Selasa, 10 Februari 2009

Kembalinya Kubu Konservatif Israel

Oleh Mohamad Guntur Romli

Tersiar kabar buruk dari Timur Tengah, kubu konservatif Israel diprediksi menang pada pemilu 10 Februari.

Melalui jajak pendapat Jerusalem Post (6/2), kubu kanan yang menjadi oposisi berpeluang meraih 65 kursi Knesset (Parlemen Israel) dari 120 kursi yang diperebutkan.

Dengan perolehan kursi itu, kubu kanan yang berasal dari koalisi parpol-parpol beraliran ultrakonservatif (Likud), ultranasionalis (Yisrael Beiteinu), dan ultraortodoks (aliansi parpol agama Yahudi), telah memenuhi syarat membentuk pemerintahan koalisi untuk tiga tahun ke depan.

Sedangkan kubu ”kiri” atau ”tengah” yang kini memerintah Israel—koalisi Parpol Kadima dan Buruh—akan tersingkir, mereka mungkin meraih 55 kursi pada pemilu ini.

Kemenangan kubu kanan Israel akan menambah ketegangan di Timur Tengah, memperburuk nasib rakyat Palestina dengan memperumit proses perundingan, sekaligus menjadi ganjalan besar proses perdamaian.

Netanyahu

Pemilu 2009 juga menjadi panggung kembalinya pemimpin Likud yang juga mantan Perdana Menteri Israel 1996-1999: Benjamin ”Bibi” Netanyahu. Ia diramalkan mengalahkan saingan terberatnya, Tzipi Livni (Kadima) dan Ehud Barak (Buruh). Bila menang, untuk kedua kali Netanyahu akan menjabat sebagai perdana menteri Israel. Partainya diperkirakan meraih 26 kursi, Kadima 23 kursi, dan Buruh 14 kursi.

Dalam pemilu ini, kekuatan Likud telah pulih setelah pada Pemilu 2006 melorot ke tingkat 4 dengan 12 kursi (pada Pemilu 2003 meraih 29 kursi). Kekalahan besar Likud akibat perpecahan internal, ditinggal Ariel Sharon tahun 2005 yang mendirikan partai baru Kadima (disebut berhaluan ”tengah”). Bersama Ehud Olmert yang menggantikan Sharon yang sedang sekarat, Kadima memenangi Pemilu 2006.

Tanda-tanda menguatnya kembali Likud telah terdeteksi pada akhir November lalu. Beberapa hasil survei menunjukkan persaingan perolehan suara yang ketat antara Likud dan Kadima, sedangkan suara Buruh diperkirakan anjlok dari 19 kursi saat ini menjadi 10 kursi (aljazeera.net 11 Desember 2008).

Naiknya popularitas Likud membuat politisi Kadima dan Buruh panik. Untuk mendongkrak perolehan suara, dipilih strategi paling keji: menyerang Jalur Gaza. Namun, usaha ini terlambat. Meski ada peningkatan popularitas Buruh yang ketua partainya Ehud Barak menjadi menteri pertahanan, sejak gencatan senjata dimulai, popularitas Barak ikut mandek. Adapun Kadima hanya naik tipis, sedangkan popularitas Netanyahu kian moncer.

Netanyahu bersama kubu oposisi yang ultrakonservatif juga menolak genjatan senjata sepihak. Netanyahu berjanji bila terpilih akan melumat Hamas, menolak pembongkaran permukiman Yahudi di Tepi Barat, dan pembagian kota Jerusalem.

Pada prinsipnya, Netanyahu akan menjalankan ideologi konservatif partainya dan menolak perundingan: dari Kesepakatan Oslo 1993 hingga penarikan mundur tentara Israel dari wilayah Palestina.

Peran Avigdor

Selain kembalinya kekuatan Likud, pemilu ini juga mengangkat popularitas parpol berhaluan ultranasionalis: Yisrael Beiteinu (Israel Rumah Kami). Parpol yang dipimpin Avigdor Lieberman yang semula kader Likud, pada Pemilu 2006 menempati posisi ke-5, kini posisi ke-3 dan menyalip Buruh. Prediksi perolehan Yisrael Beiteinu adalah 17-18 kursi. Pada pekan terakhir masa kampanye, saat popularitas Likud terpeleset, bukan karena pengaruh kubu kiri, Yisrael Beiteinu-lah penyebabnya yang mampu mencuri dukungan konstituen Likud.

Avigdor adalah bintang pada pemilu ini, pendatang baru sekaligus kontroversial. Avigdor dituduh fasis karena hendak mengusir penduduk Arab-Israel. Ia memiliki slogan kampanye ”tak ada loyalitas, maka tak ada warga negara”. Slogan ini amat politis: ditujukan untuk orang Arab yang terpaksa menjadi warga negara Israel setelah perang 1948 (populasinya 20 persen dari penduduk Israel), mereka dituding tidak memiliki loyalitas terhadap Israel karena membela perjuangan Palestina.

Pada Perang Gaza lalu, ratusan ribu orang Arab-Israel berdemonstrasi melakukan penolakan. Avigdor pun menggelar demonstrasi tandingan, isinya mendesak pengusiran orang Arab-Israel. Avigdor juga mendukung keputusan KPU Israel yang melarang parpol Arab-Israel (Balad, Hadash, dan Ta’al) ikut pemilu. Putusan ini dibatalkan Mahkamah Agung Israel.

Popularitas sosok keras seperti Avigdor terus meroket. Bila Netanyahu terpilih menjadi perdana menteri, ia siap menjadi sekutunya. Avigdor pun meminta jatah posisi paling penting: menteri pertahanan. Netanyahu pun telah menyanggupi.

Namun, bagi kalangan kiri dan liberal Israel, Avigdor tak hanya menjadi ancaman bagi rakyat Palestina, tetapi juga bagi warga Israel. Karena alasan ini, seorang kolumnis kiri Israel, Yossi Sarid, mendesak agar kubu ”tengah” bersatu guna membendung kekuatan Lieberman yang fasis (Haaretz, 1 Februari).

Sulit dibendung

Tampaknya, gelombang kubu kanan sulit dibendung. Kubu ini akan sukses menggusur kubu ”tengah” dan ”kiri”. Dua kubu terakhir ini kalah karena keberadaan mereka antara ada dan tiada. Mereka dianggap membuang percuma hasil Pemilu 2006 yang merupakan kemenangan kubu ”tengah”. Sosok Ariel Sharon yang sebelumnya tokoh konservatif dan Ketua Likud ”bertobat” dan meninggalkan cara keras dengan mendirikan Kadima yang ”tengah” dan menang pada Pemilu 2006.

Namun, pemerintahan koalisi Kadima-Buruh yang ”tengah” ini menjalankan strateginya lebih keras dibandingkan kaum konservatif. Gideon Levy, analis politik di Israel, menyimpulkan, kini tak ada politisi yang berhaluan moderat di Israel. Hingga tiga calon perdana menteri Israel: Netanyahu, atau Livni, dan Barak (dua nama terakhir disebut tokoh ”tengah”), menurut Gideon, semuanya ekstremis. Livni dan Barak bertanggung jawab atas Perang Gaza maupun Perang Lebanon 2006 yang dihasilkan pemerintahan koalisi Kadima-Buruh itu (Haaretz, 25 Januari).

Dengan kemenangan kubu kanan, seolah mengembalikan Israel 13 tahun ke belakang, ke era Netanyahu dulu. Apabila Pemerintah Israel memilih konfrontasi, berarti mengundang reaksi lebih keras dari lawan-lawan mereka. Keamanan Israel sendiri yang akan terancam.

Tidak hanya itu, karena di dunia internasional citra Israel kian buruk akibat tingkah kekerasan, Israel akan kian dikucilkan.

Mohamad Guntur Romli Pemerhati Politik di Kawasan Timur Tengah

Tidak ada komentar: