Minggu, 15 Februari 2009

Fatwa Haram Golongan Putih


Jum'at, 30 Januari 2009 | 17:39 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Keluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan tindakan seseorang untuk tidak memilih, yang populer disebut sebagai golput (golongan putih), dalam pemilihan umum, menuai kontroversi. Bukan hanya karena wilayah politik bukan ranah dan kompetensi MUI. Namun keputusan seseorang yang memilih untuk tidak memilih (choose not to elect) dalam pemilu maupun pemilihan presiden adalah hak asasi manusia yang harus dijamin oleh negara.

Negara, termasuk MUI, harus menghormati dan bertindak secara pasif untuk tidak melakukan intervensi yang bisa menyebabkan terjadinya pelanggaran hak politik seseorang. Dengan fatwa yang kontroversial ini, MUI dianggap semakin menjauh dari fungsi dan mandat hakikinya sebagai penjaga moral, bahkan bisa melanggar hak berpolitik seseorang dengan alasan agama.

Hak untuk memilih dan hak untuk dipilih adalah hak politik yang dijamin dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia maupun dalam Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan ke dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Hak politik tersebut bertujuan mengartikulasikan aspirasi dan pendapat seseorang dalam proses pembentukan para penyelenggara pemerintahan di eksekutif dan legislatif. Dengan demikian, hak seseorang yang memilih untuk tidak mempergunakan hak pilihnya secara sadar adalah bentuk kesadaran berpolitik kontemporer yang tak bisa divonis sebagai tindakan yang melanggar agama atau haram.

Dalam fatwa MUI tersebut dijelaskan bahwa apabila ada calon yang memenuhi syarat-syarat--jujur, amanah, bertakwa, mempunyai kemampuan, dan bisa memperjuangkan kepentingan umat Islam--umat Islam yang telah mempunyai hak pilih wajib mempergunakan hak pilihnya. Haram hukumnya jika tidak mempergunakan hak pilihnya.

Padahal keputusan seseorang yang memilih untuk tidak mempergunakan hak pilihnya bisa disebabkan oleh setidaknya dua soal, yaitu teknis dan substantif. Persoalan teknis di antaranya bisa disebabkan oleh tidak terdaftarnya seseorang dalam daftar pemilih tetap atau karena berhalangan secara fisik untuk hadir di tempat pemungutan suara karena sakit atau karena sulitnya akses menuju tempat pemungutan suara. Apabila alasan teknis ini berakibat seseorang tidak bisa mempergunakan hak pilihnya lalu divonis haram oleh MUI, betapa absurdnya.

Sedangkan secara substantif atau material, keputusan untuk tidak mempergunakan hak pilih didasarkan pada kesadaran pribadi maupun kolektif bahwa belum ada calon yang memenuhi kriteria untuk dipilih. Dan bisa juga karena sikap apatis masyarakat karena tidak adanya perubahan kehidupan sejak Reformasi digulirkan, sehingga keputusan untuk tidak memilih disebabkan oleh keadaan sudah tak berharap (hopeless). Dalam pandangan dan pengalaman penulis, keputusan untuk tidak memilih untuk saat ini disebabkan oleh kesadaran kritis yang meningkat di masyarakat, sehingga mereka tidak gampang diperalat dan dimobilisasi untuk kepentingan partai politik atau calon tertentu. Masyarakat akan memilih calon jika ada manfaat secara kolektif yang bisa diberikan oleh calon tersebut bagi masyarakat.

Dalam pengalaman pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten/kota madya dan provinsi yang berlangsung selama kurun waktu 2007 sampai 2008, angka mereka yang tidak mempergunakan hak pilih atau golongan putih sangat signifikan: rata-rata 30-50 persen dari jumlah pemilih yang terdaftar. Dengan demikian, golongan putih sering menjadi pemenang dalam setiap pilkada. Rendahnya tingkat penggunaan hak pilih dengan kecenderungan yang semakin besar ini tampaknya menggusarkan para politikus di negeri ini, termasuk MUI.

Seharusnya, sebelum MUI mengeluarkan fatwa bahwa golput itu haram, dipelajari terlebih dulu akar penyebab rendahnya penggunaan hak pilih. Menurut penulis, akar persoalan rendahnya penggunaan hak pilih adalah hambatan struktural, di mana sistem hukum yang ada tidak bisa mengakomodasi aspirasi warga. Contohnya untuk calon presiden, yang harus diusulkan melalui jalur partai politik atau gabungan partai politik yang minimal mempunyai 25 persen kursi di parlemen. Demikian pula calon anggota legislatif, yang pencalonannya harus melalui jalur partai, yang sangat sering melalui proses "politik dagang sapi". Salah satu kekurangan utama dalam hukum pemilihan umum kita saat ini adalah tidak mengakomodasi jalur independen. Padahal banyak calon potensial yang bisa menjadi pemimpin yang kapabel, namun mereka menjadi terhambat.

Dengan demikian, fatwa MUI tersebut ibarat petunjuk jalan tapi menuju arah yang tidak tepat, sehingga tidak akan membawa umat kepada kehidupan politik dan berbangsa yang lebih baik. Bahkan bisa menjerumuskan bangsa ini jika tidak hati-hati dalam menyikapinya. Contohnya, jika fatwa ini menjadikan banyak orang--yang selama ini patuh pada fatwa MUI--asal-asalan dalam memilih, sehingga pemilu menghasilkan pejabat-pejabat dan anggota Dewan yang tidak kapabel, malah bisa menjerumuskan bangsa ini pada titik nadir kehidupan berbangsa.

Jikalau MUI hendak berkontribusi dalam memperbaiki iklim politik di Tanah Air dan berkeinginan mencetak pemimpin yang memegang amanah, seharusnya MUI menjabarkan kriteria calon pemimpin yang sudah disebutkan, untuk kemudian melakukan record-tracking. Hasil ini akan memberikan panduan dan rujukan yang konkret bagi masyarakat, siapa yang pantas dipilih dan tidak pantas dipilih, versi MUI. Dengan fatwa yang substansinya bukan merupakan kompetensi MUI ini, bisa jadi MUI akan terdelegitimasi. Setiap fatwa MUI nantinya akan diabaikan dan tidak lagi menjadi pijakan bagi umat dalam kehidupan keseharian. *

MIMIN DWI HARTONO, pegiat Hak Asasi Manusia

Tidak ada komentar: