Kamis, 01 Oktober 2009

C(h)ina


Kamis, 1 Oktober 2009 | 04:29 WIB

Christine Susanna Tjhin

Sebulan ini, Beijing sibuk menyiapkan perayaan 60 tahun Republik Rakyat China.

Tak hanya itu. Media penuh program patriotik. Parade disiapkan, memamerkan kekuatan militer dan budaya China. Film epik Berdirinya Sebuah Republik yang melibatkan artis-artis besar seperti Jackie Chan, Jet Li, dan Andy Lau memecahkan rekor penjualan tiket terbesar. Hajatan sepekan itu ditutup pergelaran opera Turandot karya Puccini di megastadium Sarang Burung oleh sutradara Zhang Yimou, sebagai simbol ”China yang baru”, perpaduan budaya tradisional Kerajaan Tengah dan republik yang mendunia.

Namun, di sela-sela kemeriahan pesta, keamanan ibu kota dan wilayah rentan, seperti Tibet dan Xinjiang, diperketat. Warga lokal, sejumlah diplomat, dan wartawan asing yang tinggal di sekitar Tiananmen mengeluhkan peringatan untuk tidak membuka jendela saat parade berlangsung. Akses internet kian dibatasi, bahkan Facebook dan Twitter diblok. Apa yang sebenarnya terjadi dalam merefleksikan enam dekade kehadiran China di dunia?

Setelah enam dekade

Dari era Mao Zedong, modernisasi Deng Xiaoping, dan globalisasi saat ini, kompleksitas dari realitas China kian nyata. Pertumbuhan ekonomi yang menghasilkan devisa dua triliun dollar AS mengangkat 200 juta lebih penduduk China dari kemiskinan dan melahirkan kota-kota megapolitan. Namun, masih ada ratusan juta warga yang miskin dan menganggur. Melebarnya kesenjangan ekonomi sosial dan degradasi lingkungan meningkatkan potensi instabilitas.

Kecepatan pembangunan fisik tak sepenuhnya diimbangi pembangunan nonfisik. Problem terkikisnya komunisme sebagai ideologi negara belum nyaman terjawab oleh kehadiran nasionalisme. Gelora nasionalisme mendapat tantangan konflik sosial di mana faktor kesenjangan, politik identitas, dan hak asasi manusia bersilangan.

Dari kasus obor olimpiade di Paris, konflik Tibet dan Xinjiang, gempa Wenchuan, hingga astronot China pertama menampilkan ekspresi nasionalisme yang berwarna. Pemerintah sering kelimpungan saat harus menangani gelombang pasang nasionalisme.

Sebuah arena interaksi narasi nasionalisme adalah dunia maya. Birokrasi ruang maya menjadi fenomena sosial yang hangat. Lebih dari 380 juta pengguna dari kelas menengah/atas berkelit dari polisi internet serta mencari gelanggang berekspresi secara kritis dan kreatif di dunia maya sebagai alternatif kekakuan dunia nyata. Banyak kebijakan direvisi/dihapus karena tekanan opini publik bertebaran di blog.

Seputar sistem politik, sekilas tidak tampak perubahan dari esensi struktur multipartai yang didominasi Partai Komunis (tertutup dan tanpa oposisi riil), tetapi internal partai ternyata lebih dinamis. Era pemimpin karismatik diganti kepemimpinan kolektif, diwarnai persaingan kubu ”populis” (Liga Pemuda Komunis) dan kubu ”pangeran” (penerus pemimpin era lalu).

PKC menunjukkan peningkatan kemampuan beradaptasi, terutama dalam pemanfaatan media dan pemberdayaan kaum intelektual. Desentralisasi dan ”konsultasi publik” dalam proses kebijakan kian mendapat angin.

China bersiap menjalani transisi, dari generasi ke-4 (Hu Jintao) ke generasi ke-5 (Xi Jinping?). Pengamat menerka-nerka, bagaimana transisi pada 2012 akan berlangsung setelah dalam rapat ke-17 PKC lalu, Xi tidak ditunjuk sebagai Wakil Ketua Komisi Militer Pusat, posisi yang dulu memuluskan jalan Hu.

China dan dunia

China tidak berpretensi ingin mengubah dunia, kata beberapa pemikir strategis China. Hanya dengan mengubah diri China sendiri, seluruh dunia akan ikut berubah. Apa pun motivasinya, meningkatnya kepercayaan diri atau keinginan untuk menenangkan dunia sulit dimungkiri.

Meski masih jauh bagi China untuk menggantikan hegemoni Amerika Serikat, kehadirannya mendorong kita untuk mau tidak mau menggunakan lensa berbeda dalam meretas perjalanan dan pemikiran baru komunitas global. Kehadiran konsep ”Konsensus Beijing” telah mengundang perdebatan kritis seputar sebaran kapitalisme dan demokrasi liberal yang terpatri dalam ”Konsensus Washington”.

Selama krisis keuangan dunia, ekonomi terbesar ketiga dunia ini muncul sebagai salah satu penyangga dunia. Bahkan, dalam pertemuan G-20 lalu, China tampak kian lugas menuntut rekayasa ulang sistem keuangan global dan tatanan ekonomi baru. Perdebatan perlunya G-2, meski dikatakan prematur, mengindikasikan nilai strategis China untuk bersanding dengan AS. Yang jelas, China kian piawai memanfaatkan mekanisme multilateral.

Menuju ”mitra strategis”

Bagaimana posisi hubungan Indonesia-China? Meski lambat, posisi China bergeser, merefleksikan aspirasi mengangkat peran Indonesia ke tataran global. Kecanggungan kita sebagai aktor global masih terasa, dan ini diperburuk oleh institusionalisasi persepsi ”ancaman China” semasa Orde Baru. Ini akan memengaruhi kita dalam berinteraksi dengan China. Sejak penandatanganan kemitraan strategis 2006, pertanyaan ”mana dagingnya?” masih belum terjawab.

Dalam pertemuan G-20, Hu menggarisbawahi skema pertukaran mata uang antarnegara sebesar 95 miliar dollar, termasuk Indonesia, yang menjanjikan perdagangan lebih dinamis. Pertukaran mata uang bilateral masih diwarnai kebingungan dan keraguan. Kajian mendalam diperlukan guna menimbang manfaat skema ini dan mengurangi ketergantungan terhadap dollar, terutama pada saat krisis.

Diplomasi kita harus didukung kajian kritis tentang dampak perubahan China. Jangan sampai kecanggungan kita, terefleksi dalam kebingungan menyebut nama Negara Tirai Bambu (China, Cina, atau Tiongkok), trauma sejarah, dan kesenjangan pengetahuan, menghilangkan kesempatan mengambil manfaat dari perkembangan China.

Christine Susanna Tjhin Peneliti di CSIS; Sedang Mengambil Doktor di Jurusan Diplomasi Universitas Peking, China

Belajar dari China


Kamis, 1 Oktober 2009 | 04:31 WIB

I Basis Susilo

Dalam Pendahuluan buku Merangkul Cina (2009), sinolog I Wibowo membandingkan China dan Indonesia.

Berangkat dari kondisi yang sama—hancur sebagai korban Perang Dunia—perjalanan waktu membedakan nasib keduanya. Tulisnya, ”Memasuki abad ke-21 China telah menjadi kekuatan besar, sementara Indonesia tetap menjadi kekuatan kecil, bahkan tidak mempunyai kekuatan.”

Pendapat tentang Indonesia tidak punya kekuatan tampaknya berlebihan. Beberapa bukti terakhir, seperti perannya di G-20, menunjukkan Indonesia sudah punya ”sesuatu” yang bisa dipelihara dan didayagunakan di kemudian hari. Namun, pendapat bahwa China lebih maju dari Indonesia memang tidak terbantahkan. Justru karena itu, kemajuan China bisa dijadikan pelajaran berharga guna memacu kemajuan Indonesia.

Banyak pelajaran bisa diambil dari kemajuan China. Tiga yang mendasar dan penting adalah soal kepercayaan diri, prioritas pendidikan, dan peta jalan ke depan.

Percaya diri

Kepercayaan diri adalah salah satu sifat yang dibangun dan dikembangkan Mao Zedong sejak awal 1930-an hingga 1970-an. Percaya diri itu dibangun sebagai jawaban atas ”penghinaan seratus tahun” (bainian guochi) sebelumnya oleh bangsa-bangsa Barat dan Jepang sejak Perang Candu 1840-1949. Begitu bernafsunya membangun kepercayaan diri, Mao memaksakan Revolusi Kebudayaan (1966-1976) yang menelan korban jutaan jiwa. Bagaimanapun, Mao menyumbangkan bangunan dasar bagi infrastruktur, industri, kesehatan, dan pendidikan yang memadai.

Karena itu, struktur bangunan dasar psikologis, ekonomis, sosial, dan politik untuk eksis dan maju, China secara alami tumbuh lebih kuat dan lebih percaya diri dibandingkan dengan, misalnya, Jepang dan Korsel yang harus menggadaikan sebagian kedaulatannya kepada AS.

Prioritas pendidikan diperhatikan dan dijalankan para pemimpin China sejak Mao. Menurut Gang Guo (2007), selama Revolusi Kebudayaan, jumlah siswa masuk sekolah dasar meningkat separuh, sekolah menengah pertama naik empat kali lipat, dan sekolah menengah meningkat 14 kali lipat.

Memang ada perdebatan terkait kualitas pendidikan. Namun, Mao memberi dasar distribusi yang lebih merata sumber daya manusia. Bila revolusi kebudayaan untuk SD-SMA, yang terkena langsung revolusi kebudayaan adalah yang lahir antara 1951 dan 1970, yang kini menjadi tulang punggung kemajuan RRC sejak 1990-an.

Deng Xiaoping pada 1978 mengatakan, ”Bila China ingin memodernisasi pertanian, industri, dan pertahanan, yang harus dimodernisasi lebih dahulu adalah sains dan teknologi serta menjadikannya kekuatan produktif.” Pada 1985, Deng menegaskan pentingnya pendidikan karakter, dan orientasi hafalan dianggap ”membunuh” karakter anak. Setelah itu, guru dan kaum profesional amat dihargai.

Presiden Jiang Zemin pada 2000 mengumpulkan semua pemimpin China untuk membahas bagaimana mengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikan yang patut secara umur dan menyenangkan, serta pengembangan semua aspek dimensi manusia, kognitif, karakter, aestitika, dan fisik.

Pada 2005, Pusat Penelitian Modernisasi China menerbitkan peta jalan Modernisasi China untuk abad ke-21. Isinya: tahun 2025 produk domestik bruto (GDP) China menyamai Jepang. Tahun 2050 China jadi negara maju secara moderat. Tahun 2080 China menjadi negara maju, sama dengan AS. Tahun 2100 China menjadi negara paling maju di dunia, melampaui AS. Atas dasar peta jalan itu, China bergerak menuju masyarakat yang lebih baik secara bersama (xiaokang).

Indonesia

Dibandingkan dengan bangsa kita, kepercayaan diri bangsa China lebih kuat karena dasar yang dibangun Mao dan capaian-capaian kasatmata, seperti olimpiade dan kemajuan ekonominya.

Namun, pelan tetapi pasti, bangsa Indonesia sebenarnya mulai percaya diri. Keberhasilan mempraktikkan demokrasi dan kemajuan ekonomi setelah krisis akhir 1990-an mulai menjadikan kita dihargai negara-negara lain. Buktinya, dalam GDP, Indonesia berada di nomor 16 dunia dan menjadi anggota G-20 yang mulai disegani anggota lain. Momentum untuk kepercayaan diri ini perlu terus dijaga, dipelihara, dan diapresiasi.

Kendati terlambat, bangsa kita telah mengakui pentingnya pendidikan sebagai pendasar bangunan bangsa. Hal itu terbukti dengan anggaran 20 persen untuk pendidikan. Kendati implementasinya belum sempurna dan konsepnya belum kuat sehingga terkesan lebih sibuk menghabiskan anggaran, keputusan politik bangsa bahwa pendidikan harus diprioritaskan sudah berada di jalur yang benar. Dalam waktu 20 tahun ke depan, kita akan membuktikan bangsa ini akan lebih kuat bersaing di antara bangsa-bangsa lain. Konsep pembangunan pendidikan harus dibuat lebih mendasar dan terarah sehingga alokasi dana 20 persen pendidikan bisa dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

Namun, agar kemajuan itu tercapai, diperlukan peta jalan yang lebih jelas. Dua tahun lalu, Yayasan Indonesia Forum menyampaikan Visi Indonesia 2030. Beberapa lembaga dan pusat studi tentu punya kerangka peta jalan bangsa. Yang penting, peta jalan itu diakui dan disepakati oleh lembaga berwenang sehingga mempunyai legitimasi yang kuat untuk diterapkan. Dulu MPR membuat rencana pembangunan berjangka panjang. Kini para pemimpin harus mencari cara untuk membuat dan memutuskan peta jalan yang lebih otoritatif guna memandu perjalanan pembangunan bangsa.

I Basis Susilo Dosen Hubungan Internasional dan Dekan FISIP Unair

Ekonomi China Setelah Pertumbuhan 30 Tahun


Kamis, 1 Oktober 2009 | 04:32 WIB

Thee Kian Wie

Hari ini Republik Rakyat China merayakan HUT ke-60. RRC diproklamasikan pada 1 Oktober 1949 oleh Mao Zedong di hadapan massa di lapangan Tiananmen.

Pada peristiwa ini, ada baiknya merenungkan pencapaian negara raksasa ini di bidang ekonomi, terutama sejak reformasi ekonomi pada tahun 1979, dan berbagai tantangan yang dihadapi.

Reformasi ekonomi

Sejak Deng Xiaoping meluncurkan program reformasi ekonomi tahun 1979, ekonomi China mengalami pertumbuhan amat menakjubkan.

Akibat pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 10 persen setahun dan berlangsung hampir 30 tahun—sebelum negara ini terkena dampak krisis finansial global akhir 2008—ekonomi China diukur dari besarnya produk domestik bruto menjadi negara ketiga terbesar di dunia sesudah ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Jepang. Bahkan, menurut proyeksi, dalam beberapa tahun mendatang China akan melampaui Jepang jadi ekonomi kedua terbesar di dunia sesudah AS.

Selain itu, menurut perkiraan Bank Dunia, persentase penduduk China yang hidup di bawah garis kemiskinan telah menurun dari 60 persen pada 1978 menjadi 7,0 persen pada 2007. Ini berarti sejak 1979 kesejahteraan ratusan juta penduduk China yang miskin dapat ditingkatkan, suatu kinerja yang tiada taranya dalam sejarah ekonomi dunia.

Demokrasi

Menurut Profesor Deepak Lal dari Universitas California, Los Angeles, faktor penting mengapa pimpinan China berbeda dengan elite politik India dan Indonesia, telah berhasil menempuh kebijakan reformasi ekonomi yang lebih konsisten dan berkelanjutan, adalah karena mereka sepenuhnya merangkul ideologi kapitalisme. Di sisi lain, dalam pidato baru-baru ini, Presiden Hu Jintao menegaskan demokrasi Barat tidak cocok bagi China.

Investasi asing

Kebijakan ekonomi China adalah pragmatis yang didasarkan atas evaluasi pengalaman dalam pelaksanaan berbagai eksperimen program pembangunan yang mereka sebut ”mencari kebenaran dari kenyataan konkret”, seperti ”sistem tanggung jawab rumah tangga” yang pada akhir 1970-an telah meninggalkan sistem pertanian kolektif dan mengembalikan usaha tani kepada para petani. Hasilnya, kenaikan pesat dalam produktivitas, hasil produksi, dan pendapatan petani tanpa memerlukan pengeluaran besar dari Pemerintah China.

Kebijakan ekonomi yang pragmatis juga tecermin pada kebijakan ”pintu terbuka” bagi investasi asing. Meski dari tahun ke tahun sistem insentif dan peraturan mengenai investasi asing terus disempurnakan, insentif dan peraturan tentang investasi asing tetap menarik bagi investor asing. Dengan demikian, China menerima investasi asing dalam jumlah amat besar, jauh melebihi investasi asing ke negara-negara kawasan Asia-Pasifik lainnya (di luar Jepang).

Semula, Pemerintah China juga memberi prioritas pada pembangunan industri-industri manufaktur ringan dan menengah yang padat karya dan berorientasi ekspor—yang hanya memerlukan jumlah investasi kecil—tetapi dalam waktu singkat menghasilkan lonjakan jumlah produksi, seperti tekstil, garmen, alas kaki, mainan anak, dan barang elektronik konsumsi. Kenyataannya, industri ini telah mempekerjakan puluhan juta orang yang datang dari pedesaan. Namun, setelah krisis finansial global juga melanda China, puluhan juta pekerja ini kembali ke pedesaan karena pasar ekspor mereka mengalami kontraksi.

Program reformasi ekonomi China yang diluncurkan Deng Xiaoping disebut Gai Ge Kai Feng, terdiri dari dua unsur utama. Pertama, ”mengubah sistem insentif dan kepemilikan” di mana milik pribadi menjadi lebih dominan daripada milik negara.

Kedua, ”membuka pintu”, artinya liberalisasi perdagangan luar negara, investasi asing, dan domestik. Kebijakan investasi asing yang liberal dilengkapi peraturan ketat, yang mewajibkan berbagai perusahaan asing untuk mengalihkan teknologinya ke berbagai perusahaan domestik, sebagai imbalan dibukanya pasar domestik China yang besar bagi berbagai perusahaan asing.

Selain itu, Pemerintah China berhasil membangun jaringan prasarana fisik, terutama sistem transportasi yang luas dan efisien, yang implementasinya didasarkan atas pemulihan ekonomi total. Artinya, penghasilan dari pengenaan tarif yang dibayar para pengguna prasarana ini harus menutupi semua biaya yang diperlukan untuk operasi dan pemeliharaan prasarana.

Program reformasi ini juga memberi prioritas tinggi pada pertanian dan pembangunan pedesaan. Kenyataan menunjukkan hal ini belum begitu berhasil, yang juga diakui Presiden Hu Jintao. Presiden Jintao menyerukan perwujudan suatu ”masyarakat yang serasi” yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan antara daerah perkotaan dan pedesaan.

Tantangan China

Namun, selain keberhasilan ekonominya yang luar biasa, China juga menghadapi berbagai tantangan besar yang harus ditanggulangi guna menghindari pertumbuhan ekonomi yang melamban; ketimpangan pendapatan antargolongan yang amat besar; konflik yang makin tajam dengan mitra perdagangan yang pasarnya dibanjiri barang-barang China.

Untuk dalam negeri, China juga menghadapi polusi udara yang amat parah, yang mengakibatkan China kini menjadi sumber gas karbon (CO) paling besar di dunia; dan ketimpangan dalam perimbangan jender akibat kebijakan satu anak yang menyebabkan terjadi banyak aborsi bayi perempuan karena preferensi orang China untuk anak laki, serta jumlah penduduk China yang makin cepat menua yang akan memperlambat pertumbuhan ekonomi, seperti yang kini sudah dialami Jepang.

Mengubah strategi

Pada Desember 2004, pimpinan puncak China memutuskan mengubah secara fundamental strategi pertumbuhan negara ini dari pola pembangunan yang terutama digerakkan oleh investasi dan ekspor ke pola yang lebih mengandalkan pertumbuhan domestik yang lebih pesat.

Pada awal 2006 Perdana Menteri Wen Jiabao mengulangi tekad Pemerintah China untuk mendorong konsumsi domestik sebagai sumber pertumbuhan utama China.

Dalam laporan triwulan kedua 2009 tentang perkembangan ekonomi China, Bank Dunia menekankan, China perlu memberi prioritas pada perubahan dalam kebijakan struktural yang diperlukan untuk memudahkan transisi ke pola pertumbuhan yang lebih didorong pertumbuhan konsumsi domestik dan lebih berorientasi pada pola pertumbuhan yang lebih mendorong sektor jasa dan padat karya.

Implementasi kebijakan ini akan memungkinkan China untuk lebih cepat menanggulangi dampak krisis finansial global dan mencapai lagi pertumbuhan ekonomi pesat yang berkelanjutan.

Thee Kian Wie Staf Ahli Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakart

60 Tahun RRC


Kamis, 1 Oktober 2009 | 04:32 WIB

I Wibowo

Salah satu bangunan yang muncul di tengah kota Beijing dan menggegerkan masyarakat China pada tahun 1992 adalah gerai makanan cepat saji McDonald’s. Masyarakat Beijing terenyak atas datangnya makanan Amerika Serikat ini dan menyambutnya dengan penuh gairah, lebih bergairah ketimbang ketika dibuka di Shenzhen pada 1990.

Mereka bersemangat menyambut produk AS yang paling terkenal di seluruh dunia itu, tak peduli dengan harga yang mahal. Dalam waktu singkat, gerai makanan cepat saji yang menjadi ikon Amerika ini telah merebak di kota Beijing dan juga kota-kota lain di China.

Tiga puluh tahun kemudian tidak ada produk AS yang tidak ada di China. Makanan, minuman, pakaian, sepatu, tas, mainan, mobil, dan lainnya yang berasal dari AS menguasai pasar China. Tentu saja komputer asal AS yang terkenal. Segala jenis barang dan jasa yang berasal dari AS telah masuk dan diterima di China.

Gairah ini tidak hanya tampak di tingkat pemimpin, tetapi juga di kalangan intelektual dan rakyat jelata. Dan akhirnya adalah cita-cita pembangunan bangsa itu sendiri.

Apa cita-cita pembangunan China saat ini? Menandingi AS. China menjadikan AS sebagai sasaran dan tatapan matanya. Apa yang dilakukan oleh AS, China harus dapat melakukan. Apa yang dapat dicapai oleh AS, China harus dapat mencapainya.

Yang hebat di AS harus juga dapat dibuat di China, bahkan mungkin lebih hebat lagi. Kota New York harus dibangun juga di China dan terlaksana di Shanghai. AS dapat mengirim manusia ke ruang angkasa, China segera mengejarnya dan sudah berhasil mengirimkan ”taikonot” mereka keliling bumi.

Ketika Yao Ming direkrut menjadi pemain basket profesional (NBA) di AS, orang China tidak hentinya menceritakan peristiwa ini. Begitu pula kemenangan atlet-atlet China pada Olimpiade Beijing (2008) sebagai juara umum. Mereka bangga bahwa China dapat melewati AS.

Dalam perdagangan, China mampu menaklukkan AS sehingga negeri Paman Sam ini mengalami defisit besar. Koran-koran China pasti memuat berita yang memperlihatkan angka statistik dalam hal apa saja jika itu menyamai atau melebihi AS.

Awal 2009 ini, China boleh amat bangga bahwa untuk pertama kalinya posisi China diperhitungkan setara oleh AS. Adalah Robert Zoelick, Direktur Bank Dunia, yang pertama melontarkan gagasan bahwa krisis keuangan global saat ini hanya bisa diselesaikan oleh G-2.

Maksudnya adalah AS dan China. Gagasan ini menguat, lalu masuk China, dan membuat banyak intelektual China berbunga-bunga. Krisis keuangan global yang mulai pada September 2008 memang telah mengubah seluruh tata ekonomi dunia, termasuk hubungan China dan AS.

Mengejar AS

Mengapa Amerika Serikat?

Jika memerhatikan retorika akhir tahun 1950-an hingga 1960-an, tak terbayangkan bahwa China mengagumi AS. Bersama Stalin dan Khruschev, Mao mengkritik dan mengecam AS sebagai gembong kapitalis terbesar.

Namun, jika melacak hingga ke tahun 1930-an, pemimpin elite China (baik Chiang Kai-shek maupun Mao Zedong) sebenarnya menyimpan rasa kagum yang besar terhadap AS. Mao tercatat amat mengagumi presiden pertama Amerika, George Washington. Persahabatannya dengan Edgar Snow, wartawan Amerika, pernah mendorong dia untuk berpikir mengadakan kerja sama dengan AS untuk mengusir Jepang (He Di, 1994).

Paling jelas ketika Mao melancarkan Lompatan Jauh ke Depan pada 1959. Mao mengatakan mau mengejar AS dalam 15 tahun dan Inggris dalam 10 tahun. Padahal, program itu adalah program untuk menciptakan masyarakat komunis!

Alasan geopolitik mungkin berperan, tetapi alasan lain jelas bermain. Ketika Mao mau berjabat tangan dengan Nixon pada tahun 1972, proses normalisasi pun bergulir. Mao tidak menyaksikan normalisasi hubungan dengan AS, tetapi penggantinya, Deng Xiaoping, jelas mempunyai visi yang sama. Puncaknya adalah pada tahun 1979 ketika China dan AS setuju untuk membuka hubungan diplomatik.

Beberapa pekan kemudian Deng Xiaoping terbang ke AS, mengadakan tur ke beberapa kota. Selama di AS, Deng tak henti berdecak kagum atas kemajuan AS, terutama di bidang teknologi. Bersamaan dengan itu, seluruh masyarakat China dilanda ”demam Amerika”.

Dalam studinya tentang persepsi China terhadap AS pada akhir tahun 1980-an, David Shambaugh menemukan bahwa di lingkungan kader elite Partai Komunis China memang sudah ada rasa kagum yang kuat terhadap AS. Meski masih gencar menulis kritik terhadap ”imperialisme AS”, mereka tetap mengagumi AS. Imperialis namun dikagumi. Maka buku Shambaugh pun diberi judul Beautiful Imperialist.

Pada tahun 1997, persis ketika China dan AS terbekap aneka macam perselisihan, polling oleh Institut Pendapat Publik, Universitas Renmin, menemukan sikap positif masyarakat China terhadap AS. Bahkan, ditemukan bahwa masyarakat China mempunyai sikap yang lebih positif terhadap orang AS daripada terhadap orang Jepang, Jerman, dan Rusia.

Ketika pada tahun-tahun itu muncul buku-buku yang anti-Amerika sekalipun, kekaguman terhadap kemajuan AS tidaklah luntur. Hasil yang sama tampak dalam penelitian tahun 2005 oleh Global Times. Responden amat positif terhadap kemajuan ekonomi, kemajuan sains dan teknologi, serta kebudayaan Amerika. Hal ini menjadi kian menarik ketika dibaca dengan latar belakang persepsi yang negatif terhadap AS yang sedang melanda dunia saat ini (Kohut and Stokes, 2006).

Gaya gravitasi dari Amerika

Sejak kekalahan memalukan pada Perang Candu 1840, China sebagai bangsa sangat bertekad untuk belajar dari bangsa lain karena China merasa tidak mungkin memperbaiki diri dengan Konfusianisme.

Mula-mula China menoleh ke Eropa, mengirim banyak mahasiswa ke Eropa, terutama Perancis. Mereka mau menimba cita-cita Revolusi Prancis untuk dipakai mengubah keterpurukan bangsanya. Demonstrasi besar oleh mahasiswa pada 4 Mei 1919 menolak Konfusius dan Konfusianisme, serta memilih ”Mr Science and Mr Democracy” sebagai solusi masalah.

”Gerakan 4 Mei” ternyata tidak bertahan lama, digantikan dengan kekaguman akan Revolusi Bolshevik pada 1917.

Sekelompok besar orang China bertekad menanamkan Marxisme dan komunisme serta meniru Rusia (Uni Soviet). Mereka mendirikan partai politik dan sejak 1949 hingga tiga dekade ke depan menerapkan model Uni Soviet di China.

Namun, gerakan komunisme ini tidak memuaskan bangsa China. Kegagalan itu membuat China memikir ulang sikapnya terhadap AS, musuh besarnya. Mao dan kemudian Deng membuka jalan bagi perubahan ini. Ketika ”Reformasi dan Keterbukaan” diumumkan tahun 1978, China menempatkan Amerika yang kapitalis sebagai target untuk dicapai.

Selama tiga dekade kedua, AS telah menjadi sumber inspirasi, sedemikian rupa, sehingga China seolah-olah tidak dapat hidup tanpa AS. Kini China memandang AS sebagai penghela jalan sejarahnya ke masa depan. Banyak hal yang telah dicapai oleh AS ingin dikejar oleh China. Dan yang belum dicapai oleh China akan terus dikejar. Mungkin dalam hati orang China tebersit keinginan bahwa AS tidak boleh lenyap agar mereka tetap dapat mengalami gaya gravitasi yang muncul dari AS.

Hal ini tidak berarti bahwa terjadi penjiplakan mentah-mentah. China tidak akan, bahkan tidak mungkin, menjadi kembaran AS. Walaupun bermimpi untuk menjadi seperti AS, China telah berhasil melahirkan sendiri ”model China”. Mungkin lebih tepat untuk dikatakan bahwa AS telah menimbulkan gaya gravitasi yang luar biasa kuat sehingga China seakan-akan terus terarah ke sana meski tidak terperangkap di dalamnya.

Ketika mereka memperjuangkan demokrasi pada tahun 1989, para mahasiswa dan intelektual mendirikan replika Patung Liberty yang ada di New York. Perjuangan yang berubah menjadi drama berdarah ini mengungkapkan kerinduan terdalam sebagian warga China untuk meniru dan mengejar AS dalam hal mendirikan negara yang demokratis.

Mungkin hal ini hanya keinginan yang tertunda, yang akan terlaksana pada waktunya nanti. Pada ulang tahun ke-60 ini China tetap dapat memandang AS sebagai inspirator pembangunannya.

I Wibowo Pengajar pada Departemen Hubungan Internasional FISIP-UI; Ketua Centre for Chinese Studies FIB-UI