Senin, 06 Juli 2009

IRAN Reza Pahlevi, Putra Shah Iran, Tidak Diperhitungkan

 

Atmosfer politik di Iran saat ini belum memberi tempat kepada Reza Pahlevi (43), putra sulung almarhum Muhammad Reza Shah Pahlevi, shah Iran terakhir. Adalah ilusi baginya untuk bisa kembali ke Iran dalam waktu dekat.

Belum terlihat sebuah komentar atau analis media massa maupun para pakar Iran yang memunculkan isu kembalinya sistem monarki dengan Reza Pahlevi sebagai simbol.

Menjelang dan setelah pemilu presiden 12 Juni, Pahlevi berusaha mendompleng pada situasi politik yang panas. Ia memanfaatkan dengan baik media Barat untuk memberikan komentar tentang situasi terakhir di Iran.

Ia pun tampil beberapa kali di CNN, kantor berita AP, AFP, dan media Barat lain.

 

 

Namun, komentar politik Reza Pahlevi ibarat angin lalu saja. Jangankan di dalam negeri, media massa dan para pakar di Timur Tengah tidak pernah memperhitungkan komentarnya.

Pahlevi, baik di dalam negeri maupun di Timur Tengah, masih dianggap jauh dari panggung politik Iran. Hanya media Barat yang masih memberikan tempat kepada Pahlevi dan keluarganya.

Media massa dan sejumlah pejabat konservatif menuduh ada pihak asing yang mengintervensi dalam kerusuhan politik pascapemilu 12 Juni itu. Namun, tuduhan mereka tertuju kepada Amerika Serikat dan Inggris, bukan Pahlevi.

 

 

 

Peneliti senior pada Institut Riset dan Pendidikan Imam Khomeini, Dr Mohammad Fanael Eshkevari, dalam perbincangan dengan Kompas, Selasa (30/6) di kota Qom, mengatakan, faktor yang turut meletupkan krisis di Iran adalah intervensi asing, seperti keputusan Kongres AS menggelontorkan dana 400 juta dollar AS pada 2006 untuk menggoyang stabilitas di Iran.

Menurut dia, AS bisa saja mengucurkan dana itu ke pihak- pihak tertentu di Iran. Namun, Eshkevari sama sekali tidak menyebut keluarga shah Iran ikut dalam kekuatan luar yang ingin menggoyang Pemerintah Iran.

Dukungan tanpa batas

Media massa Iran juga tidak pernah menyebut keluarga Shah Pahlevi yang kini hidup di AS.

 

 

Bisa ditarik kesimpulan bahwa kekuatan keluarga Shah Iran Reza Pahlevi tidak diperhitungkan sama sekali di Iran.

Opini yang berkembang di Iran selama ini, Shah Iran Reza Pahlevi bisa berkuasa cukup lama di Iran karena dukungan tanpa batas dari AS.

Sejumlah cendekiawan di Iran, di antaranya almarhum Ali Shariati, sudah memprediksikan 10 tahun sebelum meletusnya revolusi Iran tahun 1979 bahwa berakhirnya kekuasaan shah Iran hanya menunggu waktu.

Prediksi Ali Shariati itu akhirnya jadi kenyataan 10 tahun kemudian lewat revolusi rakyat yang dipimpin Ayatollah Imam Khomeini tahun 1979.

Artinya, dinasti shah Iran sesungguhnya sudah ambruk jauh sebelum tahun 1979 jika tak ada dukungan tanpa batas dari AS.

Karena itu, para pemimpin Iran dari kubu konservatif saat ini sangat memperhitungkan AS dan Barat, serta menganggap pula krisis politik di Iran terakhir ini bagian dari pertarungan Iran dan dunia Barat.

Jangan heran pula bila sejumlah pemimpin kubu konservatif kini menuduh Mir Mousavi dan pemimpin kubu reformis lainnya membangun konspirasi dengan Barat.

 

 

Catatan sejarah menunjukkan Iran punya pengalaman sangat pahit. Salah satunya adalah ketika AS dan Inggris menggulingkan kekuasaan pemerintah nasionalis pimpinan PM Muhammad Mosaddeq tahun 1953 dan digantikan dengan sistem monarki pimpinan Muhammad Reza Pahlevi yang sangat pro- Barat.

Apakah peristiwa tahun 1953 bisa berulang kembali di Iran, di mana AS mengantarkan lagi Reza Pahlevi ke tampuk kekuasaan?

Kalkulasi politik dan militer, tampaknya sangat sulit, untuk tidak mengatakan mustahil, peristiwa 1953 itu bisa terulang lagi di Iran.

Pemerintahan revolusioner di Iran masih sangat kuat, baik secara militer, ekonomi, maupun popularitas. Berbeda dari pemerintahan PM Mosaddeq tahun 1953 yang cenderung elitis dan mudah dijatuhkan.

Pemerintah revolusioner Iran, meskipun mengalami keretakan, masih dalam lingkup keluarga besar loyalis revolusi. Hampir semua para pemain politik di Iran saat ini merupakan didikan almarhum Ayatollah Imam Khomeini.

AS pun di bawah Presiden Barack Obama lebih memilih pendekatan dialog daripada konfrontasi dalam menyelesaikan isu-isu Timur Tengah. AS tampaknya sudah mengambil banyak pelajaran dari kasus Irak dan Afganistan yang berlarut-larut hingga hari ini.

Ketua Parlemen Iran Ali Larijani dalam forum sidang parlemen anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Aljazair, pekan lalu, mengingatkan, Teheran bukan Baghdad atau Kabul yang mudah digoyang. (mth)

Tidak ada komentar: