Jumat, 24 Juli 2009

Ahmadinejad Tunduk

AFP/ISNA/ALIREZA SOTAKBAR
Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad (kanan) dan mantan Wakil Presiden yang bertanggung jawab untuk turisme, Esfandiar Rahim Mashaii, dalam acara di Kantor Turisme dan Warisan Budaya Iran, Rabu (22/7).

Jumat, 24 Juli 2009 | 03:33 WIB

Teheran, Rabu - Presiden Iran Mahmoud Ahmadinejad, seperti diberitakan televisi Al-Arabiya, Kamis (23/7), mengisyaratkan akan mengganti besannya, Esfandiar Rahim Mashaii, sebagai wakil presiden pertamanya. Penggantian itu memang merupakan perintah pemimpin tertinggi Iran.

Ahmadinejad sebelumnya menunjukkan sikap menentang permintaan Ayatollah Ali Khamenei itu, dengan mengatakan membutuhkan waktu dan kesempatan lain untuk sepenuhnya menjelaskan perasaan dan penilaian dia sesungguhnya tentang Mashaii.

Namun, akhirnya dia tak berdaya menghadapi tekanan kubu konservatif meski kemungkinan penggantian itu juga belum dinyatakan secara tegas oleh Ahmadinejad. Isyarat penggantian itu disampaikan beberapa orang dekat Ahmadinejad.

Pemimpin tertinggi Iran itu, Selasa (21/7) malam, telah mengirimkan surat kepada Ahmadinejad, yang memintanya mengganti wakil presiden pertama, Esfandiar Rahim Mashaii, yang tak lain adalah besan presiden Iran itu.

Mashaii pernah membuat banyak pengikut garis keras Iran marah karena mengatakan rakyat Iran adalah sahabat semua bangsa, termasuk Israel.

Menanggapi surat Khamenei itu, Ahmadinejad, Rabu (22/7), masih berusaha membela Mashaii. Hal itu mungkin didasari kekhawatiran akan adanya upaya-upaya dari kelompok garis keras untuk mendikte pemerintahan yang akan dibentuknya bulan depan.

Press TV melaporkan, pada rapat kabinet Iran, Rabu, beberapa anggota kabinet pun berselisih pendapat dengan Ahmadinejad atas kegigihan presiden Iran itu membela besannya.

Menyusul penolakan Ahmadinejad untuk mencabut keputusannya, Menteri Kebudayaan dan Arahan Islam, Mohammad Hossein Saffar-Harandi, langsung meninggalkan pertemuan kabinet tersebut.

Ahmadinejad adalah anggota kubu garis keras, tetapi sepanjang periode pertama kepresidenannya, dia berselisih dengan Majelis Tertinggi Iran dalam beberapa kebijakan dan penunjukan teman-teman konservatifnya.

Kubu garis keras menuduh Ahmadinejad membagi kekuasaan terlalu banyak kepada teman-teman dekatnya ketimbang membagi di antara faksinya.

Ayatollah Ahmad Khatami, mewakili kalangan ulama, Rabu, mendesak presiden untuk mematuhi Khamenei.

Dia mengungkapkan, kemungkinan Mashaii segera diganti atau tidak, akan menjadi ujian kesetiaan Ahmadinejad kepada para pemimpin tertinggi.

”Ketika pemimpin tertinggi mengambil sebuah pandangan yang eksplisit, perintahnya harus dilaksanakan dengan segala cara dan dilaksanakan secepatnya,” ujar Khatami seperti dikutip kantor berita Mehr.

Dia menegaskan, mereka yang memilih Ahmadinejad karena kesetiaannya kepada pemimpin tertinggi mengharapkan presiden menunjukkan kepatuhannya dalam praktik langsung.

Khotbah Jumat

Pakar Iran, Suzanne Maloney, dari the Saban Center for Middle East Policy di lembaga pemikir Brookings, Washington, menegaskan bahwa pemimpin tertinggi tidak pernah berbicara secara terbuka mengenai suatu isu atau laporan-laporan mengenai perintahnya, yang telah dibocorkan sejumlah tokoh garis keras kepada beberapa media.

”Jika Khamenei muncul pada ibadah Jumat, menyerukan untuk penggantian (Mashaii), maka sulit membayangkan Ahmadinejad akan menolaknya,” jelasnya.

Dia meyakini, Ahmadinejad tidak akan membuka masa jabatan keduanya dengan membuka perselisihan dengan sekutu paling penting dalam sistem Iran.

Penunjukan Rahim Mashaii sebagai wapres pertama itu telah menuai protes keras dari kubu konservatif. Protes tersebut bukan karena Rahim Mashaii sebagai besan Ahmadinejad, melainkan lebih karena pernyataan-pernyataan kontroversial Rahim Mashaii pada masa lalu.

Persoalan pemilihan wapres pertama menambah kisruh kondisi politik di Iran. Sampai saat ini pun Iran masih terus diganggu dengan ”perlawanan” kubu reformis atas hasil pemilihan presiden lalu, meskipun majelis tertinggi Iran telah menegaskan bahwa kemenangan Ahmadinejad sah. (AP/AFP/MTH/OKI)

Rabu, 15 Juli 2009

KERUSUHAN XINJIANG China Diimbau Berdialog Damai


Rabu, 15 Juli 2009 | 03:50 WIB

Jakarta, kompas - Anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Mutammimul Ula, Selasa (14/7) di Jakarta, mengimbau Pemerintah China untuk menyelesaikan konflik berdarah di Xinjiang, China barat laut, dengan dialog secara damai.

”Pemerintah China harus mencegah terjadinya korban jiwa yang lebih banyak lagi. Sayangnya, dalam penanganan kerusuhan, Pemerintah China cenderung berpihak kepada salah satu suku. Hal ini dapat dilihat dari penangkapan 1.434 orang suku Uighur,” kata Mutammimul Ula.

Secara terpisah, Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Tifatul Sembiring menyayangkan tindakan keras China yang semestinya tidak dilakukan.

”Sebagai bagian dari komunitas internasional, China seharusnya menghentikan setiap tindakan yang mengarah pada pelanggaran HAM,” ujar Tifatul.

Bukan etnis dan agama

Dihubungi di Kedutaan Besar Republik Rakyat China (RRC) di kawasan Kuningan Jakarta hari yang sama, Wakil Dubes RRC Yang Lingzhu mengungkapkan kepada Kompas bahwa kerusuhan yang memakan korban 184 jiwa di Urumqi, Xinjiang, pada hari Jumat 10 Juli 2009 itu sebenarnya bukan kerusuhan etnis dan juga bukan agama.

”Semata-mata kerusuhan karena perbuatan kriminal,” ungkap Yang Lingzhu, yang fasih berbahasa Indonesia.

”Korbannya pun, terbanyak justru orang Han, ada 137 orang. Orang Uighur 46 orang dan seorang korban dari etnis Hui,” katanya. Dan umumnya korban tewas lantaran mati dipukul,” tuturnya.

Kerusuhan itu pun, kata Yang, tidak muncul secara spontan, tetapi direncanakan. ”Memang, awalnya terjadi perkelahian di sebuah perusahaan mainan anak-anak di Guangdong (provinsi lain di selatan), orang-orang Uighur berkelahi dengan orang Han. Namun, persoalan sebenarnya cepat selesai,” tutur Yang Lingzhu.

Namun, peristiwa itu kemudian dipanaskan dalam forum internet, di dunia maya di situs milik pengusaha kaya asli Uighur, Rebiya Kadeer.

”Saya ada buktinya. Di internet Rebiya Kadeer mengatakan sebelum kerusuhan bahwa pada tanggal 5-6 Juli ini akan terjadi hal-hal sangat penting,” tutur Yang Lingzhu. Dua hari sebelum kerusuhan, bahkan diselenggarakan rapat oleh Rebiya.

”Tanggal 5 sore, dikumpulkan orang di lapangan Renmin (Rakyat), sekitar pukul 19.00 ada 300-an orang menutup Jalan Renmin sehingga dibubarkan aparat. Malam hari, sekitar pukul 20.18, sekitar 800 orang merobohkan pagar-pagar di Jalan Renmin. Mereka mulai melakukan perusakan dan membakar mobil. Ini sudah bukan demo lagi,” tutur Yang Lingzhu.

Beberapa jam kemudian, menurut Yang Lingzhu, sudah mulai terjadi aksi pembunuhan terhadap etnis Han di pinggiran kota. Aparat keamanan menemukan banyak orang mati di lorong-lorong. Kebanyakan mereka, kata Yang Lingzhu, adalah orang- orang Han.

”Rata-rata mereka mati dipukul. Selain perusuh menghancurkan dan membakar mobil—ada bus umum, taksi, bahkan mobil polisi—mereka juga membakari toko-toko. Tercatat ada 203 toko dan 14 rumah penduduk dirusak dan dibakar,” katanya.

”Kalau kerusuhan hanya di satu tempat, itu barangkali masih bisa diterima. Akan tetapi, pada saat itu ternyata kerusuhan terjadi di 220 lokasi di Urumqi. Ini tentu kerusuhan yang diorganisasi,” ungkap Yang Lingzhu, seraya menyerahkan catatan resmi Pemerintah China tentang rincian jumlah kerusakan dan korban jiwa.

Lalu, ke mana Rebiya Kadeer, tokoh yang dituduh Pemerintah China ada di balik kerusuhan di Provinsi Xinjiang yang kaya sumber minyak ini?

”Dia kini berada di Amerika Serikat,” ungkapnya tentang Rebiya, yang selama ini selalu disebut-sebut publik di dunia maya sebagai ”pemimpin rakyat Uighur”. Selain dikenal sebagai pemimpin Uighur, menurut Yang Lingzhu, Rebiya adalah juga orang terkaya di Xinjiang.

”Selain orang terkaya di Xinjiang, ia juga masuk dalam daftar 10 orang terkaya di China,” ungkap Yang Lingzhu pula tentang tokoh pemimpin Uighur yang tinggal dan menetap bersama suaminya di Virginia Utara, AS. (mam/sha)

AFP/PETER PARKS
Polisi paramiliter China meminta seorang lelaki membuka isi tasnya, ketika berjalan di sebuah distrik Uighur di kota Urumqi, ibu kota Provinsi Xinjiang, China, Selasa (14/7). Meski berangsur pulih, ketegangan masih mewarnai beberapa sudut kota Urumqi.
Urumqi Tegang Lagi

Rabu, 15 Juli 2009 | 03:56 WIB

Urumqi, Selasa - Aparat keamanan bersenjata Pemerintah China pada hari Selasa (14/7) kembali bersiaga di Urumqi, ibu kota Provinsi Xinjiang, di China barat laut. Mereka bersiaga di dekat tempat sehari sebelumnya polisi dikabarkan menembak mati dua orang Uighur.

Peristiwa penembakan Senin itu terjadi menyusul dikerahkannya kelompok-kelompok polisi bersenjatakan senapan semiotomatis dan pentungan. Adapun dua orang Uighur yang ditembak mati itu, menurut Pemerintah China, adalah ”pelanggar hukum” yang menghasut teman-temannya untuk melawan.

Aksi penembakan itu memperlihatkan bahwa ibu kota Provinsi Xinjiang masih terhitung rawan, sepekan setelah kerusuhan etnis pada 5 Juli yang menyebabkan sedikitnya 184 orang tewas.

Sementara itu, sebuah cabang Al Qaeda di Aljazair mengimbau melalui situs web mereka di internet agar dilakukan aksi pembalasan terhadap pekerja China di Afrika utara. Demikian menurut laporan intelijen sebuah perusahaan analisis keamanan di London, Stirling Assynt.

Imbauan itu datang dari Al Qaeda di kawasan Magribi, kata laporan Stirling. Ini untuk pertama kalinya jaringan Osama bin Laden secara langsung mengancam China ataupun kepentingannya, kata Stirling.

Xinjiang adalah kawasan pegunungan yang kaya sumber minyak dan berbatasan dengan delapan negara, termasuk Pakistan dan Afganistan. Komunitas Muslim Uighur-nya telah lama jengkel kepada Pemerintah China.

Juri bicara Kementerian Luar Negeri China, Qin Gang, mengatakan, China akan mengambil semua tindakan pencegahan guna melindungi kepentingan mereka di luar negeri walau tidak mengomentari langsung ancaman Al Qaeda itu.

”Kami akan melakukan upaya gabungan dengan negara-negara bersangkutan guna mengambil semua langkah untuk menjamin keselamatan lembaga dan orang China di luar negeri,” kata Qin Gang.

Jubir Deplu China itu juga memohon pengertian dari dunia Muslim menyangkut penanganan oleh China atas kerusuhan di Urumqi itu, sekaligus membantah tuduhan PM Turki bahwa China telah melakukan genosida (pembasmian etnis).

Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan mengatakan, pekan lalu genosida dilakukan di Xinjiang dan mengimbau otoritas China untuk ikut campur.

Qin Gang mengatakan, justru sebagian besar dari mereka yang tewas dalam kerusuhan itu adalah warga Han yang selama beberapa dekade terakhir populasi Uighur di Xinjiang telah meningkat tajam, katanya.

Hari Selasa, toko-toko di distrik Uighur dekat tempat penembakan polisi hari Senin sudah mulai dibuka meskipun agak lambat. (AFP/Reuters/DI)

Senin, 13 Juli 2009

Urumqi Masih Tegang

AFP/PETER PARKS
Dua perempuan Uighur melihat barisan polisi antihuru-hara di sebuah permukiman etnis Uighur, di Urumqi, ibu kota Provinsi Xinjiang, China, Minggu (12/7).

Senin, 13 Juli 2009 | 03:32 WIB

Urumqi, Minggu - Urumqi, ibu kota Provinsi Xinjiang, yang terlanda kerusuhan sepekan lalu, hari Minggu tenang, tetapi tegang. Pasukan keamanan dipusatkan di kawasan-kawasan Uighur. Para pejabat China mengingatkan bahwa stabilitas negara adalah sebuah prioritas utama.

Warga Urumqi dilarang berkumpul di tempat-tempat umum untuk hari berkabung tradisional sepekan setelah kerusuhan etnis yang menyebabkan 184 orang tewas itu.

Polisi paramiliter bersenjata bersiaga di Lapangan Rakyat, tempat terjadinya demonstrasi tanggal 5 Juli oleh minoritas Uighur. Aksi demonstrasi itu kemudian memanas menjadi aksi serangan pada etnis Han. Beberapa etnis Han saat itu ditarik keluar dari bus umum dan dipukuli. Lebih dari 1.000 orang cedera dalam aksi kekerasan itu.

Menurut penghitungan resmi, dari 184 korban tewas, 137 adalah etnis Han, yang merupakan mayoritas dari 1,3 miliar penduduk China, 46 orang Uighur, dan seorang etnis Hui, kelompok etnis Muslim yang lain.

Telah teratasi

Biro Keamanan Publik Urumqi hari Sabtu malam mengeluarkan larangan berkumpul atau berdemonstrasi di bagian barat kota. Biro itu mengatakan situasi telah terkendali, Meski demikian, masih ada kumpulan dan demonstrasi ilegal sporadis di beberapa tempat, seperti diberitakan kantor berita Xinhua.

Hari Minggu adalah hari ketujuh setelah kerusuhan. Dalam budaya Han, hari ketujuh adalah saat yang penting dalam berkabung. Kerabat seharusnya keluar ke jalan untuk membakar dupa dan uang-uangan, membantu arwah yang tersesat untuk menemukan jalan pulang.

Namun, pemerintah tampaknya takut hal itu bisa memicu kerusuhan lebih lanjut. Ribuan orang etnis Han turun ke jalan-jalan Urumqi awal pekan lalu dengan membawa parang dan senjata-senjata untuk membalas dendam pada orang Uighur.

Pemerintah belum mengatakan apakah ada korban tewas dalam bentrokan setelah kerusuhan 5 Juli itu. Warga dari etnis Uighur di kota itu mengatakan kepada AFP bahwa massa Han telah membunuh beberapa orang. ”Kami takut. Kami tidak mau pergi ke stasiun kereta api atau daerah di mana ada banyak orang Han,” kata seorang pria Uighur.

Namun, ketakutan itu juga dialami pihak Han. ”Tidak, tidak. Ini masih berbahaya,” kata seorang Han pemilik pasar swalayan yang bermarga Lin ketika ditanya apakah dia akan pergi ke distrik Uighur.

Ulama Iran hari Minggu mengecam China karena menekan orang Uighur dalam kerusuhan itu. ”Memang Pemerintah China dan rakyatnya mempunyai hubungan ekonomi dan politik yang dekat dengan kami dan negara Islam lain, tetapi tidak ada alasan bagi mereka untuk menekan saudara-saudara Muslim kami,” kata Ayatollah Agung Naser Makarem Shirazi. (Reuters/AP/AFP/DI)

Sabtu, 11 Juli 2009

Malaysia Mahathir Mencela PM Najib Razak

Kuala Lumpur, Jumat - Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad, Jumat (10/7), mencela 100 hari pertama pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak. Dia menyatakan, lebih banyak hal negatif daripada positif yang terjadi di bawah pemerintahan baru.

”Maaf jika saya katakan lebih banyak negatif daripada positif. Bukan berarti saya tidak mendukung pemerintah, tetapi saya kira pemerintah melakukan hal-hal yang salah,” kata Mahathir kepada wartawan.

Sejak menjabat pada 3 April, Najib telah menerapkan reformasi ekonomi untuk menarik investor asing ke Malaysia yang menghadapi resesi pertama dalam satu dekade.

Mahathir menyalahkan Najib karena menghapus program afirmatif yang menguntungkan etnis Melayu, termasuk menghapus ketentuan agar etnis Melayu memiliki saham sebesar 30 persen di beberapa sektor dalam industri jasa keuangan. Perusahaan yang ingin masuk dalam daftar di bursa saham juga tidak perlu lagi mengalokasikan 30 persen sahamnya bagi etnis Melayu.

Lebih jauh, Mahathir mengkritik rencana Najib menghapuskan penggunaan bahasa Inggris dalam pengajaran matematika dan ilmu pengetahuan alam tahun 2012 serta mengganti dengan bahasa Melayu. Menurut Mahathir, langkah itu membuat Malaysia kurang kompetitif.

Najib mengatakan, pemerintah tetap berkomitmen untuk meningkatkan level pengajaran bahasa Inggris di sekolah dengan mempekerjakan lebih banyak guru bahasa Inggris dan menambah jam pelajaran.

Mahathir keberatan dengan rencana Najib untuk membangun jembatan ketiga ke negara tetangga, Singapura. Najib juga dinilai tidak mengambil langkah konkret untuk memberantas korupsi.

Di luar penilaian Mahathir, survei yang dilakukan Merdeka Center pada awal pekan ini menunjukkan, angka persetujuan terhadap Najib naik dari 45 persen pada pertengahan Mei menjadi 65 persen. Hal itu mengindikasikan bertambahnya jumlah warga Malaysia yang menghargai keputusan yang diambil Najib. Namun, kritikus mengatakan popularitas Najib masih yang terendah dibandingkan dengan semua PM Malaysia pada 100 hari pertama mereka. (ap/fro)

Selasa, 07 Juli 2009

Para Mullah Iran Terpecah

AP PHOTO/OFFICE OF THE SUPREME LEADER
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei melambaikan tangan kepada para pendukung di Teheran, Iran, Senin (6/7). Khamenei lagi-lagi mengingatkan Barat untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri Iran.

Selasa, 7 Juli 2009 | 04:44 WIB

Kairo, Kompas - Pakar urusan Iran, Abbas Milani, kepada harian Mesir Asharq Al Awsat, Senin (6/7), mengatakan, sejumlah mullah proreformis di kota Qom menolak hasil pemilu 12 Juni. Ini menunjukkan adanya keretakan di kalangan mullah setelah 30 tahun usia Revolusi Islam Iran.

”Dalam tubuh institusi agama di Iran, terdapat pula aksi penolakan pada hasil pemilu dan menolak sikap politik Pemimpin Spiritual Ali Khamenei yang mendukung Presiden Mahmoud Ahmadinejad,” lanjut Milani.

Namun Milani mengakui, posisi politik kubu mullah proreformis masih jauh lebih lemah dibandingkan dengan kubu mullah prokonservatif.

Secara tradisi, sikap politik para mullah selalu mengatasnamakan pribadi bukan lembaga. Sejumlah mullah yang mengklaim proreformis itu disebut tergabung dalam Lembaga Pengajar dan Riset di kota Qom, tetapi tidak membawa nama lembaga mereka tersebut.

Milani menyampaikan penjelasan tersebut, menyusul sikap sejumlah mullah di kota Qom menolak hasil pemilu 12 Juni itu.

Menurut para mullah itu, Dewan Garda yang memiliki sejumlah anggota pendukung Presiden Mahmoud Ahmadinejad tidak berhak memberi penilaian dan keputusan menyangkut pemilu. Para mullah itu menuduh, Dewan Garda tidak mempertimbangkan pengaduan para capres yang kalah secara adil dan transparan, serta tidak memerhatikan bukti-bukti akurat tentang kecurangan dalam pemilu itu yang diajukan para capres yang kalah.

Para mullah itu menuduh pemerintah memberi reaksi keras terhadap aksi rakyat yang menuntut keadilan, bahkan tuntutan keadilan itu membawa kematian dan luka-luka serta penahanan ratusan penuntut keadilan itu secara ilegal.

”Bagaimana kita bisa menerima hasil pemilu itu dalam kondisi seperti itu. Bagaimana kita bisa mengatakan pemerintah yang lahir dari praktik kecurangan pemilu sebagai pemerintah legitimatif,” ujar para mullah itu.

Rincian kecurangan pemilu

Adapun capres kalah dari kubu reformis, Mir Hossein Mousavi, melalui situs internetnya menyebarkan laporan terdiri dari 25 halaman yang menjelaskan detail praktik kecurangan pada pemilu 12 Juni.

Kecurangan yang menonjol adalah dicetaknya kartu pemilih tambahan sebanyak 14 juta kartu serta praktik politik uang menjelang pemilu.

Kubu Mousavi juga menuduh kubu Ahmadinejad menggunakan fasilitas negara dalam kampanye serta membeli suara kaum miskin di pedesaan. Kubu Mousavi juga menuduh Departemen Dalam Negeri dan Dewan Garda memihak Ahmadinejad. Kubu Mousavi mengungkapkan, dua lembaga itu dikuasai teman-teman dekat Ahmadinejad. Kubu Mousavi juga menuduh pengawal revolusi dan Basij memihak Ahmadinejad.

Kubu Mousavi juga mengungkapkan, terdapat keganjilan lain. Misalnya, di 2.233 dari 45.713 tempat pemungutan suara (TPS), suara untuk Ahmadinejad rata-rata lebih dari 95 persen.

Telekomunikasi merebak

Dalam perkembangan terakhir di Iran, Ketua Lembaga Peradilan Iran Ayatollah Mahmoud Hashemi Shahroudi, yang prokonservatif, meminta mereka yang terlibat penyebaran antena parabola dan jasa internet diadili.

”Maraknya pengadaan televisi satelit dan situs internet penyebar sentimen antipemerintah harus ditindak tegas. Mereka yang bekerja sama dengan situs internet dan televisi satelit harus diajukan ke pengadilan,” katanya.

Seperti diketahui, televisi satelit, khususnya televisi BBC berbahasa Persia, berperan besar dalam memberitakan, memberi komentar dan analisis tentang jalannya pemilu presiden 12 Juni.

Sekitar 23 juta dari 78 juta penduduk Iran menggunakan jaringan internet dan diperkirakan lebih dari 45 juta penduduk negeri itu menggunakan telepon genggam.

Ayatollah Shahroudi telah mengirim instruksi pada pengadilan di seantero Iran dengan menetapkan butir 498, 499, 500, 504, 508, dan 510 tentang sanksi Islam yang menegaskan penjatuhan sanksi terhadap sindikat internet kontrarevolusi. Ia menegaskan, negara harus menghadapi dengan tegas para musuh di lingkungan media massa yang terus bertambah. (mth)

IRAN Kekuasaan Khamenei Mulai Digugat


Selasa, 7 Juli 2009 | 04:46 WIB

Revolusi Islam Iran tahun 1979, yang dipimpin Ayatollah Imam Khamenei, telah berusia 30 tahun. Ini adalah sebuah rentang waktu yang cukup lama. Dalam kurun waktu 30 tahun itu, tentu banyak perubahan, baik perubahan di kawasan Timur Tengah maupun di dalam negeri Iran sendiri. Perubahan itu menyangkut banyak hal, seperti wacana politik, manajemen pemerintahan terutama menyangkut ekonomi, sistem informasi dan komunikasi, serta perubahan generasi.

Wajar saja jika muncul suara lantang di Iran saat ini tentang isu reformasi yang di dalamnya termasuk isu demokrasi dan sistem kekuasaan yang lebih berpusat pada kekuasaan rakyat.

Sistem politik dan kekuasaan di Iran saat ini bersumber pada hasil referendum pada awal tahun 1980-an. Rakyat Iran, melalui referendum itu, menyetujui pembentukan Republik Islam Iran dengan kekuasaan penuh di tangan Wali al Fakih yang saat itu dijabat Pemimpin Revolusi Ayatollah Khamenei.

Mayoritas rakyat Iran sejak revolusi tahun 1979 hingga hari ini tampak tetap mendukung kuat sistem Wali al Fakih itu. Kekuatan politik di Iran dari berbagai latar belakang aliran, baik reformis maupun konservatif, tetap kompak satu suara mendukung sistem Wali al Fakih tersebut. Belum ada kekuatan politik di Iran saat ini yang meminta penghapusan sistem itu.

Namun, perbedaan pendapat terjadi antara berbagai kekuatan politik. Perbedaan pendapat itu terjadi pada dua tataran. Tataran pertama, perbedaan pendapat tentang sejauh mana kekuasaan Wali al Fakih itu, yang saat ini cenderung mutlak. Kini muncul kekuatan politik yang meminta kekuasaan Wali al Fakih dikurangi dan sebaliknya agar kekuasaan presiden diperkuat.

Peneliti senior pada Institut Riset dan Pendidikan Imam Khamenei, Dr Mohammad Fanael Eshkevari, hari Selasa (30/6) di kota Qom mengungkapkan, ”Satu hal yang sangat berbahaya adalah menyusupnya unsur sekuler radikal yang bersembunyi di belakang Mousavi, seperti elemen Mujahidin Enkilab.”

Menurut dia, ada kelompok di Iran saat ini, termasuk di antaranya Mujahidin Enkilab, yang cenderung mengurangi otoritas pemimpin spiritual Ali Khamenei dan lebih memperkuat kekuasaan presiden. ”Namun, kelompok itu masih sangat minoritas di Iran,” kata Eshkevari.

Ada pula Front Partisipasi pimpinan Reza Khatami (adik kandung mantan Presiden Muhammad Khatami) yang memiliki garis politik seperti Mujahidin Enkilab.

Pada tataran kedua, perbedaan pendapat lebih menyangkut isu pragmatis, seperti program ekonomi, korupsi, kebijakan politik luar negeri, dan isu sosial budaya. Kekuatan politik yang menggugat status quo kini tergabung dalam kubu reformis. Pihak yang menolak perubahan adalah kubu konservatif.

Perpecahan kekuatan politik di Iran sudah muncul sejak awal tahun 1990-an. Puncaknya ketika kubu reformis mengantarkan Muhammad Khatami menang pemilu presiden tahun 1997, mengalahkan capres kelas berat dari kubu konservatif Ali Akbar Nateq Nouri.

Bahkan perbedaan pendapat dalam tataran pertama, tentang kekuasaan Wali al Fakih, sudah terjadi sebelum itu, yaitu antara Ayatollah Imam Khamenei sendiri dan deputinya, Ayatollah Montazeri, pada tahun 1986. Montazeri menghendaki pembatasan atas kekuasaan Wali al Fakih. Namun, perbedaan pendapat antara Imam Khamenei dan Montazeri lebih bersifat intelektual dan elitis yang tidak merembes ke ranah publik. Namun, perbedaan pendapat itu berakhir dengan dipecatnya Montazeri dari jabatan Deputi Pemimpin Revolusi. Montazeri diminta lebih fokus pada profesi sebagai peningkatan ilmu agama di kota Qom, pusat pendidikan spiritual Iran ternama.

Kuasai kelembagaan

Akan tetapi, kini perbedaan pendapat itu lebih institusional. Baik kubu reformis maupun konservatif membawa sederetan tokoh politik di belakangnya. Namun, selama ini kekuatan masih ada di pihak konservatif, baik secara pemikiran, kekuasaan politik, maupun militer.

Namun, perpecahan semakin mengkristal.

Bukti terakhir adalah pertarungan antara kubu Mir Hossein Mousavi dan Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Akan tetapi, lagi-lagi kubu konservatif masih terlalu kuat. Mantan Presiden Iran Hashemi Rafsanjani yang sedang menduduki posisi kunci di pemerintahan seperti Ketua Dewan Pakar dan Ketua Penentu Kemaslahatan Pemerintah adalah pro-Mousavi, tetapi akhirnya memilih mendukung keputusan Dewan Garda yang memenangkan Ahmadinejad pada pemilu presiden 12 Juni.

Kekuatan konservatif begitu besar. Mantan presiden dari kubu reformis, Muhammad Khatami (1997-2005), tidak bisa berbuat apa-apa selama delapan tahun menjabat karena dikepung ketat kubu konservatif. Bahkan, meletup aksi unjuk rasa mahasiswa pada tahun 2003 menuntut Khatami turun dari jabatan presiden karena dinilai tidak berbuat apa-apa.

Lebih dari itu, kubu konservatif masih menguasai lembaga yudikatif serta aparat keamanan seperti pengawal revolusi dan Basij (milisi loyalis revolusi). Lembaga yudikatif dan aparat keamanan sangat menentukan kemenangan Ahmadinejad. Adapun Basij sangat berperan dalam membungkam aksi-aksi unjuk rasa pro-Mousavi di jalanan Teheran.

Butuh waktu lagi bagi kubu reformis untuk bisa unjuk gigi di Iran. Mungkin harus menunggu generasi keempat, yakni minimal 10 tahun lagi, agar perimbangan kekuatan lebih tercipta. Iran kini baru dalam tahapan generasi ketiga sejak revolusi 1979. (mth)

KERJA SAMA AS-Rusia Buka Lembaran Baru

AP PHOTO/ RIA NOVOSTI, SERGEI GUNEYEV
Presiden AS Barack Obama (kedua dari kiri), Ibu Negara Michelle Obama (kiri), dua putri mereka Malia (kanan) dan Sasha (kedua dari kanan), tiba di Moskwa, Rusia, Senin (6/7).

Selasa, 7 Juli 2009 | 04:27 WIB

Moskwa, Senin - Presiden Amerika Serikat Barack Obama dan Presiden Rusia Dmitry Medvedev berupaya membuka lembaran baru dalam hubungan kedua negara. Keduanya bertemu di Kremlin, Senin (6/7).

”Kami berharap semua diskusi bilateral kami akan menutup sejumlah halaman sulit dalam sejarah hubungan AS-Rusia dan membuka lembaran baru,” kata Medvedev pada awal pertemuan mereka.

Obama menambahkan, ”Jika kita bekerja keras selama hari-hari mendatang, kita akan membuat kemajuan luar biasa yang menguntungkan rakyat kedua negara. Kami yakin bahwa dari semua isu, AS dan Rusia lebih banyak memiliki kesamaan daripada perbedaan.”

Selepas Perang Dingin, hubungan AS-Rusia mencapai titik terendah pada tahun lalu saat Rusia mengerahkan pasukan ke tetangganya, Georgia, salah satu sekutu AS. Langkah itu memicu kecaman keras dari AS dan memperburuk hubungan kedua negara.

Kedua negara juga bersitegang soal rencana AS menempatkan sistem pertahanan rudal di Polandia dan Ceko. Para pemimpin AS berharap Rusia bisa melunak soal isu pertahanan rudal. Akan tetapi, kedua pihak justru terlihat memperkeras posisi mereka. AS bersikeras pertahanan rudal itu diperlukan untuk menangkal serangan dari Iran dan Korea Utara. Namun, Rusia memandang sistem pertahanan rudal sebagai ancaman.

Kunjungan pertama Presiden Obama ke Rusia akan menjadi tantangan besar bagi Obama. Fondasi yang dibangun pada pertemuan itu akan memengaruhi seberapa banyak kerja sama yang diperoleh Obama dalam isu-isu di mana AS memerlukan bantuan Rusia, seperti tekanan kepada Iran dan Korea Utara tentang program nuklir.

Pembicaraan kedua kepala negara juga menyangkut soal penanganan terorisme, pemanasan global, dan perekonomian. Kesepakatan yang akan ditandatangani termasuk komisi bersama baru tentang personel militer yang hilang dan tahanan perang sejak Perang Dunia II. Gedung Putih menyatakan, kedua negara juga sepakat bekerja sama dalam bidang kesehatan publik dan penelitian medis.

Pengganti START

Salah seorang pembicaraan kunci pada pertemuan Obama dan Medvedev adalah kesepakatan baru untuk menggantikan Traktat Pengurangan Senjata Strategis (START) yang habis masa berlakunya pada Desember 2008. Traktat yang disepakati tahun 1991 itu memberlakukan pembatasan ketat dalam senjata nuklir.

Kantor berita Rusia, Interfax, Senin, melaporkan, kedua negara akhirnya sepakat soal teks final kerangka dokumen pengganti START untuk ditandatangai kedua kepala negara. Sehari sebelumnya, Interfax melaporkan, para negosiator belum sepakat soal dokumen tersebut.

Kemarin Medvedev dan Obama akhirnya menandatangani deklarasi untuk pengurangan senjata nuklir menggantikan START. Kesepakatan itu akan mengurangi penempatan hulu ledak nuklir menjadi 1.500-1.675 dalam tujuh tahun.

Selain bertemu Medvedev, Obama dijadwalkan bertemu para pemimpin oposisi dan mantan pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev. Dia juga akan memberikan pidato tentang pandangannya terhadap hubungan AS-Rusia di New Economic School.

Tak ada ”Obamania”

Kedatangan Obama di Rusia juga tidak mendapat tanggapan antusias dari publik Rusia. Saat pesawat kepresidenan AS, Air Force One, mendarat, tidak ada tayangan langsung di televisi Rusia.

Saat iring-iringan kendaraan Obama melintas menuju Makam Pahlawan Tak Dikenal di pinggiran Moskwa, hanya sekelompok kecil orang di tepi jalan yang tersenyum dan melambaikan tangan.

Sebagian besar orang hanya menonton tanpa bereaksi. Sambutan itu tidak seperti yang diterimanya di negara-negara lain yang diwarnai ”Obamania”, dengan ribuan orang menyambut kedatangannya.

Hal itu sejalan dengan jajak pendapat yang diadakan University of Maryland, AS, menjelang kunjungan Obama ke Rusia. Hasil jajak pendapat menunjukkan, hanya 23 persen warga Rusia yang percaya Obama bisa melakukan hal yang tepat dalam urusan internasional. Sebanyak 15 persen responden mengatakan AS memainkan peran positif di dunia. Sebanyak 75 persen responden yakin bahwa AS menyalahgunakan kekuasaannya.

”Saya ingin melihat perubahan nyata, tidak sekadar omongan. Saya ingin melihat AS tidak banyak campur tangan di negara lain. Mereka kira mereka lebih dari negara lain,” kata Valentina Titova, pensiunan ekonom.

Obama juga akan bertemu Perdana Menteri Rusia Vladimir Putin, Selasa ini. Pekan lalu, Obama secara terbuka mengkritik Putin dengan mengatakan bahwa pendekatan Perang Dingin dalam hubungan AS-Rusia sudah kedaluwarsa.(ap/afp/reuters/fro)

Honduras Kian Terisolasi

AP PHOTO/ESTEBAN FELIX
Pesawat pembawa Presiden Honduras Manuel Zelaya, yang terjungkal, terbang di atas Bandara Internasional Tegucigalpa, Minggu (5/7). Pesawat tidak bisa mendarat karena landasan diblokade.

Selasa, 7 Juli 2009 | 04:18 WIB

Tegucigalpa, Senin - Honduras menghadapi isolasi lebih jauh dari dunia internasional, Senin (6/7), setelah menghalangi kembalinya presiden terguling, Manuel Zelaya, ke negara itu. Tentara memblokir landasan sehingga pesawat Zelaya terpaksa mendarat di El Savador.

Zelaya mencoba terbang kembali ke Honduras dari Washington dan mendarat di Tegucigalpa, Minggu malam waktu setempat, setelah digulingkan pada pekan lalu. Akan tetapi, otoritas bandara menolak memberi izin mendarat.

Ribuan pendukung Zelaya yang akan menyambut di bandara Tegucigalpa bentrok dengan aparat keamanan sehingga pilot berputar haluan. Setidaknya satu orang tewas dalam bentrokan itu saat ribuan pendukung Zelaya menerobos pagar pembatas dekat landasan.

Ini merupakan korban pertama yang jatuh dalam aksi protes mendukung Zelaya selama sepekan terakhir. Tentara melepaskan tembakan peringatan dan gas air mata serta memblokade landasan dengan kendaraan militer.

”Saya minta kepada tentara Honduras menurunkan senjata terhadap saudara-saudara sendiri,” kata Zelaya.

Ia menambahkan, ”Saya lakukan semua yang saya bisa. Jika saya punya parasut, saya akan segera melompat dari pesawat ini,” ujarnya.

Setelah gagal mendarat di Tegucigalpa, Zelaya bertemu Ketua Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) Jose Miguel Inzulsa serta Presiden Argentina, Ekuador, dan Paraguay di El Savador. Dalam konferensi pers, Inzulsa mengatakan, dia siap untuk terus bekerja menyelesaikan krisis di Honduras.

”Saya siap melanjutkan semua langkah diplomatik. Kami tidak bermaksud campur tangan, hanya mematuhi norma-norma yang dianut semua negara,” kata Inzulsa.

Namun, Presiden sementara Honduras Roberto Micheletti menegaskan, tidak akan bernegosiasi sampai segala sesuatu kembali normal. Pemilu dijadwalkan akan digelar pada November walaupun terbuka kemungkinan pemilu lebih awal. ”Kami akan tetap di sini sampai negara tenang. Kami perwakilan rakyat yang sah,” ujarnya.

Tekanan

OAS telah menskors keanggotaan Honduras, Sabtu pekan lalu. Kini, tekanan dunia internasional akan ditingkatkan dengan langkah pembekuan bantuan, penarikan duta besar, dan blokade perdagangan sementara.

Tanpa keanggotaan di OAS, Honduras akan menghadapi sanksi perdagangan dan hilangnya ratusan juta dollar AS untuk minyak bersubsidi, bantuan, dan pinjaman bagi negara termiskin ketiga di Amerika Latin itu. AS telah menyebut penggulingan Zelaya sebagai kudeta, yang artinya penghentian bantuan AS bagi Honduras.

Presiden Venezuela Hugo Chavez, pendukung Zelaya, telah menyatakan akan menghentikan pengiriman minyak ke Honduras yang bisa berdampak pada naiknya harga bahan bakar.

Kemarin, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) Ban Ki-moon menyerukan agar OAS memimpin upaya mencari solusi damai atas krisis di Honduras. Dia juga menyesalkan jatuhnya korban jiwa dalam bentrokan menyambut kepulangan Zelaya.

Tentara dan polisi dikerahkan ke jalan-jalan di Tegucigalpa. Jam malam ditambah, yang semula dimulai pukul 22.00 menjadi pukul 18.30 untuk mencegah massa berkumpul.

Zelaya menyatakan akan mencoba kembali ke Honduras pada Selasa ini. Upaya Zelaya untuk berkuasa kembali di Honduras berisiko tinggi karena semua cabang pemerintahan telah berbaris melawan dia.

Pemerintahan baru Honduras bersikukuh untuk menahan Zelaya atas 18 tuduhan kriminal, termasuk pengkhianatan dan kegagalan melaksanakan lebih dari 80 hukum yang disahkan Kongres Honduras sejak dia berkuasa tahun 2006. Dia juga dianggap melanggar keputusan Mahkamah Agung Honduras yang menolak rencana referendum tentang perubahan konstitusi.

Para kritikus khawatir bahwa Zelaya mencoba untuk memperpanjang kekuasaan dan mencengkeram jabatan presiden melalui cara yang sama dengan Presiden Hugo Chavez. Akan tetapi, bukannya menuntut melalui pengadilan atau mengalahkan lewat pemilu, tentara Honduras justru memaksa Zelaya keluar dari negara itu.

Pemerintahan baru Honduras bersikeras bahwa penggulingan Zelaya adalah transisi konstitusional. Namun, mereka gagal meyakinkan komunitas internasional dan tidak satu pun negara mengakui pemerintahan baru itu. (ap/afp/reuters/fro)

Senin, 06 Juli 2009

HONDURAS Zelaya Bertekad Pulang, Rakyat Siap Mendukung

Senin, 6 Juli 2009 | 03:24 WIB

Tegucigalpa, Minggu - Honduras bersiap menghadapi konfrontasi. Presiden Manuel Zelaya yang digulingkan bertekad pulang merebut kembali jabatannya dengan mendesak pendukungnya berkumpul di bandara untuk bentrok dengan pemerintah sementara yang berkuasa, sejak militer mengirimnya ke pengasingan sepekan lalu.

Uskup Agung negara Amerika Tengah itu, Kardinal Oscar Andres Rodriguez, mendesak Zelaya untuk tidak kembali. Uskup memperingatkan bahwa kepulangannya bisa menimbulkan pertumpahan darah. Pemerintah interim tetap mengancam akan menangkap Zelaya dan mengadilinya walau ada kecaman internasional atas kudeta itu.

Di Washington, Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) menskors Honduras sebagai anggota pada Sabtu malam. Namun, pengganti Zelaya, Roberto Micheletti, sebelumnya telah menarik negara itu keluar dari OAS karena ultimatum untuk memulihkan jabatan Zelaya.

Selama sepekan demonstrasi telah berlangsung dan umumnya berjalan damai oleh para pendukung dan pengecam Zelaya. Di antara demonstran itu terdapat anggota serikat buruh dan kelompok-kelompok penduduk asli.

Lebih dari 10.000 pendukungnya berdemonstrasi pada hari Sabtu dekat istana kepresidenan yang dijaga ketat. Zelaya memasang sebuah pesan di internet yang mendesak mereka yang setia untuk menyambut kedatangannya.

”Kami akan muncul di Bandara Internasional Honduras di Tegucigalpa... dan pada hari Minggu kami akan berada di Tegucigalpa,” kata Zelaya dalam sebuah rekaman pernyataan yang dipasang hari Sabtu di situs internet Telesur dan Cubadebate.

Tetap bersikap damai

Zelaya memohon para pendukungnya untuk tetap bersikap damai.

Pada sebuah radio setempat, Zelaya mengatakan, dia akan didampingi Presiden Argentina Cristina Fernandez, Presiden Ekuador Rafael Correa, beberapa menteri luar negeri, dan 300 wartawan.

Uskup Agung Honduras Kardinal Oscar Andres Rodriguez meminta Zelaya untuk tidak berkonfrontasi dengan pemerintah interim di tengah ketegangan yang sedang memuncak. Uskup mengatakan, ”Kembalinya Anda ke negara ini bisa menimbulkan pertumpahan darah.”(AP/AFP/DI)

IRAN Reza Pahlevi, Putra Shah Iran, Tidak Diperhitungkan

 

Atmosfer politik di Iran saat ini belum memberi tempat kepada Reza Pahlevi (43), putra sulung almarhum Muhammad Reza Shah Pahlevi, shah Iran terakhir. Adalah ilusi baginya untuk bisa kembali ke Iran dalam waktu dekat.

Belum terlihat sebuah komentar atau analis media massa maupun para pakar Iran yang memunculkan isu kembalinya sistem monarki dengan Reza Pahlevi sebagai simbol.

Menjelang dan setelah pemilu presiden 12 Juni, Pahlevi berusaha mendompleng pada situasi politik yang panas. Ia memanfaatkan dengan baik media Barat untuk memberikan komentar tentang situasi terakhir di Iran.

Ia pun tampil beberapa kali di CNN, kantor berita AP, AFP, dan media Barat lain.

 

 

Namun, komentar politik Reza Pahlevi ibarat angin lalu saja. Jangankan di dalam negeri, media massa dan para pakar di Timur Tengah tidak pernah memperhitungkan komentarnya.

Pahlevi, baik di dalam negeri maupun di Timur Tengah, masih dianggap jauh dari panggung politik Iran. Hanya media Barat yang masih memberikan tempat kepada Pahlevi dan keluarganya.

Media massa dan sejumlah pejabat konservatif menuduh ada pihak asing yang mengintervensi dalam kerusuhan politik pascapemilu 12 Juni itu. Namun, tuduhan mereka tertuju kepada Amerika Serikat dan Inggris, bukan Pahlevi.

 

 

 

Peneliti senior pada Institut Riset dan Pendidikan Imam Khomeini, Dr Mohammad Fanael Eshkevari, dalam perbincangan dengan Kompas, Selasa (30/6) di kota Qom, mengatakan, faktor yang turut meletupkan krisis di Iran adalah intervensi asing, seperti keputusan Kongres AS menggelontorkan dana 400 juta dollar AS pada 2006 untuk menggoyang stabilitas di Iran.

Menurut dia, AS bisa saja mengucurkan dana itu ke pihak- pihak tertentu di Iran. Namun, Eshkevari sama sekali tidak menyebut keluarga shah Iran ikut dalam kekuatan luar yang ingin menggoyang Pemerintah Iran.

Dukungan tanpa batas

Media massa Iran juga tidak pernah menyebut keluarga Shah Pahlevi yang kini hidup di AS.

 

 

Bisa ditarik kesimpulan bahwa kekuatan keluarga Shah Iran Reza Pahlevi tidak diperhitungkan sama sekali di Iran.

Opini yang berkembang di Iran selama ini, Shah Iran Reza Pahlevi bisa berkuasa cukup lama di Iran karena dukungan tanpa batas dari AS.

Sejumlah cendekiawan di Iran, di antaranya almarhum Ali Shariati, sudah memprediksikan 10 tahun sebelum meletusnya revolusi Iran tahun 1979 bahwa berakhirnya kekuasaan shah Iran hanya menunggu waktu.

Prediksi Ali Shariati itu akhirnya jadi kenyataan 10 tahun kemudian lewat revolusi rakyat yang dipimpin Ayatollah Imam Khomeini tahun 1979.

Artinya, dinasti shah Iran sesungguhnya sudah ambruk jauh sebelum tahun 1979 jika tak ada dukungan tanpa batas dari AS.

Karena itu, para pemimpin Iran dari kubu konservatif saat ini sangat memperhitungkan AS dan Barat, serta menganggap pula krisis politik di Iran terakhir ini bagian dari pertarungan Iran dan dunia Barat.

Jangan heran pula bila sejumlah pemimpin kubu konservatif kini menuduh Mir Mousavi dan pemimpin kubu reformis lainnya membangun konspirasi dengan Barat.

 

 

Catatan sejarah menunjukkan Iran punya pengalaman sangat pahit. Salah satunya adalah ketika AS dan Inggris menggulingkan kekuasaan pemerintah nasionalis pimpinan PM Muhammad Mosaddeq tahun 1953 dan digantikan dengan sistem monarki pimpinan Muhammad Reza Pahlevi yang sangat pro- Barat.

Apakah peristiwa tahun 1953 bisa berulang kembali di Iran, di mana AS mengantarkan lagi Reza Pahlevi ke tampuk kekuasaan?

Kalkulasi politik dan militer, tampaknya sangat sulit, untuk tidak mengatakan mustahil, peristiwa 1953 itu bisa terulang lagi di Iran.

Pemerintahan revolusioner di Iran masih sangat kuat, baik secara militer, ekonomi, maupun popularitas. Berbeda dari pemerintahan PM Mosaddeq tahun 1953 yang cenderung elitis dan mudah dijatuhkan.

Pemerintah revolusioner Iran, meskipun mengalami keretakan, masih dalam lingkup keluarga besar loyalis revolusi. Hampir semua para pemain politik di Iran saat ini merupakan didikan almarhum Ayatollah Imam Khomeini.

AS pun di bawah Presiden Barack Obama lebih memilih pendekatan dialog daripada konfrontasi dalam menyelesaikan isu-isu Timur Tengah. AS tampaknya sudah mengambil banyak pelajaran dari kasus Irak dan Afganistan yang berlarut-larut hingga hari ini.

Ketua Parlemen Iran Ali Larijani dalam forum sidang parlemen anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Aljazair, pekan lalu, mengingatkan, Teheran bukan Baghdad atau Kabul yang mudah digoyang. (mth)

Jumat, 03 Juli 2009

Malaysia Investasi Asing Menurun Drastis

Kuala Lumpur, Kamis - Investasi asing di Malaysia turun pada tahun ini. Demikian pernyataan dari Menteri Perdagangan Malaysia Mustapa Mohamed di Kuala Lumpur, Kamis (2/7). Pengumuman tersebut keluar setelah pemerintah melakukan langkah liberalisasi dalam rangka mencegah penurunan investor lebih jauh.

”Investasi asing langsung pada tahun 2008 senilai 46 miliar ringgit (Rp 138 miliar) dan untuk Januari hingga Mei tahun ini hanya ada 4,2 miliar ringgit (Rp 12,1 miliar) saja,” ujar Mustapa.

Wahad Hamid, Wakil Ketua Otoritas Pembangunan Industri Malaysia, mengatakan, iklim investasi sangat sulit meskipun kinerja perekonomian Malaysia cukup baik dalam tiga tahun terakhir.

”Tahun lalu, total investasi sekitar 62 miliar ringgit, tetapi tahun ini targetnya hanyalah separuhnya saja, sekitar 30 miliar ringgit,” ujar Wahad Hamid.

Mustapa mengatakan, ia yakin langkah liberalisasi yang diumumkan Perdana Menteri Najib Razak pekan ini akan membantu membawa masuk lebih banyak dana investasi. Dalam masa krisis ini, perekonomian Malaysia diperkirakan terkontraksi sebesar 5 persen tahun ini.

”Kami yakin kepercayaan investor akan membaik dan kami yakin langkah seiring dengan diambil pemerintah,” ujarnya lagi.

Langkah liberalisasi itu antara lain mempersyaratkan setidaknya 30 persen penawaran saham perdana bagi warga Malaysia.

Mohammed Arif, Kepala Institut Riset Ekonomi Malaysia, mengatakan, langkah-langkah itu belum dapat dikatakan berhasil dan hanya akan berbuah jika perekonomian akan membaik. ”Pengumuman liberalisasi seharusnya dibuat pada saat keadaan baik, bukan pada saat seperti ini. Pada perekonomian yang membaik pasti akan ada banyak respons dari para investor asing,” ujarnya. (AFP/joe)

 

Honduras Micheletti Tuding Chavez Mengompori Krisis

Tegucigalpa, Kamis - Pemimpin sementara Honduras pada Kamis (2/7) menolak tekanan untuk mengizinkan kembalinya presiden terguling, Manuel Zelaya, dan menuduh Presiden Venezuela Hugo Chavez mengompori krisis yang kini telah memasuki hari kelima itu.

Dalam krisis terburuk di Amerika Tengah dalam satu dekade, Zelaya digulingkan oleh militer dan diterbangkan ke Kosta Rika pada hari Minggu pagi setelah dia membuat berang lawan-lawannya dengan rencana mengubah konstitusi untuk mencabut batasan masa jabatan presiden.

Roberto Micheletti, yang ditunjuk Kongres untuk menggantikan Zelaya hanya beberapa jam setelah digulingkan, berupaya keras mendapatkan dukungan internasional untuk pemerintahannya, tetapi berbagai pemerintah di kawasan itu mendesak agar Zelaya dikembalikan.

Organisasi Negara-negara Amerika (OAS) memberi Micheletti batas waktu sampai hari Sabtu untuk minggir dan mengembalikan Zelaya ke jabatannya, atau Honduras diskors dari organisasi itu. Pemerintah Obama menghentikan operasi militer gabungan, dan Perancis, Spanyol, Italia, Cile, serta Kolombia memanggil pulang duta besar mereka pada hari Rabu.

Kritik terkeras datang dari Chavez, yang telah mengimbau rakyat Honduras untuk bangkit melawan ”pemerintah gorila” dan bertekad melakukan segala yang mungkin untuk menggulingkan itu dan mengembalikan kekuasaan pada sekutunya Zelaya.

Pemimpin sementara Honduras pada hari Rabu menyerang balik kritik asing itu, dengan menuduh Chavez memperburuk masalah Honduras.

”Chavez telah punya campur tangan yang jelas dalam situasi yang sedang dijalani Honduras,” kata Micheletti.

Hari Minggu, hari terjadinya kudeta, Micheletti mengatakan dukungan Zelaya pada Chavez, dan sebaliknya, ada di pusat masalah. Waktu itu Micheletti mengatakan bahwa Zelaya akan diterima dengan tangan tebruka untuk kembali ke Honduras sebagai warga biasa dengan satu syarat, ”Tanpa dukungan Hugo Chavez, kami akan menerima dia dengan tangan terbuka.”

Pada hari Kamis, dalam wawancara dengan AFP, Micheletti mengatakan, ”Kami tidak menegosiasikan apa pun.”

”Kami tak bisa mencapai kesepakatan karena ada perintah untuk menangkap mantan Presiden Zelaya di sini untuk pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya ketika dia seorang pejabat,” katanya di istana kepresidenan.

Sementara itu, Zelaya menunggu waktu di Panama di mana dia menghadiri pelantikan presiden negara itu. ”Kami akan menunggu 72 jam agar proses ini berjalan,” katanya merujuk ultimatum OAS. (AP/AFP/Reuters/DI)

IRAN Reformis Tolak Akui Ahmadinejad

Mustafa Abd Rahman

Teheran, Kompas - Tiga kekuatan politik yang kini menjadi tulang punggung kubu reformis, yaitu partai ”Kalimat Hijau” pimpinan Mir Hossein Mousavi, ”Front Partisipasi” pimpinan Reza Khatami (adik kandung mantan Presiden Muhammad Khatami), dan ”I’timad” pimpinan Mehdi Karroubi, pada Kamis (2/7) menyatakan menolak hasil pemilu presiden 12 Juni.

Kubu reformis akhirnya memberi pernyataan tersebut setelah tiga hari berdiam diri, menyusul keputusan Dewan Garda Konstitusi pada Senin lalu yang memenangkan secara resmi Mahmoud Ahmadinejad dalam pemilu 12 Juni itu. 

Di Teheran, aparat antihuru- hara dan Basij (milisi loyalis revolusi) bersiaga di tempat-tempat strategis, seperti alun-alun Azadi, Haf-e-tir, alun-alun Imam Khomeini, dan alun-alun Enkilob. Pendukung Mousavi biasanya melakukan aksi protes di tempat-tempat tersebut.

Para analis menyebut, kubu reformis secara politik kini mengalami pelemahan setelah Hashemi Rafsanjani cenderung menerima keputusan Dewan Garda itu.

Rafsanjani yang mendukung posisi strategis di pemerintahan, sebagai Ketua Dewan Pakar dan Ketua Dewan Penentu Kemaslahatan Pemerintah, selama ini menjadi pendukung kuat Mousavi. Sebaliknya, kubu reformis mengandalkan Rafsanjani, berjuang dari dalam pemerintah untuk kepentingan kubu reformis.

Reformis menolak

Kubu reformis tolak mengakui legalitas hasil pemilu presiden 12 Juni dan selanjutnya menolak mengakui Ahmadinejad sebagai presiden Iran. Kubu reformis juga menolak melakukan komunikasi dengan Ahmadinejad.

Kubu Reformis menyebut, pemilu 12 Juni lalu sebagai aksi kudeta militer yang dipersiapkan sejak setahun lalu, yang merugikan legitimasi institusi negara, di dalam dan di luar negeri.

Menurut kubu reformis, waktu belum berakhir untuk melakukan aksi protes, tetapi masih mencari waktu yang tepat untuk melanjutkan aksi protes itu.

Kubu reformis mengimbau personal, partai, dan kekuatan politik pro reformis mencegah melakukan aksi yang bisa dijadikan dalih oleh pemerintah untuk melancarkan aksi kekerasan terhadap pelaku aksi protes, sehingga malah semakin memperkuat perilaku diktatornya.

Reformis menuduh sayap radikal dalam kubu konservatif ingin memaksakan status quo, menutup buku soal pemilu, dan menyebarkan Basij dalam jumlah banyak di kota-kota besar Iran.

Kubu reformis mengklaim, kubu konservatif kini menekan sedemikian rupa pada Mousavi dan Karroubi agar menerima hasil pemilu 12 Juni, tetapi mereka menolak keras tekanan itu.

Kubu reformis mengungkapkan, pihaknya kini tengah melakukan konsultasi intensif guna membahas langkah ke depan. Ditegaskan, kubu reformis bertekad terus melakukan aksi protes dan menganggap pertarungan belum selesai. Adapun Mousavi dalam situsnya menegaskan, pemerintahan Ahmadinejad mendatang tidak sah menurut sebagian besar rakyat Iran.

”Waktu belum berakhir. Kewajiban historis kita adalah melanjutkan aksi protes untuk membela hak rakyat. Namun, kewajiban kita juga adalah mencegah gugurnya ratusan ribu rakyat sehingga bisa mengantarkan Iran menjadi negara polisi,” bunyi situs Mousavi.