Kamis, 01 Oktober 2009

Belajar dari China


Kamis, 1 Oktober 2009 | 04:31 WIB

I Basis Susilo

Dalam Pendahuluan buku Merangkul Cina (2009), sinolog I Wibowo membandingkan China dan Indonesia.

Berangkat dari kondisi yang sama—hancur sebagai korban Perang Dunia—perjalanan waktu membedakan nasib keduanya. Tulisnya, ”Memasuki abad ke-21 China telah menjadi kekuatan besar, sementara Indonesia tetap menjadi kekuatan kecil, bahkan tidak mempunyai kekuatan.”

Pendapat tentang Indonesia tidak punya kekuatan tampaknya berlebihan. Beberapa bukti terakhir, seperti perannya di G-20, menunjukkan Indonesia sudah punya ”sesuatu” yang bisa dipelihara dan didayagunakan di kemudian hari. Namun, pendapat bahwa China lebih maju dari Indonesia memang tidak terbantahkan. Justru karena itu, kemajuan China bisa dijadikan pelajaran berharga guna memacu kemajuan Indonesia.

Banyak pelajaran bisa diambil dari kemajuan China. Tiga yang mendasar dan penting adalah soal kepercayaan diri, prioritas pendidikan, dan peta jalan ke depan.

Percaya diri

Kepercayaan diri adalah salah satu sifat yang dibangun dan dikembangkan Mao Zedong sejak awal 1930-an hingga 1970-an. Percaya diri itu dibangun sebagai jawaban atas ”penghinaan seratus tahun” (bainian guochi) sebelumnya oleh bangsa-bangsa Barat dan Jepang sejak Perang Candu 1840-1949. Begitu bernafsunya membangun kepercayaan diri, Mao memaksakan Revolusi Kebudayaan (1966-1976) yang menelan korban jutaan jiwa. Bagaimanapun, Mao menyumbangkan bangunan dasar bagi infrastruktur, industri, kesehatan, dan pendidikan yang memadai.

Karena itu, struktur bangunan dasar psikologis, ekonomis, sosial, dan politik untuk eksis dan maju, China secara alami tumbuh lebih kuat dan lebih percaya diri dibandingkan dengan, misalnya, Jepang dan Korsel yang harus menggadaikan sebagian kedaulatannya kepada AS.

Prioritas pendidikan diperhatikan dan dijalankan para pemimpin China sejak Mao. Menurut Gang Guo (2007), selama Revolusi Kebudayaan, jumlah siswa masuk sekolah dasar meningkat separuh, sekolah menengah pertama naik empat kali lipat, dan sekolah menengah meningkat 14 kali lipat.

Memang ada perdebatan terkait kualitas pendidikan. Namun, Mao memberi dasar distribusi yang lebih merata sumber daya manusia. Bila revolusi kebudayaan untuk SD-SMA, yang terkena langsung revolusi kebudayaan adalah yang lahir antara 1951 dan 1970, yang kini menjadi tulang punggung kemajuan RRC sejak 1990-an.

Deng Xiaoping pada 1978 mengatakan, ”Bila China ingin memodernisasi pertanian, industri, dan pertahanan, yang harus dimodernisasi lebih dahulu adalah sains dan teknologi serta menjadikannya kekuatan produktif.” Pada 1985, Deng menegaskan pentingnya pendidikan karakter, dan orientasi hafalan dianggap ”membunuh” karakter anak. Setelah itu, guru dan kaum profesional amat dihargai.

Presiden Jiang Zemin pada 2000 mengumpulkan semua pemimpin China untuk membahas bagaimana mengurangi beban pelajaran siswa melalui adopsi sistem pendidikan yang patut secara umur dan menyenangkan, serta pengembangan semua aspek dimensi manusia, kognitif, karakter, aestitika, dan fisik.

Pada 2005, Pusat Penelitian Modernisasi China menerbitkan peta jalan Modernisasi China untuk abad ke-21. Isinya: tahun 2025 produk domestik bruto (GDP) China menyamai Jepang. Tahun 2050 China jadi negara maju secara moderat. Tahun 2080 China menjadi negara maju, sama dengan AS. Tahun 2100 China menjadi negara paling maju di dunia, melampaui AS. Atas dasar peta jalan itu, China bergerak menuju masyarakat yang lebih baik secara bersama (xiaokang).

Indonesia

Dibandingkan dengan bangsa kita, kepercayaan diri bangsa China lebih kuat karena dasar yang dibangun Mao dan capaian-capaian kasatmata, seperti olimpiade dan kemajuan ekonominya.

Namun, pelan tetapi pasti, bangsa Indonesia sebenarnya mulai percaya diri. Keberhasilan mempraktikkan demokrasi dan kemajuan ekonomi setelah krisis akhir 1990-an mulai menjadikan kita dihargai negara-negara lain. Buktinya, dalam GDP, Indonesia berada di nomor 16 dunia dan menjadi anggota G-20 yang mulai disegani anggota lain. Momentum untuk kepercayaan diri ini perlu terus dijaga, dipelihara, dan diapresiasi.

Kendati terlambat, bangsa kita telah mengakui pentingnya pendidikan sebagai pendasar bangunan bangsa. Hal itu terbukti dengan anggaran 20 persen untuk pendidikan. Kendati implementasinya belum sempurna dan konsepnya belum kuat sehingga terkesan lebih sibuk menghabiskan anggaran, keputusan politik bangsa bahwa pendidikan harus diprioritaskan sudah berada di jalur yang benar. Dalam waktu 20 tahun ke depan, kita akan membuktikan bangsa ini akan lebih kuat bersaing di antara bangsa-bangsa lain. Konsep pembangunan pendidikan harus dibuat lebih mendasar dan terarah sehingga alokasi dana 20 persen pendidikan bisa dimanfaatkan secara efektif dan efisien.

Namun, agar kemajuan itu tercapai, diperlukan peta jalan yang lebih jelas. Dua tahun lalu, Yayasan Indonesia Forum menyampaikan Visi Indonesia 2030. Beberapa lembaga dan pusat studi tentu punya kerangka peta jalan bangsa. Yang penting, peta jalan itu diakui dan disepakati oleh lembaga berwenang sehingga mempunyai legitimasi yang kuat untuk diterapkan. Dulu MPR membuat rencana pembangunan berjangka panjang. Kini para pemimpin harus mencari cara untuk membuat dan memutuskan peta jalan yang lebih otoritatif guna memandu perjalanan pembangunan bangsa.

I Basis Susilo Dosen Hubungan Internasional dan Dekan FISIP Unair

Tidak ada komentar: