2) dengan 1.056, Edhie Baskoro Yudhoyono (Demokrat/Jatim VI/3) dengan 23.037 suara, Guruh Irianto Sukarnoputra (PDI-P/Jatim I/1) dengan 3.676 suara, dan Putra Baskara Baramuli Saroyo (Golkar/Jatim VI/7) dengan 1.169 suara.

Tak miliki kapasitas

Banyaknya caleg yang tidak memiliki kapasitas, kapabilitas, dan kompetensi sebagai wakil rakyat, menurut Syamsuddin, akan berdampak pada kinerja badan-badan legislasi hasil Pemilu 2009. Itu karena semestinya para wakil rakyat memiliki pemahaman minimal mengenai parlemen, hubungan parlemen dan eksekutif, serta pembuatan kebijakan dan perundang-undangan.

Konsekuensi logisnya, tutur Syamsuddin, adalah komitmen legislatif untuk kesejahteraan, keadilan, pemberantasan kemiskinan, dan penurunan angka pengangguran tidak akan maksimal. ”Bukan tidak mungkin, bila Dewan tak berkualitas, parlemen didikte oleh eksekutif. Hal ini jelas tidak sehat untuk masa depan bangsa,” kata Syamsuddin.

Menurut Yudi, selebriti tidak mempunyai wawasan dasar soal legal drafting dan persoalan-persoalan di luar diri mereka.

Dari Semarang dilaporkan, calon anggota DPD asal Jawa Tengah, yakni desainer Poppy Dharsono dan Ketua Umum PGRI Sulistiyo, bersaing dalam pemilu legislatif

Empat nama calon anggota DPD dari Provinsi DI Yogyakarta juga hampir dapat dipastikan terpilih sebagai anggota DPD periode 2009-2014.

Mereka adalah Gusti Kanjeng Ratu Hemas (anggota DPD), Hafidh Asrom (anggota DPD), Cholid Mahmud (anggota DPRD DIY, yang juga anggota Majelis Syuro DPP PKS), serta Afnan Hadikusumo (anggota DPRD DIY dan Wakil Ketua Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY).(ina/MHF/REK/HEI/ WHO/RWN/MHF/REK/HEI)

Isu Koalisi, PKS Terbelah


Rapimnas Khusus Golkar Bukan untuk Geser Kalla
Rabu, 15 April 2009 | 04:31 WIB

Jakarta, Kompas - Sikap Partai Keadilan Sejahtera terkait dengan kemungkinan berkoalisi dengan Partai Demokrat masih terbelah menyusul munculnya kembali opsi duet Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla.

Sekretaris Jenderal PKS M Anis Matta sebelumnya menyatakan bahwa partainya bakal menarik diri dari koalisi jika Yudhoyono diduetkan kembali dengan Kalla.

Namun, Wakil Ketua Bidang Politik PKS Zulkieflimansyah di Jakarta, Selasa (14/4), menyebutkan, calon wapres sebaiknya dibicarakan seluruh mitra koalisi. ”Kalau Golkar ikut dan semua mitra koalisi sepakat Pak JK, saya kira PKS akan setuju dan ikut,” kata Zulkieflimansyah.

Zulkieflimansyah menyebutkan, penolakan kader PKS berkoalisi dengan Partai Golkar bisa dipahami. Kenyataannya sampai sekarang kader kedua parpol ini sering berhadap-hadapan di lapangan. ”Tapi, kalau Wiranto saja bisa bertemu dengan Prabowo, masak kita tidak bisa meniru yang bagus?” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Partai Golkar Agung Laksono menyebutkan bahwa Partai Golkar harus realistis melihat keadaan. Namun, Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla sudah diminta untuk melakukan komunikasi dan lobi politik, terutama arahnya ke Susilo Bambang Yudhoyono dan Partai Demokrat.

Menurutnya, Partai Golkar belum membahas rencana PKS menarik diri. Agung mengatakan, ”Janganlah dibiasakan ancam-mengancam.”

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Charta Politica Bima Arya Sugiarto menilai Partai Amanat Nasional (PAN) dan PKS merupakan partai tengah yang akan memainkan peran penting dalam menentukan koalisi presiden mendatang. Apalagi, kinerja kedua partai itu stabil.

Dalam koalisi untuk mengusulkan kandidat presiden, menurut Bima, PAN mempunyai posisi yang lebih bebas. ”Kalau agak pragmatis, ya bergabung dengan Partai Demokrat. Kalau ingin agak ideologis atau membesarkan partai, mungkin membangun koalisi baru, misalnya dengan Gerindra yang dari segi platform ideologi memang cocok dengan PAN,” ujarnya.

Kalla tak digeser

Ketua DPP Partai Golkar Theo Sambuaga mengatakan, Jusuf Kalla memang harus mempertanggungjawabkan perolehan suara partainya yang tidak mencapai target. Namun, pertanggungjawaban Kalla bukan di munas luar biasa, tetapi pada munas reguler yang akan diadakan Desember mendatang.

Forum Rapat Konsultasi Nasional dengan pimpinan Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar yang akan diselenggarakan Kamis (16/4) dan rapimnas khusus 23 April mendatang sama sekali tidak membicarakan soal pertanggungjawaban, apalagi untuk menggeser Kalla. Acara itu khusus membahas laporan dan evaluasi hasil pemilu dari seluruh DPD dan membahas rencana koalisi dan pencalonan Kalla sebagai Presiden dan Wapres.

Adapun peneliti senior LIPI, Ikrar Nusa Bhakti, menilai dimajukannya kembali duet SBY-JK bakal berdampak buruk memecah-belah Partai Golkar. Perpecahan terjadi karena sebagian anggota Golkar akan menilai Kalla tidak konsisten dan tidak bersikap ksatria dengan ucapannya sebelumnya, yaitu deklarasi untuk maju berkompetisi sebagai capres.

”Sebagai orang Sulawesi Selatan, Kalla yang masih memegang kuat adat istiadat suku Bugis mau tidak mau harus mundur dari Ketua Umum Partai Golkar sekaligus tidak maju lagi sebagai calon wapres berpasangan dengan capres Yudhoyono,” ujar Ikrar.(DIK/MAM/HAR/DWA)

Demokrasi di Ujung Senjata


Dua orang tewas! Seratus dua puluh tiga orang terluka. Rakyat terpecah belah. Dan, militer kembali campur tangan. Para investor resah.

Itulah harga ”yang harus dibayar” oleh Thailand setelah terjadi tiga pekan demonstrasi yang dihadapi dengan kekuatan militer. Demonstrasi antipemerintah yang dilakukan oleh kekuatan pro-Thaksin, mantan perdana menteri, yang sebagian besar adalah orang-orang pinggiran, masyarakat dari kelas bawah, memberikan pesan yang tegas bahwa bangunan politik di Thailand begitu rentan; rumah demokrasi Negeri Gajah Putih itu mudah goyah.

Mengapa pertumpahan darah seakan menjadi semacam prasyarat bagi tegaknya demokrasi di negeri monarki konstitusional dengan sistem pemerintahan demokrasi parlementer itu?

Sekadar catatan, sejak Thailand menjadi monarki konstitusional pada tahun 1932, sudah 17 piagam dan konstitusi diberlakukan di negeri itu. Hal tersebut memberikan cerminan tingginya instabilitas politik di Thailand. Dan, setiap kali terjadi kudeta militer—sejak tahun 1932 hingga kini sudah terjadi 18 kali kudeta militer. Setiap kali kudeta, setiap kali pula konstitusi dibatalkan.

Apa yang terjadi saat ini, sekali lagi, memberikan gambaran betapa sebenarnya bangunan demokrasi di negeri itu sangat bergantung pada posisi dan sikap militer. Dengan kata lain, militer tetap memainkan peran penentu dalam perimbangan kekuatan.

Tahun 2006, pemerintahan Thaksin Shinawatra dikudeta militer. Tahun lalu pecah demonstrasi antipemerintah pro-Thaksin. Pemerintah jatuh, militer diam saja. Kini para pendukung Thaksin kembali bergerak untuk balas dendam hendak menggusur pemerintahan PM Abhisit Vejjajiva, militer kembali ikut bermain, yakni membela Abhisit dan memukul mundur para demonstran.

Sampai kapan pola semacam itu terjadi? Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Akan tetapi, demokrasi baru akan bisa tumbuh dan berkembang serta akhirnya menjadi bangunan yang kuat di Thailand kalau ada keberanian untuk menyingkirkan ancaman intervensi militer di pemerintahan yang demikian kronik dan kemudian dibarengi dengan penguatan institusi-institusi demokrasi.

Bila institusi demokrasi masih lemah dan para elite politik justru memanfaatkan atau bahkan cenderung menyenderkan kepentingannya pada kekuatan militer, bangunan demokrasi di negeri itu tidak akan dapat berdiri dengan kokoh.

Serangkaian peristiwa politik belakangan ini membuktikan bahwa hal itu masih kuat. Dan, bukan berarti bahwa demonstrasi antipemerintah berakhir juga berarti bahwa ”utang” pemerintah sudah terbayar. Belum! Potensi terjadinya krisis politik masih terbuka. Demikian pula potensi campur tangan militer masih ada.

Jumat, 10 April 2009

Najib Singkirkan Pengikut Badawi


Jumlah Menteri Kabinet Dikurangi Jadi 28
Jumat, 10 April 2009 | 09:41 WIB

Kuala Lumpur, Kamis - Perdana Menteri Malaysia Najib Razak di Kuala Lumpur, Kamis (9/4), mengumumkan susunan kabinet yang terdiri atas 28 orang. Banyak orang dekat mantan PM Abdullah Badawi yang disingkirkan dan digantikan dengan orang-orang yang dekat dengan Najib.

”Ini adalah tim kita, yang saya harap akan memberikan kekuatan kepada Barisan Nasional dalam membantu kita meraih kembali kepercayaan masyarakat,” ungkap Najib.

PM baru Malaysia itu menambahkan, era pemerintahan yang mempraktikkan kontrol secara berlebihan dan berperilaku bahwa pemerintah tahu yang terbaik telah berlalu.

”Tim kita menggambarkan masyarakat Malaysia yang plural,” ujar Najib saat mengumumkan jajaran kabinetnya lewat televisi nasional.

Jumlah menteri dikurangi dari 32 pada masa Badawi menjadi 28 menteri. Jumlah kementerian pun dikurangi dari 27 menjadi 25.

Posisi Menteri Keuangan tetap dirangkap oleh Najib. Adapun mantan Menteri Perdagangan Muhyiddin Yassin yang terpilih sebagai Wakil Ketua Umum Partai Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) diangkat menjadi Wakil PM sekaligus menjabat sebagai Menteri Pendidikan.

Mesin baru

Delapan menteri yang tidak diberi tempat dikenal sebagai orang-orang dekat Abdullah Badawi. Seperti dilaporkan Bernama, mereka adalah Syed Hamid Albar (sebelumnya Menteri Dalam Negeri), Azalina Othman Said (Menteri Pariwisata), Muhammad Muhammad Taib (Menteri Pembangunan Perkotaan dan Kawasan), Amirsham A Aziz (Kepala Departemen Perdana Menteri), Ong Ka Chuan (Menteri Perumahan dan Pemerintahan Lokal), Mohd Zin Mohamed (Menteri Lapangan Kerja), Zulhasnan Rafique (Menteri Wilayah-wilayah Federal), dan Shahrir Abdul Samad (Menteri Perdagangan Dalam Negeri dan Urusan Konsumen).

Menantu Abdullah Badawi yang terpilih sebagai Ketua Pemuda UMNO, Khairy Jamaluddin, tidak diberi posisi menteri seperti biasanya. Khairy sendiri secara diplomatis menjawab, Najib telah memintanya berkonsentrasi mengatasi kekurangan dukungan bagi UMNO di kalangan pemuda, yang akhir-akhir ini makin mendukung oposisi.

Sejumlah pengamat mengatakan, jajaran kabinet itu akan membantu Najib mewujudkan ambisi-ambisinya. ”Posisi-posisi kunci dipegang orang-orang yang dekat dan loyal kepadanya. Itu akan menjadi mesin baru bagi dia,” kata Yang Razali Kassim dari S Rajaratnam School of International Studies di Singapura.(AP/AFP/OKI)

Protes Kaum Muda Moldova


Kemenangan Partai Komunis Moldova, dalam pemilu parlemen beberapa hari lalu, harus dibayar dengan pecahnya demonstrasi ribuan kaum muda.

Partai Komunis di bawah pimpinan Presiden Vladimir Voronin memenangi 50 persen suara atau 61 kursi dari 101 kursi parlemen yang diperebutkan. Adapun Partai Liberal meraih 13 persen suara dan Partai Demokratik Liberal memperoleh 12 persen.

Pemantau pemilu internasional menyatakan, pemilu dilaksanakan secara fair meski ada campur tangan pihak berwenang. Karena itu, kaum muda menuding kemenangan diraih secara tidak fair dan direkayasa.

Para demonstran, sebagian besar kalangan mahasiswa dan pencari kerja, menyatakan mayoritas pemilih dan pendukung Partai Komunis adalah orang-orang tua, tetapi banyak di antara mereka yang kini sakit-sakitan.

Sementara itu, jumlah pemilih muda sekarang lebih banyak dibanding orang tua. Karena itu, bagaimana mungkin Partai Komunis bisa memenangi pemilu. Kecurigaan itulah yang memicu pecahnya protes yang kemudian menjadi anarki. Polisi pun menangkap 193 demonstran.

Menurut berita yang tersiar, sekitar 10.000 kaum muda turun ke jalan. Mereka menyerbu gedung-gedung pemerintah dan merusaknya; membakar kursi dan potret presiden. Ajakan untuk memprotes pemilu disebarluaskan lewat SMS, Facebook, penyeranta, dan e-mail, meniru aksi serupa di Ukraina (2004) dan Belarus (2006).

Aksi itu sebenarnya dipicu oleh buruknya kondisi sosial-ekonomi. Moldova, negara kecil yang terletak di antara Romania dan Ukraina, seluas 33.800 kilometer persegi, dan berpenduduk 3,8 juta jiwa, adalah negeri yang miskin.

Setelah lepas dari Uni Soviet tahun 1991, nasib Moldova tak seperti negara-negara Eropa Timur lainnya, yang bisa keluar dari krisis politik dan ekonomi. Moldova tetap dijerat krisis. Karena itu, pada tahun 2001 rakyat marah dan kembali mendukung komunis yang di masa lalu punya program-program sosial.

Akan tetapi, harapan mereka tak kesampaian. Kondisi perekonomian tetap buruk. Kaum miskin menumpuk. Banyak anak muda dan terpelajar mencari kerja ke Barat. Bahkan ada yang mendesak agar Moldova bergabung dengan Romania.

Krisis keuangan global menghapus pula peluang kerja di luar Moldova. Mereka kembali ke negerinya, tetapi tanpa pekerjaan. Anak-anak muda menginginkan kehidupan yang lebih baik. Mereka tak mau hanya berpenghasilan 150 dollar AS per bulan. Ujungnya, gerakan antikomunis pun meledak. Dan, pemilu menjadi momentum.

Ini yang tidak ditangkap penguasa, yang hanya memburu kemenangan demi kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Bisa jadi ini lonceng awal revolusi di Moldova yang diteriakkan kaum muda yang menuntut perubahan.

Minggu, 05 April 2009

G-20 London, Sejarah Mencatat

Simon Saragih

Ketika para pemimpin dunia bertemu, di mana saja, terutama di negara demokrasi sejati, hampir selalu muncul aksi-aksi demonstrasi. Tidak heran jika pertemuan selalu dilakukan di lokasi yang tidak dijangkau umum. Indonesia pun pernah menjadi sasaran demonstrasi, terutama di bawah kepemimpinan almarhum Soeharto pada era Orde Baru, yang sudah tidak lagi baru.

Isu Timor Timur merupakan salah satu aib bagi Indonesia hingga pertemuan APEC di Vancouver, Kanada, tahun 1996. Indonesia bisa saja meredam aspirasi, tetapi dunia tidak buta dan solidaritas universal tak terlumpuhkan dan jadilah Indonesia jadi sasaran aksi protes.

Dekade 1990-an, sasaran lain adalah China, yang sarat dengan pelanggaran hak asasi manusia dan kekejaman Tentara Rakyat China, yang dianggap tidak cinta rakyatnya. Sekeras apa pun China meredam rakyatnya, jeritan pilu warga tetap terdengar.

Terima kasih pada teknologi informasi dan semangat baja rekan sejagat, aib di negara mana saja mereka selalu bawakan. Heboh, seru, hingga fatal, demikian aksi-aksi demonstran terus berlanjut hingga sekarang dengan tensi yang terus meningkat.

Aksi terbaru mereka adalah protes terhadap pada pemimpin G-20, tetapi sasaran utamanya adalah negara-negara markas kapitalis, korporasi global dengan segala reputasi yang menjulang dan demikian harumnya selama 60 tahun terakhir.

Apakah mereka demonstran bayaran seperti yang sering kita dengar di Indonesia, di mana ada demonstran membela yang bayar, bukan membela yang benar?

Rasanya tidak. Dalam dua puluh tahun terakhir, aksi-aksi demonstran umumnya bertemakan anti-neokolonialisme, kapitalisme. Sasaran terbaru adalah kecaman hingga perusakan perusahaan dan rumah eksekutif bisnis, yang selama ini tampil necis dengan dasi berkilau, mobil mewah, tetapi terbukti telah menjadi pemicu krisis terbesar sejak tahun 1929.

Kapitalisme kanibal

Di samping demonstran jalanan, ada banyak kolumnis yang memberontak tatanan dunia baru, yang diwujudkan dengan keberadaan IMF, Bank Dunia, dan WTO, yang juga dianggap sebagai corong kapitalisme. Sejarah akhirnya membuktikan, Bank Dunia, IMF, dan WTO, yang dikuasai Eropa dan AS bukan badan penolong warga lemah, tetapi corong bagi kapitalis dengan payung ”malaikat”.

Juga ada Forum Sosial Dunia, yang diikuti para pemimpin negara, yang bertujuan mengkritik neokolonialisme.

Namun, semua aksi ini hanya seperti angin berlalu, yang tidak pernah bisa mengubah kolonialisme, oleh korporasi yang bermarkas di Wall Street, New York, dan Lombard Street, London.

Akumulasi kesalahan, keserakahan Wall Street, Lombard Street secara alamiah sudah tidak tertahankan lagi. Eksekutif dan korporasi yang tidak pernah puas dengan ekspansi demi ekspansi bisnis akhirnya menjadi kanibal di antara sesama Wall Street dan Lombard Street, dengan perwakilan mereka yang ada juga di Singapura, Hongkong, dan negara-negara safe haven.

Dunia tidak lagi hanya dihadapkan pada ketimpangan Utara-Selatan, penyedotan kekayaan negara berkembang yang miskin, dan ketidakadilan perdagangan.

Dunia kini juga mengalami fenomena, di mana para pemodal kaya pun tak berani bertaruh di pasar uang. Mereka trauma oleh daya sedot ala Lehman Brothers, yang membuat investasi mereka tak lebih dari sekadar kertas tisu.

Terjadi aksi saling makan, antara korporasi Wall Street dan Lombard Street. Muncullah rangkaian kebangkrutan, yang titik beratnya terjadi di AS. Washington Mutual (bank terbesar AS), Bear & Stearn, Lehman Brothers, Enron, Long Term Capital Management, Fannie Mae, dan Freddy Mac adalah korporasi besar dan ternama di AS yang kini sudah beristirahat di pusara bisnis.

Citigroups, Merrill Lynch, dan American International Group walaupun masih ada, sudah berkubang dengan masalah keuangan. Di Inggris, Swiss, Perancis, dan Jepang, juga ada bisnis besar yang tiarap.

Melenceng dari bisnis

Lalu, muncul aksi AS di bawah Presiden AS George W Bush, mengatasi masalah dengan menurunkan suku bunga bank, mengguyur uang ke pasar. Masalah diatasi dengan obat yang salah. Langkah yang dilakukan bukan menghentikan kesalahan korporasi, yang sudah melenceng dari jalur bisnisnya.

Contoh yang paling fatal soal itu adalah pernyataan Gubernur Bank Sentral AS Ben Bernanke. Menurut Bernanke, perusahaan asuransi terbesar dunia asal AS, AIG, yang secara de facto adalah perusahaan asuransi, yang harusnya ekstra waspada, tak lagi merupakan perusahaan asuransi tetapi telah menjelma mirip hedge fund.

AIG menjadi bisnis yang turut terjerembab aksi-aksi Wall Street yang terus dan terus ingin laba besar dengan menjalankan bisnis spekulatif, yang didasarkan pada asas zero sum game,di mana untung sebuah perusahaan akan menjadi kerugian pihak lain.

Ekonomi dan bisnis yang benar adalah mengembangkan kue ekonomi agar menjadi besar dan dari perkembangan kue itu terjadilah pembagian keuntungan.

Di bawah Presiden Barack Obama, sebagaimana dikritik Paul Krugman, Obama juga melanjutkan kesalahan Bush meski dengan faith yang berbeda. Jika Bush melakukan itu untuk membela ”teman-teman” di Wall Street, Obama melakukannya dengan alasan mencegah fenomena too big to fail.

Karena itu, dalam G-20, di mana PM Inggris sebagai tuan rumah melanjutkan patron Anglo-Saxon, merujuk pada Inggris- AS. Sasaran utama G-20 London pada awalnya adalah melanjutkan misi AS agar dunia mengguyur pasar lagi dengan uang, bahkan bila perlu, pemerintah meminjam dari pasar untuk mengguyur pasar dengan uang.

Urat nadi lumpuh

Masalahnya, pasar bukan sedang kekurangan uang. Hal yang terjadi di pasar adalah badan-badan keuangan, urat nadi perekonomian, sedang lumpuh. Uang yang diguyur ke pasar tak lagi mampu diserap urat nadi itu.

Muncullah kemarahan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy, didukung Kanselir Jerman Angela Merkel. Intinya, keduanya mengatakan, aturlah, awasilah pasar.

Sasaran kemarahan Sarkozy yang lain, kendalikanlah tax haven, produk buatan kolonialis Inggris, yang melahirkan Singapura, Hongkong, dan 33 negara atau teritori lain yang juga menjadi tax haven.

Logika di balik kemarahan Sarkozy, negara-negara seperti Singapura dan saudari-saudarinya telah menjadi pelindung para kapitalis pemangsa, lokasi penyimpanan uang haram, lokasi aksi-aksi spekulasi yang melahirkan fenomena kanibal di sektor keuangan.

Muncul pula seruan Sarkozy, agar IMF, Bank Dunia, dan lembaga internasional lain dirombak karena tidak lagi melayani kepentingan global.

Suara Sarkozy ini sebenarnya baru datang belakangan. Suara serupa sudah dicuatkan Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, Presiden Venezuela Hugo Chavez, dan Presiden Bolivia Evo Morales.

Inilah hebatnya sebuah kekuatan, yang membuat gertakan Sarkozy didengar. Sarkozy dan Merkel mengancam tidak akan menandatangani komunike G-20 jika regulasi tidak diperkuat dan jika badan-badan keuangan dunia tidak direformasi.

Apakah akan ada perubahan besar dalam sistem keuangan global? Dalam waktu cepat, hal ini tidak akan terlihat dan akan butuh waktu lama untuk mewujudkannya.

Namun, sejarah akan mencatat Sarkozy, sekaligus mencatat G-20 London, yang puluhan atau mungkin ratusan tahun ke depan, akan dianggap sebagai fakta sejarah bahwa kapitalisme dengan jiwa greedy, tidak akan bertahan lama.

Adalah bisnis yang back to basic, yang selalu melahirkan pertumbuhan langgeng, berkesinambungan, dan menguntungkan banyak orang.

Jumat, 03 April 2009

Badawi Resmi Mundur


Oposisi Sampaikan Petisi, Minta Raja Tunda Pelantikan Najib
Jumat, 3 April 2009 | 03:16 WIB

Kuala Lumpur, Kamis - Abdullah Ahmad Badawi hari Kamis (2/4) resmi menyampaikan permohonan pengunduran dirinya sebagai perdana menteri kepada Raja Malaysia Yang Dipertuan Agong Tuanku Mizan Zainal Abidin. Raja pun menerima pengunduran diri tersebut.

Dengan pengunduran diri Abdullah itu, maka Jumat (3/4) ini Wakil Perdana Menteri Najib Razak akan diambil sumpahnya di istana raja sebagai perdana menteri baru Malaysia.

”PM Abdullah memberikan pengunduran dirinya kepada raja. Raja memahami dan menerimanya,” ungkap seorang pejabat senior Malaysia.

Akan tetapi, berbarengan dengan penyerahan pengunduran diri Abdullah itu, sebanyak 81 anggota parlemen dari kubu oposisi pun menyampaikan petisi bersama kepada raja. Isi petisi adalah meminta raja menunda pengambilan sumpah Najib sampai dia benar-benar bersih dari tuduhan korupsi dan keterlibatan dalam pembunuhan seorang perempuan muda asal Mongolia. Namun, kecil kemungkinan raja akan menuruti permintaan itu.

Sejumlah analis mengatakan, Najib menghadapi tantangan yang besar untuk menggairahkan kembali organisasi Melayu Bersatu (UMNO) serta mencegah Malaysia terpengaruh oleh kemunduran ekonomi global.

Produksi barang-barang industri turun 20,2 persen dibandingkan bulan yang sama tahun sebelumnya. Penjualan barang manufaktur pun turun 22,7 persen dan ekspor turun 27,8 persen, yang merupakan tingkat terendah sejak tahun 2001.

Perpisahan

Pada hari terakhirnya sebagai PM, seperti dilaporkan The New Straits Times online, Abdullah mengadakan makan siang perpisahan untuk sekitar 130 staf kantor perdana menteri dan kementerian pertahanan di kediaman resminya.

Dalam pesan terakhirnya, Abdullah meminta agar seluruh pegawai negeri tetap berkomitmen pada pekerjaan mereka dan mengambil langkah tegas untuk mendorong majunya sektor-sektor publik, dengan memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat.

Abdullah akan diingat karena memberikan ruang kebebasan publik yang lebih besar ketimbang PM yang digantikannya, Mahathir Mohamad. Akan tetapi, dia gagal memenuhi janjinya untuk memberantas korupsi, mereformasi peradilan, serta memperkuat lembaga-lembaga pelayanan publik. (AP/AFP/OKI)