Sabtu, 28 Februari 2009

Palestina


Fatah dan Hamas Setuju Rekonsiliasi
Sabtu, 28 Februari 2009 | 00:40 WIB

Kairo, Kompas - Konferensi rekonsiliasi Palestina yang diikuti 12 faksi politik di Kairo, Mesir, ditutup hari Kamis (26/2) malam dengan kesepakatan mengakhiri perpecahan, khususnya antara Hamas dan Fatah. Mereka juga sepakat membentuk lima komite dan satu komite pengarah bagi rekonsiliasi itu.

Lima komite itu adalah komite pemilu, komite pembentukan pemerintah persatuan nasional, komite pembentukan aparat keamanan, komite reformasi lembaga PLO, dan komite rekonsiliasi. Adapun komite pengarah beranggotakan Mesir, Liga Arab, dan para pemimpin faksi Palestina yang bertugas mengontrol kinerja dan membantu suksesnya misi dari lima komite itu.

Lima komite itu mulai bekerja 10 Maret dan dijadwalkan berakhir sebelum 20 Maret. Adapun pemilu Palestina direncanakan sebelum 25 Januari 2010.

Rekomendasi dari konferensi itu menegaskan bahwa digelarnya dialog rekonsiliasi itu berarti faksi-faksi Palestina telah menutup halaman yang menyakitkan akibat perpecahan dan memulai lembaran baru menuju persatuan dan rekonsiliasi.

Rekomendasi konferensi yang dibacakan ketua delegasi Fatah, Ahmed Qorei, dalam temu pers pascaselesainya konferensi rekonsiliasi itu menyatakan pula bahwa anggota komite-komite itu telah ditentukan dan juga sudah disepakati pedoman kerjanya secara umum.

Rekomendasi itu meminta segera dibebaskannya semua tahanan politik, baik di Tepi Barat maupun Jalur Gaza, menghentikan semua aksi penangkapan dan pelanggaran hak asasi manusia serta yang mencederai prinsip-prinsip demokrasi.

Ketua delegasi Hamas yang juga deputi ketua biro politiknya, Mousa Abu Marzuk, menyatakan, hari ini adalah hari yang akan dicatat sejarah karena hari ini menyaksikan adanya satu kata antara faksi-faksi Palestina.

Marzuk lalu mengungkapkan, komite keamanan bertugas membentuk aparat keamanan yang profesional dan nonpartisan. ”Siapa pun yang hendak masuk menjadi anggota aparat keamanan harus menanggalkan baju faksi politik dan segera memakai baju seragam militer yang mengabdi kepada segenap rakyat Palestina,” papar Marzuk.

Tentang perlawanan, Marzuk menegaskan, perlawanan adalah hak rakyat Palestina selama masih ada penjajahan di tanah Palestina.

Menyangkut Gerbang Rafah antara Mesir dan Jalur Gaza, Marzuk mengungkapkan, Gerbang Rafah akan tetap dibuka untuk kemanusiaan dan akan ada pembaruan atas kesepakatan tahun 2005 soal operasional Gerbang Rafah. ”Pemerintah sementara yang akan dibentuk akan menangani masalah Gerbang Rafah itu,” tutur Marzuk. (mth)

Rabu, 18 Februari 2009

Hillary dan Politik Luar Negeri RI


Rabu, 18 Februari 2009 | 00:03 WIB

Ketika Senin kemarin Menlu AS Hillary Rodham Clinton tiba di Tokyo, Jepang, mengawali lawatannya ke beberapa negara Asia—Jepang, Indonesia, Korea Selatan, dan China—saat itu pula ia menabrak tradisi yang biasa dilakukan menlu baru AS. Biasanya, yang pertama dikunjungi untuk memulai masa jabatannya adalah sekutu AS di Eropa dan Timur Tengah.

Sekadar gambaran bahwa lawatan perdana Hillary menabrak tradisi, lawatan perdana Menlu James Baker III (1989) pada zaman Presiden George HW Bush adalah Kanada dan Eropa Barat. Lalu Warren Christopher (1993) pada masa Presiden Bill Clinton ke negara-negara di Timur Tengah, Madeleine Albright (1997) pada masa Presiden Bill Clinton ke sekutu AS di Eropa Barat, Colin Powell (2001) pada zaman Presiden George W Bush ke Timur Tengah (Mesir, Arab Saudi, Israel, Gaza, Tepi Barat, dan Jordania), dan Condoleezza Rice (2005) pada masa Presiden George W Bush ke Inggris, Jerman, Polandia, dan Timur Tengah.

Dari sini jelas bahwa apa yang dilakukan Hillary saat ini adalah di luar kebiasaan. Dalam pidato pertamanya sebagai menlu, Jumat lalu, Hillary secara gamblang mengatakan bahwa selama beberapa tahun terakhir AS kurang memberikan perhatian yang pantas pada Asia. Bukan tanpa maksud kalau dia mengatakan hal itu.

Tujuan yang pertama, kiranya adalah Hillary ingin menarik garis yang tegas antara kebijakan luar negeri zaman Presiden Barack Obama dan Presiden George W Bush. Yang kedua, ia ingin mengemukakan sebuah cara pandang terhadap Asia. Washington melihat arti penting kawasan Asia yang tengah berkembang, baik dalam pertumbuhan ekonomi maupun politik dan pengaruh. Karena itu, Asia menjadi agenda penting politik luar negeri AS.

Jepang dan Korea Selatan jelas sekutu AS. Bahkan, Jepang merupakan sekutu tertua AS di kawasan Asia Timur dan Tenggara. Karena itu, lawatan Hillary ke kedua negara menjadi semacam peneguhan sikap perhatian AS terhadap mereka. China sebagai kekuatan besar Asia, bahkan dunia, terlalu sayang untuk dilewatkan begitu saja. AS sangat membutuhkan China misalnya dalam menyelesaikan masalah Korea Utara.

Indonesia

Lalu, mengapa Indonesia juga menjadi tujuan dalam lawatan perdananya ini? Seberapa besar arti Indonesia bagi AS?

Fakta yang tidak mungkin dibantah, pertama, Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah India dan AS sendiri. Kedua, Indonesia adalah negara yang berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Ketiga, Indonesia negara berpenduduk terbanyak keempat di dunia. Keempat, Indonesia adalah negara terbesar di antara 10 negara anggota ASEAN.

Hal-hal itu sangat berarti bagi AS yang memiliki misi untuk ”menyebarkan” nilai-nilai demokrasi, yang menurut pidato Obama akan membangun hubungan dengan dunia Islam berdasarkan penghargaan dan kepentingan timba balik. Apalagi, ada keyakinan bahwa abad Asia segera datang yang para pemainnya antara lain negara-negara yang saat ini dikunjungi Hillary, selain India kiranya.

Dengan mampu menjalin hubungan baik dengan Indonesia, AS berharap akan mampu juga menjalin hubungan baik dengan negara-negara Islam di dunia. Hal itu penting dalam kaitannya untuk menyelesaikan masalah Timur Tengah, Irak, Afganistan, dan hubungannya yang kurang baik dengan Iran. Sebaliknya, inilah saatnya bagi Indonesia untuk berperan lebih aktif dalam panggung internasional, semisal upaya pencarian perdamaian Timur Tengah, tidak selalu low profile. Sudah saatnya pula Indonesia tampil ke depan keluar atau melampaui sekadar kawasan ASEAN.

Bila demikian, dengan setumpuk ”modal” yang dimiliki, Indonesia akan semakin diperhitungkan. (ias)

Tzipi Livni Memilih Perdamaian


Rabu, 18 Februari 2009 | 00:01 WIB

jerusalem, senin - Kandidat perdana menteri Israel dan Ketua Partai Kadima, Tzipi Livni, Senin (16/2), menyebutkan, Israel tidak memiliki pilihan lain selain melanjutkan perundingan perdamaian dengan Palestina yang didukung komunitas internasional. ”Kita harus melanjutkan rencana perdamaian yang muncul di pertemuan Annapolis,” kata Livni di depan para pemimpin komunitas Yahudi AS di Jerusalem.

Livni menambahkan, jika proses perundingan perdamaian itu tidak berlanjut, Israel tidak akan bisa meraih simpati dan dukungan internasional saat menghadapi persoalan Iran, Hizbollah di Lebanon, atau Hamas di Jalur Gaza. Di dalam perundingan langsung Israel dan Palestina di Annapolis, Maryland, AS, November 2007, berlangsung proses negosiasi yang terfokus pada isu status Jerusalem, garis perbatasan negara Palestina, dan nasib para pengungsi Palestina.

Namun, sampai saat ini proses perdamaian itu tidak juga memberikan hasil positif, apalagi saat ini, proses perdamaian terhenti seiring dengan proses pemilihan parlemen Israel. Pada pemilihan parlemen kali ini Livni (Menteri Luar Negeri Israel) berhadapan dengan mantan Perdana Menteri Israel sekaligus Ketua Partai Likud Benjamin Netanyahu.

”Mayoritas rakyat Israel tahu persis apabila tetap ingin menjadi negara Yahudi yang merdeka, satu-satunya solusi adalah dengan membagi wilayah yang ada. Kita tetap bisa berunding sambil melawan terorisme ,” kata Livni.

Usulan barter

Dengan kata lain, menurut Livni, Israel harus rela dan bersedia menyerahkan sebagian wilayahnya untuk ”ditukar” dengan perdamaian dengan Palestina. Inilah yang jelas membedakan Livni dengan Netanyahu. Di dalam proses perdamaian Annapolis, ada solusi dua negara yang berarti Palestina dan Israel masing-masing berdiri sebagai dua negara yang hidup berdampingan dengan damai.

Sebagian wilayah yang dimaksud Livni itu adalah Gaza, Jalur Gaza, dan Tepi Barat. Selama ini Livni menilai akan lebih baik jika Israel tidak memasukkan daerah yang masuk ke wilayah Palestina dalam lingkup kedaulatan Israel.

Livni mengulangi pendapat itu saat diwawancara stasiun televisi Channel 2. ”Pemerintahan saya pasti meraih kemajuan dalam proses perdamaian itu. Saya tidak setuju proses itu dihentikan. Saya sudah siap jika harus bergabung dengan oposisi,” ujarnya.

Partai tengah Kadima pimpinan Livni sebelumnya telah mengusulkan pembagian kekuasaan di antara Kadima dan Likud (sayap kanan) karena tak ada satu pun yang mendapat perolehan suara mayoritas dalam pemilihan parlemen, 10 Februari. Kadima meraih 28 kursi dan Likud 27 kursi. Meski Kadima unggul satu kursi, berbagai pihak yakin Netanyahu yang akan menjadi PM baru Israel.

Jika hal itu terjadi, sejak awal Kadima sudah menegaskan akan memilih masuk ke oposisi. Netanyahu telah menegaskan perundingan perdamaian Timur Tengah sebaiknya diutamakan pada masalah perbaikan kualitas hidup rakyat Palestina sebelum perundingan isu-isu penting yang lain dimulai. Saat menjadi PM Israel termuda pada tahun 1996, Netanyahu menghenti- kan proses perdamaian dan memulai perluasan permukiman Yahudi.

Netanyahu tidak bersedia menarik diri dari wilayah Palestina. Ia mengatakan tidak mau mengulangi kesalahan Israel yang menarik diri dari Jalur Gaza pada 2005 hingga membuka pintu pada Hamas. Netanyahu menegaskan, tak ingin menguasai Palestina. Meski demikian, Israel harus mempertahankan kendali perbatasan darat, air, dan udara. ”Rakyat Palestina harus bisa mengatur hidup mereka sendiri, tetapi jangan sampai mengancam Israel,” ujarnya. (AFP/AP/LUK)

Selasa, 17 Februari 2009

Chavez Bisa Terus Berkuasa di Venezuela


54 Persen Dukung Amandemen Konstitusi

EPA/David Fernandez
Pendukung Presiden Venezuela Hugo Chavez berpesta di Caracas, ibu kota Venzuela, Minggu (15/2), setelah referendum memenangi suara ya bagi amandemen konstitusi penghapusan pembatasan jabatan presiden hanya dua periode. Chavez yang ingin mencalonkan diri kembali sebagai presiden setelah dua kali berkuasa hingga tahun 2013 meraih suara dukungan hingga 54 persen.
Selasa, 17 Februari 2009 | 00:44 WIB

Caracas, Senin - Presiden Venezuela Hugo Chavez hari Minggu (15/2) meraih kemenangan dalam referendum amandemen konstitusi pembatasan masa jabatan. Kemenangan ini memungkinkan Chavez tetap berkuasa selama dia mengalahkan saingan-saingannya dalam pemilu di negara Amerika Latin itu.

Lembaga pemilu Venezuela mengatakan, 54 persen pemilih menyetujui amandemen konstitusional untuk menghapus batas jabatan presiden, gubernur, anggota parlemen dan walikota hanya dua kali periode masa jabatan. Kini Chavez boleh mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu tahun 2012. Chavez sudah berkuasa sejak tahun 1992.

”Mereka yang memberikan suara ’ya’ hari ini telah memberikan suara bagi sosialisme, bagi revolusi,” kata Chavez pada ribuan pendukungnya yang memadati jalan-jalan di sekitar istana kepresidenan. Kembang api menerangi langit Caracas. Seorang pria berjalan di kerumunan massa membawa gambar Chavez dengan tulisan ”Selamanya”.

Dengan 94 persen suara referendum sudah dihitung, hasil resmi menunjukkan amandemen konstitusi disetujui dengan suara 56 berbanding 46 persen. Para pemimpin oposisi menerima hasil referendum itu.

Tibisay Lucena, Ketua Dewan Pemilihan Nasional, mengatakan, sejumlah 67 persen dari sekitar 16 juta pemilih memberikan suaranya dalam referendum itu. Chavez pernah kalah dalam referendum serupa pada Desember 2007.

Amandemen konstitusional itu memungkinkan semua pejabat pemerintah mencalonkan diri untuk dipilih kembali sebanyak yang mereka inginkan apabila mereka memenangi pemilu. Chavez mengajukan amandemen ini karena ingin berkuasa lebih lama dalam misinya menjadikan Venezuela yang sungguh sosialis. ”Waktu sepuluh tahun terlalu sedikit,” ujarnya.

”Tahun 2012 akan ada pemilu presiden dan kalau Tuhan tidak memutuskan lain, kalau rakyat tidak memutuskan lain, prajurit ini telah siap,” kata Chavez yang telah mengatakan ingin berkuasa sampai tahun 2049 kala dia berusia 95 tahun.

Dengan krisis global yang melenda Amerika Latin, termasuk Venezuela, saat ini, Chavez tidak berani mengumumkan kebijakan baru seperti biasanya. Dia hanya bertekad memerangi kejahatan dan korupsi serta mengonsolidasikan program sosialisnya tahun ini. Harga minyak yang turun dan perekonomian memburuk membuat manuver Chavez terbatas.

Oposisi memperingatkan, langkah Chavez untuk berulang kali mengikuti pemilu bisa membuatnya menjadi diktator. Oposisi yang didukung gerakan mahasiswa gagal dalam upaya mencegah Chavez yang dicap gila kekuasaan. (Reuters/AP/AFP/DI)

Minggu, 15 Februari 2009

Fatwa Haram Golongan Putih


Jum'at, 30 Januari 2009 | 17:39 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan tindakan seseorang untuk tidak memilih, yang populer disebut sebagai golput (golongan putih), dalam pemilihan umum, menuai kontroversi. Bukan hanya karena wilayah politik bukan ranah dan kompetensi MUI. Namun keputusan seseorang yang memilih untuk tidak memilih (choose not to elect) dalam pemilu maupun pemilihan presiden adalah hak asasi manusia yang harus dijamin oleh negara.

Negara, termasuk MUI, harus menghormati dan bertindak secara pasif untuk tidak melakukan intervensi yang bisa menyebabkan terjadinya pelanggaran hak politik seseorang. Dengan fatwa yang kontroversial ini, MUI dianggap semakin menjauh dari fungsi dan mandat hakikinya sebagai penjaga moral, bahkan bisa melanggar hak berpolitik seseorang dengan alasan agama.

Hak untuk memilih dan hak untuk dipilih adalah hak politik yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Hak politik tersebut bertujuan mengartikulasikan aspirasi dan pendapat seseorang dalam proses pembentukan para penyelenggara pemerintahan di eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, hak seseorang yang memilih untuk tidak mempergunakan hak pilihnya secara sadar adalah bentuk kesadaran berpolitik kontemporer yang tak bisa divonis sebagai tindakan yang melanggar agama atau haram.

Dalam fatwa MUI tersebut dijelaskan bahwa apabila ada calon yang memenuhi syarat-syarat--jujur, amanah, bertakwa, mempunyai kemampuan, dan bisa memperjuangkan kepentingan umat Islam--umat Islam yang telah mempunyai hak pilih wajib mempergunakan hak pilihnya. Haram hukumnya jika tidak mempergunakan hak pilihnya.

Padahal keputusan seseorang yang memilih untuk tidak mempergunakan hak pilihnya bisa disebabkan oleh setidaknya dua soal, yaitu teknis dan substantif. Persoalan teknis di antaranya bisa disebabkan oleh tidak terdaftarnya seseorang dalam daftar pemilih tetap atau karena berhalangan secara fisik untuk hadir di tempat pemungutan suara karena sakit atau karena sulitnya akses menuju tempat pemungutan suara. Apabila alasan teknis ini berakibat seseorang tidak bisa mempergunakan hak pilihnya lalu divonis haram oleh MUI, betapa absurdnya.

Sedangkan secara substantif atau material, keputusan untuk tidak mempergunakan hak pilih didasarkan pada kesadaran pribadi maupun kolektif bahwa belum ada calon yang memenuhi kriteria untuk dipilih. Dan bisa juga karena sikap apatis masyarakat karena tidak adanya perubahan kehidupan sejak Reformasi digulirkan, sehingga keputusan untuk tidak memilih disebabkan oleh keadaan sudah tak berharap (hopeless). Dalam pandangan dan pengalaman penulis, keputusan untuk tidak memilih untuk saat ini disebabkan oleh kesadaran kritis yang meningkat di masyarakat, sehingga mereka tidak gampang diperalat dan dimobilisasi untuk kepentingan partai politik atau calon tertentu. Masyarakat akan memilih calon jika ada manfaat secara kolektif yang bisa diberikan oleh calon tersebut bagi masyarakat.

Dalam pengalaman pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten/kota madya dan provinsi yang berlangsung selama kurun waktu 2007 sampai 2008, angka mereka yang tidak mempergunakan hak pilih atau golongan putih sangat signifikan: rata-rata 30-50 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar. Dengan demikian, golongan putih sering menjadi pemenang dalam setiap pilkada. Rendahnya tingkat penggunaan hak pilih dengan kecenderungan yang semakin besar ini tampaknya menggusarkan para politikus di negeri ini, termasuk MUI.

Seharusnya, sebelum MUI mengeluarkan fatwa bahwa golput itu haram, dipelajari terlebih dulu akar penyebab rendahnya penggunaan hak pilih. Menurut penulis, akar persoalan rendahnya penggunaan hak pilih adalah hambatan struktural, di mana sistem hukum yang ada tidak bisa mengakomodasi aspirasi warga. Contohnya untuk calon presiden, yang harus diusulkan melalui jalur partai politik atau gabungan partai politik yang minimal mempunyai 25 persen kursi di parlemen. Demikian pula calon anggota legislatif, yang pencalonannya harus melalui jalur partai, yang sangat sering melalui proses "politik dagang sapi". Salah satu kekurangan utama dalam hukum pemilihan umum kita saat ini adalah tidak mengakomodasi jalur independen. Padahal banyak calon potensial yang bisa menjadi pemimpin yang kapabel, namun mereka menjadi terhambat.

Dengan demikian, fatwa MUI tersebut ibarat petunjuk jalan tapi menuju arah yang tidak tepat, sehingga tidak akan membawa umat kepada kehidupan politik dan berbangsa yang lebih baik. Bahkan bisa menjerumuskan bangsa ini jika tidak hati-hati dalam menyikapinya. Contohnya, jika fatwa ini menjadikan banyak orang--yang selama ini patuh pada fatwa MUI--asal-asalan dalam memilih, sehingga pemilu menghasilkan pejabat-pejabat dan anggota Dewan yang tidak kapabel, malah bisa menjerumuskan bangsa ini pada titik nadir kehidupan berbangsa.

Jikalau MUI hendak berkontribusi dalam memperbaiki iklim politik di Tanah Air dan berkeinginan mencetak pemimpin yang memegang amanah, seharusnya MUI menjabarkan kriteria calon pemimpin yang sudah disebutkan, untuk kemudian melakukan record-tracking. Hasil ini akan memberikan panduan dan rujukan yang konkret bagi masyarakat, siapa yang pantas dipilih dan tidak pantas dipilih, versi MUI. Dengan fatwa yang substansinya bukan merupakan kompetensi MUI ini, bisa jadi MUI akan terdelegitimasi. Setiap fatwa MUI nantinya akan diabaikan dan tidak lagi menjadi pijakan bagi umat dalam kehidupan keseharian. *

MIMIN DWI HARTONO, pegiat Hak Asasi Manusia

Perjudian Strategi di Gaza


Selasa, 13 Januari 2009 | 14:43 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Telah dua pekan lebih Israel membombardir Gaza. Di kota itulah berpusat kekuasaan Hamas, salah satu faksi politik Palestina. Hamas dan Israel saling menegasikan eksistensi politiknya. Hamas tidak mengakui Israel sebagai negara. Israel tidak mengakui legitimasi kekuasaan Hamas dan mengkategorikannya organisasi massa pelaku teror.

Minimal ada dua tujuan serangan Israel. Pertama, melemahkan basis kekuasaan politik dan kekuatan militer Hamas—yang akan menguntungkan Israel, karena pemerintah Tel Aviv dapat bernegosiasi lebih leluasa dengan Fatah, faksi politik lain di Palestina. Ideologi politik Fatah lebih moderat ketimbang Hamas. Israel juga berharap lemahnya basis militer Hamas akan menurunkan ancaman terhadap stabilitas Israel.

Tujuan kedua, menaikkan popularitas Partai Kadima. Ini partai yang tengah berkuasa di Israel dan belakangan dinilai kalah ”konservatif” (tegas) dibanding partai rivalnya, Likud. Menteri Luar Negeri Israel Tzipi Livni—sekaligus pemimpin Kadima—perlu membangun legitimasi kekuasaan politiknya jika ingin naik ke kursi perdana menteri menggantikan Ehud Olmert pada Februari nanti. Merontokkan pusat kekuasaan Hamas adalah ”cara cepat” meraih simpati kalangan konservatif.

Tapi agresi ke Gaza tidak akan serta-merta melumpuhkan basis politik dan kekuatan militer Hamas. Malah simpati terhadap faksi itu justru menguat. Dan dalam urusan kekuatan militer, serangan Israel terlalu sederhana untuk bisa disebut melumpuhkan Hamas. Kekuatan militer Hamas memang terbatas, tapi kelompok ini memiliki jaringan keorganisasian yang kuat, yang dapat membantunya bertahan secara militer.

Adapun soal popularitas Kadima, agresi ke Gaza amatlah mungkin menaikkan kepercayaan kalangan konservatif Israel terhadap partai tersebut, walau dari sisi lain justru melemahkan simpati kalangan moderat Israel. Meraup dukungan kelompok konservatif Israel adalah langkah strategis memenangi pemilu. Jumlah mereka lebih besar, terutama di parlemen. Menteri Livni pun datang dari kalangan ini.

Serangan Israel ke Gaza juga bisa kita lihat sebagai hasil kebuntuan politik yang telah berlangsung dua tahun. Sejak Hamas memenangi pemilu pada 2006, soliditas politik dalam negeri Palestina pecah oleh perbedaan ideologi. Puncaknya, kekuatan politik terbelah di dua wilayah: Hamas di Jalur Gaza dan Fatah di Tepi Barat.

Bagi Israel, perpecahan di lingkup internal Palestina menguntungkan sekaligus membuntungkan. Pemerintah Israel akan lebih leluasa menekan dan memecah kekuatan politik Palestina. Israel pun kian leluasa bermanuver: menyerang Hamas sekaligus membangun negosiasi politik dengan Fatah.

Tapi perpecahan Hamas dan Fatah juga membuat setiap negosiasi politik—yang dicoba disepakati oleh Israel dan Fatah—dapat didelegitimasi oleh Hamas. Secara tidak langsung Israel terjebak dan terimbas oleh perpecahan internal Palestina. Politik Israel pun sebenarnya diwarnai ideologi konservatif dan moderat. Hanya, gesekannya tidak sekeras di Palestina.

Perpecahan internal Palestina ibarat bom waktu yang kendali ledaknya berada di tangan Israel. Israel bisa memanfaatkannya untuk melumpuhkan Hamas khususnya dan melemahkan politik Palestina secara keseluruhan. Namun efek ”ledakan” juga akan melanda Israel.

Keputusan agresi Israel ke Gaza mestinya didasari pula oleh pertimbangan bahwa soliditas politik Palestina berada di titik nadir, sementara kondisi politik dalam negeri Israel menuntut bukti komitmen ”konservatisme” dari Livni dan Partai Kadima.

Serangan ke Gaza bisa saja membuat kalangan moderat Palestina jenuh dan frustrasi dengan ideologi politik Hamas. Dan selanjutnya dapat menjerembapkan negara itu ke dalam krisis politik dan ekonomi. Bila ini terjadi, posisi Fatah akan menguat—dan menguntungkan Israel.

Sebaliknya yang terjadi bila aksi agresi Israel justru menaikkan dukungan kepada Hamas. Simpati terhadap Hamas berarti kerugian bagi Israel, yang amat berharap popularitas dan dukungan terhadap faksi itu merosot.

Pendek kata, agresi kali ini akan memberikan keuntungan sekaligus kerugian politis bagi Israel. Ini sebuah perjudian strategi yang mengingatkan kita pada keputusan Olmert menginvasi Libanon sekitar dua tahun lalu. Langkah itu terbukti menjadi blunder yang memburamkan citra Olmert—meskipun agresi ke Gaza kali ini beda konteksnya dengan serangan Israel ke Libanon. Dalam konteks politik global, agresi Israel ke Gaza tidak strategis karena menambah catatan hitam kabinet Olmert.

Pemerintah Israel selama ini selalu terjebak di antara dua pilihan kontradiktif, yaitu membangun citra positif di level internasional atau memperkuat basis politiknya dengan melancarkan aksi militer. Pilihan pertama berarti moderasi politik. Pilihan kedua jelas-jelas menunjukkan agresi. Israel memang tidak pernah lepas dari dilema.

Muhammad Ja’far, Pengamat politik Timur Tengah

Gaza


Selasa, 06 Januari 2009 | 08:52 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Omong kosong Israel bilang mau menghabisi Hamas. Di Libanon, pada 2006, mereka juga bilang mau menghabisi Hizbullah. Namun, setelah meriam tank-tank Ma’rev dibungkam oleh perlawanan Hizbullah, Israel terpaksa mengakui bahwa Hizbullah tidak bisa dibasmi. Seperti halnya dengan Hizbullah, Hamas pun tak mungkin dihabisi.

Sudah lebih dari sepuluh tahun Israel melakukan operasi pembunuhan pimpinan garis keras Palestina. Puluhan komandan pasukan gerilya Palestina mati, tapi ratusan sukarelawan berebut menawarkan diri untuk dilatih mengisi lowongan yang ditinggalkan mereka yang dibantai. Sepuluh dibunuh, seratus yang maju. Politik basmi yang ditujukan pada gerakan yang didukung rakyat adalah pengantar ke jalan buntu.

Koalisi partai yang berkuasa di Israel kepepet waktu. Paling sedikit ada dua ketidakpastian di benak mereka. Benar Obama menempatkan dua tokoh pro-Israel pada posisi utama dalam pemerintahannya, Rahm Emmanuel sebagai Kepala Staf Gedung Putih dan Hillary Clinton, menteri luar negerinya. Tapi mengapa hal itu dilakukannya setelah menang pemilu secara amat meyakinkan? Buat apa merayu masyarakat Zionis Amerika lagi? Bukankah suara mereka sudah dikantonginya? Israel bimbang akan bentuk perubahan yang dijanjikan Obama. Akankah Amerika menjalankan politik luar negeri baru yang lebih menguntungkan bagi Amerika sendiri, atau melanjutkan politik luar negeri lama yang cetak birunya dibuat di meja gambar Tel Aviv? Yang jelas, Amerika sedang kehabisan uang. Nafsu terjun dalam avontur seperti Perang Vietnam atau serbu Irak mungkin masih besar, tapi tenaga dan dana sudah berkurang.

Partai yang berkuasa di Israel juga kepepet waktu karena pada Februari 2009 Israel akan mengadakan pemilihan umum. Diperkirakan, koalisi yang bisa digalang Partai Kadima warisan Ariel Sharon akan menang tipis karena semburan api naga murka bernama Benyamin Netanyahu. Partai politik Netanyahu, Likud, penganut garis keras dalam politik Israel. Netanyahu condong pada kebijakan libas-sana-libas-sini, gagal atau berhasil perkara belakang. Likud mengecam pemimpin Kadima berpolitik lembek, lemah, mengorbankan Yahudi untuk berkompromi dengan kebohongan Arab.

Untuk menangkis tuduhan ini harus dibuktikan bahwa Kadima bisa main kasar. Perlu juga diketahui bahwa operasi ”habisi Hamas” sudah dirancang lebih dari setahun. Hanya alasannya yang baru muncul ketika Hamas mengakhiri gencatan senjata secara sepihak. Penembakan roket ke selatan Israel sebagai alasan perang kurang meyakinkan. Lima tahun penembakan roket Qassam ke Israel menimbulkan enam korban jiwa di Israel; perang lima hari membantai 400 orang Palestina dan melukai 2.000. Hamas juga sudah lama mempersiapkan perang. Terowongan-terowongan digali untuk menyelundupkan senjata dan amunisi menembus blokade dan masuk ke Gaza.

Apa sebenarnya yang dituntut pejuang di Gaza? Hamas berkeras minta jam Palestina diputar kembali ke zaman pra-1940-an. Palestina harus diberi cap Islam yang jelas, di samping cap Kristen dan Yahudi. Hamas mau hidup berdampingan dengan umat Kristen dan Hibrani dalam satu negara Palestina. Mereka tidak suka solusi dua negara, karena tanah subur dan sumber air akan tetap dikuasai Israel. Namun demikian, Hamas bersedia menerima konsep dua negara untuk sementara dan dalam keadaan gencatan senjata jangka panjang, bukan damai. Hak Palestina yang direbut Israel harus dikembalikan, termasuk kampung halaman yang sekarang terletak di Israel.

Garis keras Hamas merupakan pantulan struktur kependudukan di Gaza. Delapan puluh persen penduduk Gaza yang berjumlah 1.500.000 orang adalah pengungsi beserta anak, cucu, dan cicit mereka. Dulu, ketika para Zionis tinggal dalam pengasingan diaspora, dalam setiap kesempatan berkumpul mereka melepas kerinduan akan tanah leluhur mereka dengan seruan ”tahun depan di Yerusalem”. Para pengungsi Palestina yang diusir tentara pendudukan Israel dari kampung halaman mereka juga terus mendambakan kembali ke rumah mereka yang direbut orang Yahudi. Mereka juga secara turun-temurun merindukan mudik, dan berseru ”tahun depan di Haifa, di Tel Aviv, Al-Quds”.

Di dalam kanun Hibrani orang Yahudi dilarang melupakan kezaliman yang mereka alami. Dalam tradisi oral bangsa Arab juga ditemukan hikayat derita atas perlakuan kejam terhadap mereka. Seperti memori Yahudi akan pogrom dan holocaust, ratapan Palestina juga ditembangkan antar-generasi, supaya terus diingat dan terukir dalam memori peradaban mereka. Memori semacam inilah yang menjadi rintangan terbesar bagi perdamaian dan pemicu terkuat untuk perang. Untuk berdamai orang harus bersedia belajar lupa.

Israel sejak semula tidak mengizinkan pengungsi Palestina pulang ke kediaman asalnya. Israel tidak berminat membentuk negara kesatuan Islam-Kristen-Yahudi, yang dalam waktu singkat akan dibanjiri warga negara keturunan Arab. Dibandingkan dengan penduduk Kristen dan Yahudi, orang Arab Palestina memang paling suka, paling sering, dan paling banyak bikin anak. Bisa jadi pada pertengahan abad ke-21 mayoritas warga negara Palestina di negara kesatuan semacam itu adalah pemeluk agama Islam. Itu sebabnya mengapa usul negara kesatuan ditolak Israel setiap kali muncul dalam perundingan damai Arab-Israel. Penolakan itu memperkuat kesan bahwa Israel menjalankan politik apartheid seperti Afrika Selatan. Kesimpulan ini bahkan dibukukan oleh Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika Serikat.

Dalam konfrontasi Arab-Israel orang banyak berasumsi bahwa semua negara di Timur Tengah yang bernapaskan Islam akan membantu Palestina. Kenyataannya tidak demikian. Hamas didukung Iran, Irak, dan Libanon, tiga negara dengan mayoritas Syiah. Gaza sudah lama diblokade oleh Israel. BBM, bahan makanan, dan obat-obatan dipersulit masuk ke Gaza. Ketika Israel mulai melancarkan bombardemen terhadap Gaza, banyak penduduk, terutama perempuan, orang jompo, dan anak, berduyun lari menuju pintu gerbang Mesir untuk mengungsi ke negeri umat terdekat.

Pemerintah Hosni Mubarak mengerahkan tambahan 300 penjaga gerbang untuk menutup rapat gerbang penyelamat. Mesir dan Israel bekerja sama dalam blokade ekonomi terhadap Gaza. Hamas dibentuk oleh Ikhwanul Muslimin Mesir 20-an tahun yang lalu. Rezim militer di negeri itu merasa terancam oleh organisasi itu, yang tambah lama tambah berakar di kalangan rakyat jelata Mesir. Membantu Hamas identik dengan membantu Ikhwanul Muslimin, pesaing kekuasaan Mubarak yang amat potensial.

Solidaritas antar-umat pada umumnya juga tampak lemah. Lapangan terbang militer Turki dipakai oleh pesawat tempur Amerika untuk mengebom Irak. Tadinya Amerika mempersenjatai dan membiayai Irak untuk berperang melawan Iran. Saudi berupaya keras agar program nuklir Iran dicegah. Struktur kepentingan di antara negara-negara Arab tidak memberikan banyak harapan manfaat bagi Palestina dari pertemuan Liga Arab yang direncanakan sebagai reaksi terhadap perang Gaza.

Di Palestina sendiri organisasi warisan Yasser Arafat terus dipojokkan oleh Hamas dengan tuduhan antek Barat, musuh Islam. Kampanye yang mengalahkan Fatah di Gaza berbunyi ”Fatah mau berunding terus! Hasilnya Nol Besar. Hamas memilih jalan perang. Hasilnya Israel enyah dari Gaza”. Jika sekarang Mahmud Abbas mulai berbicara tentang tekadnya menghentikan semua perundingan dengan Israel, itu harus diartikan sebagai sukses kampanye Hamas, dan munculnya kemungkinan Hamas dan Fatah merapatkan barisan.

Hamas mengakhiri gencatan senjata secara sepihak dengan tiga tujuan. Pertama, Hamas ingin menunjukkan bahwa garis Fatah yang terus berunding dengan Israel telah gagal karena tidak menghasilkan manfaat apa pun bagi Palestina. Sebaliknya, garis keras Hamas telah mengenyahkan Israel dari Gaza. Kedua, Hamas ingin memancing Israel agar menggunakan infanteri untuk berperang gerilya di kota. Ketiga, Hamas ingin meyakinkan lawan bahwa ia adalah satu-satunya pihak yang berdaulat untuk berunding atas nama rakyat Palestina.

Dengan alasannya masing-masing, Israel dan Hamas memilih jalan perang. Setiap kali debu perang mengendap dan orang menghitung harga, korban jiwa, dan materi di pihak Arab berjumlah 100 kali korban di pihak Israel. Tapi mereka terus berperang, tanpa menang sepenuhnya, tanpa kalah meyakinkan, tanpa kesudahan. Dalam kegelapan itu hanya tampak dua titik terang: sebelum bombardemen Israel suatu survei di kalangan penduduk Gaza menunjukkan bahwa sebanyak 74 persen orang Palestina menginginkan diteruskannya gencatan senjata. Hasil polling itu menunjukkan bahwa betapapun cacatnya gencatan senjata dalam kondisi cekikan blokade ekonomi, rakyat Palestina tetap memilih damai ketimbang perang. Suara dari bawah berbunyi ”hentikan perang”.

Titik terang yang satu lagi adalah kesediaan Hamas menerima solusi dua negara dalam suasana gencatan senjata jangka panjang. Titik terang ini perlu dikembangkan. Gencatan senjata biasanya sekadar stasiun persinggahan antara keberangkatan dan ketibaan. Gencatan senjata jangka panjang secara konsepsional tetap bermakna sebagai stasiun persinggahan, tetapi dibebani harapan bahwa penumpang kereta, masinis, dan kondektur menjadi terbiasa pada kenyamanan lingkungan stasiun sehingga tidak merasa terdorong lagi untuk repot-repot menuju stasiun ketibaan.

Gencatan senjata jangka panjang dijadikan sinonim perdamaian dengan tiga syarat: pengawasan internasional yang ketat, tidak berpihak, dan bergigi; bantuan ekonomi yang terarah pada kesehatan dan pendidikan rakyat; dan pengembalian wilayah secara bertahap sesuai dengan tahapan kepatuhan pada perjanjian gencatan senjata.

NONO ANWAR MAKARIM, Penasihat hukum di Jakarta

Selasa, 10 Februari 2009

Kembalinya Kubu Konservatif Israel

Oleh Mohamad Guntur Romli

Tersiar kabar buruk dari Timur Tengah, kubu konservatif Israel diprediksi menang pada pemilu 10 Februari.

Melalui jajak pendapat Jerusalem Post (6/2), kubu kanan yang menjadi oposisi berpeluang meraih 65 kursi Knesset (Parlemen Israel) dari 120 kursi yang diperebutkan.

Dengan perolehan kursi itu, kubu kanan yang berasal dari koalisi parpol-parpol beraliran ultrakonservatif (Likud), ultranasionalis (Yisrael Beiteinu), dan ultraortodoks (aliansi parpol agama Yahudi), telah memenuhi syarat membentuk pemerintahan koalisi untuk tiga tahun ke depan.

Sedangkan kubu ”kiri” atau ”tengah” yang kini memerintah Israel—koalisi Parpol Kadima dan Buruh—akan tersingkir, mereka mungkin meraih 55 kursi pada pemilu ini.

Kemenangan kubu kanan Israel akan menambah ketegangan di Timur Tengah, memperburuk nasib rakyat Palestina dengan memperumit proses perundingan, sekaligus menjadi ganjalan besar proses perdamaian.

Netanyahu

Pemilu 2009 juga menjadi panggung kembalinya pemimpin Likud yang juga mantan Perdana Menteri Israel 1996-1999: Benjamin ”Bibi” Netanyahu. Ia diramalkan mengalahkan saingan terberatnya, Tzipi Livni (Kadima) dan Ehud Barak (Buruh). Bila menang, untuk kedua kali Netanyahu akan menjabat sebagai perdana menteri Israel. Partainya diperkirakan meraih 26 kursi, Kadima 23 kursi, dan Buruh 14 kursi.

Dalam pemilu ini, kekuatan Likud telah pulih setelah pada Pemilu 2006 melorot ke tingkat 4 dengan 12 kursi (pada Pemilu 2003 meraih 29 kursi). Kekalahan besar Likud akibat perpecahan internal, ditinggal Ariel Sharon tahun 2005 yang mendirikan partai baru Kadima (disebut berhaluan ”tengah”). Bersama Ehud Olmert yang menggantikan Sharon yang sedang sekarat, Kadima memenangi Pemilu 2006.

Tanda-tanda menguatnya kembali Likud telah terdeteksi pada akhir November lalu. Beberapa hasil survei menunjukkan persaingan perolehan suara yang ketat antara Likud dan Kadima, sedangkan suara Buruh diperkirakan anjlok dari 19 kursi saat ini menjadi 10 kursi (aljazeera.net 11 Desember 2008).

Naiknya popularitas Likud membuat politisi Kadima dan Buruh panik. Untuk mendongkrak perolehan suara, dipilih strategi paling keji: menyerang Jalur Gaza. Namun, usaha ini terlambat. Meski ada peningkatan popularitas Buruh yang ketua partainya Ehud Barak menjadi menteri pertahanan, sejak gencatan senjata dimulai, popularitas Barak ikut mandek. Adapun Kadima hanya naik tipis, sedangkan popularitas Netanyahu kian moncer.

Netanyahu bersama kubu oposisi yang ultrakonservatif juga menolak genjatan senjata sepihak. Netanyahu berjanji bila terpilih akan melumat Hamas, menolak pembongkaran permukiman Yahudi di Tepi Barat, dan pembagian kota Jerusalem.

Pada prinsipnya, Netanyahu akan menjalankan ideologi konservatif partainya dan menolak perundingan: dari Kesepakatan Oslo 1993 hingga penarikan mundur tentara Israel dari wilayah Palestina.

Peran Avigdor

Selain kembalinya kekuatan Likud, pemilu ini juga mengangkat popularitas parpol berhaluan ultranasionalis: Yisrael Beiteinu (Israel Rumah Kami). Parpol yang dipimpin Avigdor Lieberman yang semula kader Likud, pada Pemilu 2006 menempati posisi ke-5, kini posisi ke-3 dan menyalip Buruh. Prediksi perolehan Yisrael Beiteinu adalah 17-18 kursi. Pada pekan terakhir masa kampanye, saat popularitas Likud terpeleset, bukan karena pengaruh kubu kiri, Yisrael Beiteinu-lah penyebabnya yang mampu mencuri dukungan konstituen Likud.

Avigdor adalah bintang pada pemilu ini, pendatang baru sekaligus kontroversial. Avigdor dituduh fasis karena hendak mengusir penduduk Arab-Israel. Ia memiliki slogan kampanye ”tak ada loyalitas, maka tak ada warga negara”. Slogan ini amat politis: ditujukan untuk orang Arab yang terpaksa menjadi warga negara Israel setelah perang 1948 (populasinya 20 persen dari penduduk Israel), mereka dituding tidak memiliki loyalitas terhadap Israel karena membela perjuangan Palestina.

Pada Perang Gaza lalu, ratusan ribu orang Arab-Israel berdemonstrasi melakukan penolakan. Avigdor pun menggelar demonstrasi tandingan, isinya mendesak pengusiran orang Arab-Israel. Avigdor juga mendukung keputusan KPU Israel yang melarang parpol Arab-Israel (Balad, Hadash, dan Ta’al) ikut pemilu. Putusan ini dibatalkan Mahkamah Agung Israel.

Popularitas sosok keras seperti Avigdor terus meroket. Bila Netanyahu terpilih menjadi perdana menteri, ia siap menjadi sekutunya. Avigdor pun meminta jatah posisi paling penting: menteri pertahanan. Netanyahu pun telah menyanggupi.

Namun, bagi kalangan kiri dan liberal Israel, Avigdor tak hanya menjadi ancaman bagi rakyat Palestina, tetapi juga bagi warga Israel. Karena alasan ini, seorang kolumnis kiri Israel, Yossi Sarid, mendesak agar kubu ”tengah” bersatu guna membendung kekuatan Lieberman yang fasis (Haaretz, 1 Februari).

Sulit dibendung

Tampaknya, gelombang kubu kanan sulit dibendung. Kubu ini akan sukses menggusur kubu ”tengah” dan ”kiri”. Dua kubu terakhir ini kalah karena keberadaan mereka antara ada dan tiada. Mereka dianggap membuang percuma hasil Pemilu 2006 yang merupakan kemenangan kubu ”tengah”. Sosok Ariel Sharon yang sebelumnya tokoh konservatif dan Ketua Likud ”bertobat” dan meninggalkan cara keras dengan mendirikan Kadima yang ”tengah” dan menang pada Pemilu 2006.

Namun, pemerintahan koalisi Kadima-Buruh yang ”tengah” ini menjalankan strateginya lebih keras dibandingkan kaum konservatif. Gideon Levy, analis politik di Israel, menyimpulkan, kini tak ada politisi yang berhaluan moderat di Israel. Hingga tiga calon perdana menteri Israel: Netanyahu, atau Livni, dan Barak (dua nama terakhir disebut tokoh ”tengah”), menurut Gideon, semuanya ekstremis. Livni dan Barak bertanggung jawab atas Perang Gaza maupun Perang Lebanon 2006 yang dihasilkan pemerintahan koalisi Kadima-Buruh itu (Haaretz, 25 Januari).

Dengan kemenangan kubu kanan, seolah mengembalikan Israel 13 tahun ke belakang, ke era Netanyahu dulu. Apabila Pemerintah Israel memilih konfrontasi, berarti mengundang reaksi lebih keras dari lawan-lawan mereka. Keamanan Israel sendiri yang akan terancam.

Tidak hanya itu, karena di dunia internasional citra Israel kian buruk akibat tingkah kekerasan, Israel akan kian dikucilkan.

Mohamad Guntur Romli Pemerhati Politik di Kawasan Timur Tengah