Rabu, 15 April 2009

Merayakan Kemenangan Golput 2009

Oleh M FADJROEL RACHMAN

Kinerja KPU yang tak profesional dan berubahnya sistem pendaftaran calon pemilih menghasilkan daftar pemilih tetap busuk ”yang mencurigakan”. Akibatnya, Pemilu 2009 mengalami cacat kepercayaan. DPT mengalami penggelembungan dan penggembosan sekaligus.

Menggelembung karena penggandaan dan menggembos karena jutaan pemilih tak terdaftar. Akibatnya, golput pun membengkak, baik karena yang sengaja enggan memilih maupun karena terpaksa tidak bisa mencontreng. Tidak mustahil angka golput untuk Pemilu Legislatif 2009 dapat mencapai lebih dari 30 persen.

Artinya, golput mengalahkan Partai Demokrat, Partai Golkar, dan PDI-P, yang berdasarkan hitung cepat Lembaga Survei Indonesia diramalkan meraih suara nasional masing-masing 20,29 persen, 14,77 persen, dan 14,28 persen. Bila perhitungan nasional memasukkan suara golput, Partai Demokrat hanya meraih 14 persen dari penduduk berusia 17 tahun ke atas, Partai Golkar dan PDI-P masing-masing cuma 10-an persen. Jadi, golput secara de facto memenangi Pemilu Legislatif 2009.

Hak konstitusional

Golongan putih adalah hak konstitusional, hak memilih untuk tidak memilih, yang dilindungi UUD 1945 Pasal 28E Ayat 2, Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. Golput merupakan deklarasi perlawanan dan perjuangan yang tecermin dari wajah ganda golput, yaitu konfrontatif dan korektif. Melawan secara konfrontatif terjadi dalam rezim fasis-militeristik Soeharto-Orde Baru, sedangkan melawan dengan paduan korektif dan konfrontatif sekarang terjadi dalam ruang demokrasi yang dikuasai kekuatan politik-ekonomi soehartois-orbais.

Golput murni—bukan yang terpaksa—adalah salah satu cara untuk melawan ketidakadilan. Kakak beradik mahasiswa/i Hans Scholl dan Sophie Scholl serta Profesor Kurt Huber dari Universitas Muenchen, Jerman, ketiganya anggota kelompok Mawar Putih, mengatakan, ”Kami tak bisa dibungkam.” Tidak bisa dibungkam oleh ketidakadilan, ketiganya dihukum mati, tetapi hal ini memicu perlawanan terhadap rezim fasis-militeristik Adolf Hitler.

Sejak 1955 hingga 2009, jumlah golput terus meningkat meski alasan untuk golput berbeda. Bila golput dihitung dari pemilih yang tidak datang dan suara tidak sah, tercatat 12,34 persen (1955), 6,67 persen (1971), 8,40 persen (1977), 9,61 persen (1982), 8,39 persen (1987), 9,05 persen (1992), 10,07 persen (1997), 10,40 persen (1999), 23,34 persen (Pemilu Legislatif 2004), 23,47 persen (Pilpres 2004 putaran I), 24,95 persen (Pilpres 2004 putaran II). Pada pilpres putaran II, angka 24,95 persen setara dengan 37.985.424 pemilih. Sedangkan pada Pemilu Legislatif 2009, bila jumlah golput sekitar 30 persen atau dikalikan dengan DPT sesuai dengan Perppu No 1/2009 sebesar 171.265.442 jiwa, maka jumlah golput pada 2009 setara dengan 51.379.633 pemilih.

Memaksimalkan demokrasi

Pemilu Legislatif 2009 seolah berjalan mulus mewujudkan demokrasi prosedural dan substantif yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar seperti sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya. Namun, sulit untuk mengharapkan parlemen yang dihasilkannya mampu menuntaskan kejahatan HAM dan KKN Orba yang diamanatkan oleh MPR. Perubahan sangat terbatas, apatisme warga akibat terampasnya hak-hak dasar demokrasi jutaan calon pemilih dalam DPT tidak mustahil akan kian meningkatkan jumlah golput murni pada Pilpres Juli 2009 dan Pemilu 2014.

Jika memang dapat dibuktikan bahwa ada ”persekutuan” antara KPU dan pemerintah—dalam hal ini Departemen Dalam Negeri— untuk mengutak-atik DPT Pemilu Legislatif 2009, koalisi pemerintahan mendatang yang dipimpin oleh partai pemenang dapat dipertanyakan legitimasinya. Jika menjadi kekuatan yang absolut, baik di eksekutif maupun legislatif, dapat diperkirakan korupsi bakal dibiarkan (sekarang saja calon anggota legislatif yang diduga korupsi menolak dipanggil KPK dan tetap ikut pemilu), legislasi yang tidak melibatkan masyarakat, dan bermuara pada tirani mayoritas. Tanpa adanya check and balances yang memadai di parlemen karena lemahnya kubu oposisi, pemerintah akan semena-mena mengemban mandat rakyat.

Pilihan bagi masyarakat pada tahun 2014 tinggal dua: memberikan kesempatan kepada para caleg dan calon presiden muda dari kubu oposisi atau memboikot sama sekali pemilu. Dengan demikian, demokrasi akan berjalan lebih maksimal di Indonesia.

M Fadjroel Rachman Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan (Pedoman Indonesia)

Tidak ada komentar: