Senin, 30 Maret 2009

Beshir Hadiri Pertemuan Puncak Arab



Beshir Hadiri Pertemuan Puncak Arab

DOHA -- Presiden Sudan Omar al-Beshir mengabaikan surat perintah penangkapan internasional terhadap dirinya dengan melakukan perjalanan ke Doha, Minggu, untuk menghadiri pertemuan puncak Arab.Sekretaris Jendral PBB Ban Ki-moon, yang juga telah tiba dengan pesawat terbang di ibukota Qatar tersebut, tetap menghadiri pertemuan yang dibuka Senin itu meski Beshir juga datang, kata seorang pejabat PBB.

"Sudan adalah anggota PBB, sementara Pengadilan Kejahatan Internasional merupakan badan pengadilan independen, yang tidak bisa mencegah PBB berhubungan dengan Sudan," kata pejabat yang tidak bersedia disebutkan namanya itu kepada AFP.

Spekulasi telah berkembang di Doha bahwa Beshir mungkin tidak menghadiri pertemuan puncak itu agar tidak mempermalukan Qatar, meski negara Teluk itu tidak terikat oleh ketentuan-ketentuan Pengadilan Kejahatan Internasional (ICC) yang mendakwa presiden Sudan itu melakukan kejahatan perang.

Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Hamad bin Jassem al-Thani menegaskan lagi Sabtu bahwa Besir diterima dengan baik di Doha. Qatar, seperti juga semua negara Arab kecuali Yordania, bukan penandatangan Statuta Roma yang menetapkan pembentukan pengadilan internasional tersebut.

Presiden Suriah Bashar al-Assad menjadi kepala negara pertama dari Liga Arab dengan 22 anggota yang tiba di ibukota Qatar tersebut untuk pertemuan puncak tahunan dua hari itu.Masih belum jelas berapa banyak pemimpin Arab yang akan hadir, namun Presiden Mesir Hosni Mubarak tidak akan datang untuk mengikuti petemuan tersebut.

Doha menjadi tempat keempat yang dikungjungi Beshir di luar negeri sejak ICC mengeluarkan perintah penangkapan terhadap dirinya pada 4 Maret.Pengadilan internasional itu mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Beshir atas tuduhan melakukan kejahatan perang di Darfur dan ada spekulasi bahwa ia mungkin akan ditangkap ketika meninggalkan Sudan.

Majelis Ulama Sudan hari Minggu (22/3) mengeluarkan fatwa yang meminta Presiden Beshir yang menjadi sasaran surat perintah penangkapan internasional itu tidak menghadiri pertemuan puncak Arab di Qatar.Fatwa yang dikeluarkan majelis itu mengatakan, meski Khartoum bersikeras bahwa Beshir akan menghadiri pertemuan Doha pada 29-30 Maret, presiden Sudan itu tidak seharusnya pergi karena "musuh-musuh negara berkeliaran".

"Karena anda adalah simbol dan pengawal negara... kami merasa kondisinya tidak tepat (untuk menghadiri pertemuan puncak itu) dan tugas ini bisa dilaksanakan oleh orang-orang selain anda," kata fatwa itu.ICC tidak memiliki wewenang untuk memberlakukan surat perintah penangkapan yang mereka keluarkan, namun para tersangka bisa ditangkap di wilayah negara-negara yang menandatangani perjanjian Roma mengenai pembentukan pengadilan tersebut.

Qatar belum meratifikasi Statuta Roma namun sebagai anggota PBB, negara itu didesak agar bekerja sama dengan pengadilan internasional tersebut.Selain ada kemungkinan Beshir ditangkap di Qatar, sejumlah pejabat khawatir jet presiden Sudan itu akan disergap oleh armada udara negara lain bila berada di luar wilayah angkasa Sudan.

Ketegangan meningkat di Sudan setelah ICC pada 4 Maret mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Beshir karena kejahatan perang dan kejahatan atas kemanusiaan di Darfur, Sudan barat.Sudan bereaksi dengan mengusir 13 organisasi bantuan dengan mengatakan, mereka telah membantu pengadilan internasional di Den Haag itu, namun tuduhan tersebut dibantah oleh kelompok-kelompok bantuan itu.

Sejumlah pejabat PBB yang tidak bersedia disebutkan namanya mengatakan, pengusiran badan-badan bantuan itu akan memiliki dampak yang sangat merugikan bagi rakyat Darfur.Para ahli internasional mengatakan, pertempuran hampir enam tahun di Darfur telah menewaskan 200.000 orang dan lebih dari 2,7 juta orang terusir dari tempat tinggal mereka. Khartoum mengatakan, hanya 10.000 orang tewas.

PBB mengatakan, lebih dari 300.000 orang tewas sejak konflik meletus di wilayah Darfur, pada 2003, ketika pemberontak etnik minoritas mengangkat senjata melawan pemerintah yang didominasi orang Arab untuk menuntut pembagian lebih besar atas sumber-sumber daya dan kekuasaan.Jurubicara ICC Laurence Blairon mengatakan kepada wartawan di pengadilan yang berlokasi di Den Haag, surat perintah penangkapan terhadap Beshir itu berisikan tujuh tuduhan -- lima kejahatan atas kemanusiaan dan dua kejahatan perang. ant/afp/kpo


PM Abhisit Balik "Menyerang"


AP Photo/Apichart Weerawong
Pemrotes anti-Pemerintah Thailand dan pendukung mantan PM Thaksin Shinawatra meneriakkan slogan dalam aksi protes di luar Gedung Pemerintahan di Bangkok, Thailand, Minggu (29/3). Ribuan demonstran antipemerintah ini sudah empat hari mengepung Gedung Pemerintahan.
Senin, 30 Maret 2009 | 04:25 WIB

Bangkok, Minggu - Menghadapi protes antipemerintah yang memasuki hari keempat, Perdana Menteri Thailand Abhisit Vejjajiva akhirnya balik menyerang lawannya. Abhisit, Minggu (29/3), menuding mantan PM Thaksin Shinawatra memicu kekacauan demi keuntungan pribadi.

”Dia (Thaksin) mencoba menggerakkan orang dalam usaha meraih keuntungan diri sendiri,” kata Abhisit. Dia menambahkan, protes diperbolehkan menurut hukum, tetapi pemrotes seharusnya tidak menimbulkan kekacauan bagi rakyat Thailand yang sudah didera krisis perekonomian global.

Ribuan pendukung Thaksin telah berdemonstrasi di depan Gedung Pemerintah sejak Kamis pekan lalu. Mereka menuntut pembubaran parlemen dan penyelenggaraan pemilu dini.

Akhir pekan lalu, Thaksin berpidato di hadapan sekitar 30.000 pendukungnya melalui rekaman video dari luar negeri. Dia menyerukan agar pendukungnya di seluruh Thailand turun ke jalan melawan pemerintah.

”Saya meminta kalian untuk bangkit. Tidak perlu datang ke Bangkok, cukup protes damai di seluruh negeri untuk mengatakan bahwa kita menghargai demokrasi,” ujar Thaksin.

Thaksin juga mengkritik kebijakan Abhisit untuk menghadapi krisis perekonomian global. Abhisit membela diri dengan mengatakan pemerintahannya masih bekerja dan yakin bisa terus bekerja mengatasi krisis.

Kemarin Abhisit mengakui bahwa otoritas Thailand berupaya untuk menghalangi tampilnya Thaksin di hadapan pendukungnya. Akan tetapi, upaya itu gagal.

”Perang”

Analis mengatakan, protes oleh kubu pendukung Thaksin bukan ancaman serius bagi pemerintahan Abhisit. Namun, Thaksin telah menyuarakan ”perang” dan kekuatan dia tidak bisa diremehkan.

”Kalau dalam istilah tentara, ini seruan perang. Meskipun ada jarak, dukungan bagi Thaksin masih kuat. Kemarin malam dia membangkitkan lagi dukungan itu,” kata Thitinan Pongsudhirak, pakar politik pada Chulalongkorn University, Bangkok.

Sebelumnya, Thaksin juga menuding Dewan Penasihat Raja yang dipimpin mantan PM Prem Tinsulanonda sebagai dalang kudeta militer tahun 2006 yang menggulingkan Thaksin. Komentar tersebut mengejutkan Thailand karena Dewan Penasihat Raja dianggap sebagai kepanjangan tangan Raja Bhumibol Adulyadej.

Pemerintah Thailand tengah mendorong upaya ekstradisi Thaksin dari negara lain. (ap/afp/fro)

Malaysia


Kematian Model Mongolia Diungkit
Senin, 30 Maret 2009 | 04:26 WIB

taiping, minggu - Beberapa hari menjelang naiknya Najib Razak menjadi perdana menteri baru Malaysia, kalangan oposisi Malaysia mengungkit kembali dugaan keterlibatan calon orang nomor satu Malaysia itu dalam kasus pembunuhan model asal Mongolia.

Isu mempertanyakan karakter Najib itu menjadi ”senjata” dalam kampanye kelompok oposisi, untuk memperebutkan kursi parlemen di Negara Bagian Perak, di barat laut Malaysia. Kampanye dimulai hari Minggu (29/3).

Lebih dari sepuluh ribu pendukung oposisi berkumpul untuk mendukung calon mereka, di tengah pengawasan ketat aparat kepolisian di kota Taiping, Perak. Mereka menyanyikan lagu-lagu dalam bahasa Melayu yang liriknya mengaitkan Najib dengan pembunuhan Altantuya Shaariibu, seorang model. Beberapa orang juga membawa model menyerupai kapal selam sebagai sindiran atas dugaan ketidakberesan dalam kontrak-kontrak pertahanan yang ditandatangani Najib.

Najib yang telah resmi menggantikan Abdullah Ahmad Badawi sebagai Ketua Umum Partai Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO), Sabtu (28/3), kembali menegaskan ketidakterlibatannya dalam kasus pembunuhan model pada akhir tahun 2007.

Perilaku tak demokratis

Kalangan oposisi juga kembali mengungkit tidak diberikannya izin kepada beberapa media oposisi untuk meliput Kongres UMNO serta pelarangan terbit sementara kepada dua surat kabar oposisi.

”Apa yang kami khawatirkan adalah transisi kepemimpinan nasional ini akan diikuti dengan semakin meningkatkan perilaku yang tidak demokratis,” kata Abdul Hadi Awang, Ketua Umum Partai Islam se-Malaysia (PAS).

Meskipun pemilihan 7 April tak akan mengubah perimbangan kekuatan secara signifikan, pemungutan suara di Perak dan pemilihan di Negara Bagian Kedah dan Sarawak dipandang sebagai ”referendum” atas kepemimpinan Najib dan koalisi Barisan Nasional (BN).

”Kemenangan kuat oleh aliansi (oposisi) Pakatan Rakyat di Bukit Gantang (di Perak) akan dibaca sebagai hukuman atas pengambilalihan kekuasaan di Perak,” kata analis politik, Ong Kian Ming.

Suhu politik telah mencapai titik tertinggi di Perak. ”Saya sangat yakin akan menang,” ungkap calon oposisi Mohamad Nizar, yang digulingkan dari posisinya sebagai Menteri Besar Perak pada Januari lalu atas perintah Sultan Perak.

”Kita berjuang untuk demokrasi dan kemerdekaan sejati dan itu akan terjadi di sini, di Bukit Gantang, dan kita akan mengatakan selamat tinggal kepada ketidakadilan,” ungkap Nizar kepada para pendukungnya.

Bukit Gantang memperebutkan satu kursi parlemen nasional. Adapun Negara Bagian Kedah dan Sarawak masing-masing memperebutkan satu kursi parlemen negara bagian. Wilayah itu selama ini menjadi basis kekuatan BN.

Bukit Gantang merupakan sebuah mikrokosmos populasi Malaysia yang multi-etnik, di mana 60 persen warganya adalah Melayu, 30 persen etnik China, dan 10 persen etnik India. Hasil di tempat tersebut akan menjadi ukuran apakah BN telah meraih kembali dukungan dari masyarakat atau sebaliknya.

Wakil Ketua Umum UMNO yang baru Muhyiddin Yassin, yang memulai kampanye untuk Bukit Gantang, mengakui bahwa pemungutan suara di sana akan menjadi ujian bagi pemerintahan baru Malaysia di bawah Najib. (AFP/Reuters/OKI)

Galang Dukungan bagi Presiden Sudan


Senin, 30 Maret 2009 | 04:26 WIB

Doha, minggu - Konferensi Tingkat Tinggi Negara-negara Arab yang akan dimulai hari Senin (30/3) di Doha, Qatar, akan menjadi ajang menggalang dukungan bagi Presiden Sudan Omar Hassan al-Bashir. Bashir kini buron menyusul perintah penangkapan dari Mahkamah Kejahatan Internasional di Den Haag pada awal bulan ini.

Dukungan negara-negara Arab terhadap Bashir menjadi sikap bersama setelah ketiadaan Saddam Hussein di Irak. Langkah ini untuk menghindari preseden bagi para pemimpin yang dituduh memerintah secara opresi oleh oposisi dan kelompok-kelompok hak asasi manusia.

KTT Arab juga diharapkan bisa lebih mengurangi jurang kesenjangan di antara negara-negara Arab. KTT juga membahas bagaimana menangani menguatnya pengaruh Syiah Iran.

Pemerintahan di negara-negara Arab berjuang untuk merespons cengkeraman politik Iran yang kian kuat. Invasi AS ke Irak tahun 2003 justru mendorong kelompok Syiah mencapai kekuasaan tertinggi di Iran.

Dua kubu

Negara-negara Arab belakangan ini semakin terbelah dalam dua kubu. Kubu negara-negara Arab yang menjadi sekutu AS, yaitu Arab Saudi, Mesir, dan Yordania, sedangkan kubu lainnya adalah negara-negara Arab yang kurang bersahabat dengan AS, yaitu Iran, Suriah, dan Qatar. Kalangan ini juga didukung pandangan populis di kalangan rakyat Arab bahwa kemenangan Hezbollah dan Hamas adalah sah dan menjadi respons atas Israel.

Rencana Qatar dan Liga Arab untuk menyelenggarakan KTT Arab di Doha itu sempat terganggu oleh keputusan mendadak Presiden Mesir Hosni Mubarak yang menolak hadir.

Namun, editor surat kabar Arab Saudi al-Watan, Jamal Khashoggi, meyakini, tidak ikutnya Mubarak tidak akan memengaruhi upaya yang dipimpin bersama oleh Mesir dan Arab Saudi untuk menyatukan kembali Hamas dengan Fatah pimpinan Mahmoud Abbas.

Arab Saudi sangat ingin berbaikan kembali dengan Suriah dan Qatar. Mereka mengkhawatirkan perpecahan Arab akan membuat Iran lebih berperan sebagai pejuang rakyat Palestina.

Arab Saudi yang memandang dirinya sebagai pemimpin Islam Sunni mengkhawatirkan AS akan mencapai kesepakatan bersejarah dengan Iran. Iran juga akan diakui sebagai sebuah kekuatan regional lainnya.

Indikasi ke arah itu telah disampaikan Presiden AS Barack Obama. Hal itu akan menjadi ancaman terhadap kekuasaan keluarga Al Saud. (Reuters/OKI)

Jumat, 27 Maret 2009

Rekonsiliasi Dunia Arab dan Palestina


Jumat, 27 Maret 2009 | 02:51 WIB

Oleh HASIBULLAH SATRAWI

Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab akan dilaksanakan di Doha, Qatar, akhir bulan ini. Rekonsiliasi diperkirakan menjadi tema utama dalam pembahasan KTT Ke-21 Liga Arab ini. Rekonsiliasi dianggap penting sebagai pintu masuk untuk menyelesaikan pelbagai persoalan yang melanda kawasan ini dalam beberapa waktu terakhir.

Sebagaimana dimaklumi bersama, perpecahan di dunia Arab acap kali tak dapat disembunyikan lagi, terutama dalam menghadapi persoalan konflik Israel-Palestina. Konflik Israel-Hamas terakhir merupakan cermin yang cukup jelas dan lebar untuk melihat sejauh mana parahnya perpecahan yang melanda dunia Arab saat ini. Sebagian negara Arab mendukung apa yang dilakukan oleh Hamas, sedangkan sebagian negara Arab lain mengecam sepak terjang Hamas.

Dua kiblat kepentingan

Kiblat kepentingan adalah salah satu penyebab perpecahan dunia Arab, yaitu kiblat kepentingan yang berpusat di Iran di satu sisi dan kiblat kepentingan yang berpusat di Amerika Serikat di sisi lain.

Negara-negara Arab seperti Mesir, Arab Saudi, Jordania, dan yang sehaluan dikenal sebagai negara-negara Arab pro-AS. Negara-negara ini juga bisa dibilang cukup dekat dengan Israel sebagai efek tidak langsung dari kedekatan mereka dengan AS.

Sedangkan negara-negara Arab seperti Suriah, dan Kuwait merupakan negara-negara Arab pro-Iran. Kondisi ini juga mempunyai efek tidak langsung, yaitu kedekatan negara-negara Arab ini dengan faksi-faksi politik yang disinyalir sebagai kepanjangan tangan Iran di dunia Arab, seperti Hamas dan Hezbollah di Lebanon. Itu sebabnya negara-negara Arab pro-Iran lebih memihak dan memahami sepak terjang politik faksi-faksi tersebut.

Dalam konteks konflik Israel-Palestina, negara-negara Arab pro-AS mempunyai sikap politik yang lebih lunak ketimbang negara-negara Arab kontra-AS. Sedangkan negara-negara Arab kontra AS cenderung lebih keras dan radikal.

Perpecahan yang lebih kurang sama juga terjadi di Palestina. Faksi politik seperti Hamas sangat loyal kepada Iran. Sedangkan faksi politik seperti Fatah sebaliknya, sangat loyal kepada AS.

Rekonsiliasi menyeluruh

Di sinilah pentingnya rekonsiliasi. Setidaknya, rekonsiliasi ini harus segera terwujud pada dua level utama. Pertama, rekonsiliasi menyeluruh pada level dunia Arab. Rekonsiliasi menyeluruh ini mutlak dibutuhkan karena pelbagai persoalan yang melanda negara-negara Arab (seperti di Palestina) bertali-temali dengan persoalan yang ada di dunia Arab pada umumnya. Kelemahan pada tingkat dunia Arab secara umum berimbas langsung pada lemahnya negara-negara Arab. Begitu pula sebaliknya, kelemahan pada tingkat negara-negara Arab mencerminkan kelemahan pada tingkat dunia Arab secara umum.

Apa yang telah dilakukan oleh empat negara Arab ”garda depan” beberapa waktu lalu bisa dikatakan sebagai pencapaian maksimal dalam upaya menjembatani perpecahan yang ada. Sebagaimana dimaklumi, Mesir, Arab Saudi, Suriah, dan Kuwait tidak lama ini (Rabu, 11/3) berhasil mengadakan pertemuan ”segi empat” di Arab Saudi. Pertemuan yang dirancang untuk mewujudkan rekonsiliasi dunia Arab melalui momentum KTT itu menghasilkan beberapa kesepakatan penting, di antaranya adalah pentingnya menyatukan langkah dan menjadikan kepentingan dunia Arab sebagai tolok ukur dalam berhubungan dengan dunia luar (Al-Ahram, 12/3).

Kesepakatan di antara keempat negara Arab di atas menjadi sangat penting karena empat negara tersebut mewakili dua kubu yang berkiblat pada dua kepentingan berbeda di atas. Mesir dan Arab Saudi mewakili sekaligus menjadi komandan bagi negara- negara pro-AS, sedangkan Suriah dan Kuwait mewakili sekaligus menjadi komandan negara-negara Arab pro-Iran.

Kedua, rekonsiliasi pada level nasional Palestina. Rekonsiliasi ini mutlak dibutuhkan untuk mewujudkan negara Palestina yang merdeka dengan kedaulatan penuh. Bila tidak, Palestina akan semakin jauh terjebak ke dalam perpecahan internal yang akan semakin mengikis habis harapan bagi berdirinya negara Palestina.

Setelah mengalami kegagalan berkali-kali, kini rekonsiliasi nasional Palestina kembali diupayakan. Pertemuan di antara faksi- faksi Palestina untuk membahas rekonsiliasi ini terakhir kali berhasil dilaksanakan di Kairo beberapa waktu lalu (Selasa, 10/3). Upaya rekonsiliasi kali ini bisa dikatakan mengalami banyak kemajuan dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Hal ini terlihat jelas dari pembentukan lima komite untuk membahas dan menyepakati lima persoalan utama Palestina, seperti persoalan keamanan nasional, PLO dan pemerintahan Palestina bersatu.

Kepemimpinan yang kuat

Dalam hemat saya, rekonsiliasi menyeluruh hanya bisa berdiri tegak di atas kepemimpinan yang kuat, yaitu kepemimpinan yang dibentuk dan berjuang atas dasar kehendak rakyat. Kepemimpinan yang kuat adalah kunci utama untuk menyatukan kembali dunia Arab pada umumnya dan nasional Palestina pada khususnya. Dengan kata lain, kepemimpinan yang lemah selama ini telah membuat dunia Arab dan Palestina rapuh sedemikian rupa hingga diacak-acak oleh dua kepentingan di atas.

Dalam konteks dunia Arab, contohnya, saat ini tidak ada pemimpin karismatik seperti Jamal Abdul Nasir yang disegani dan dipatuhi oleh dunia Arab. Sepak terjang dan perjuangan Jamal Abdul Nasir dianggap mewakili aspirasi dunia Arab. Tak hanya oleh rakyat jelata, melainkan juga oleh pemimpin-pemimpin dunia Arab lain.

Begitu juga dalam konteks nasional Palestina. Kepemimpinan yang kuat dan penuh karisma seakan telah ”berpulang ke rahmatullah” bersamaan dengan jasad mendiang Yassir Arafat. Kini yang tersisa hanyalah pemimpin dalam arti yang sangat terbatas, yakni sebatas kelompoknya sendiri.

Lemahnya kepemimpinan telah membuat bangsa Arab dan rakyat Palestina mengalami kekalahan telak. Mereka kalah bukan hanya karena sering kali menjadi korban konflik. Lebih daripada itu, mereka kalah karena telah dikuasai oleh pihak luar yang kemudian membuat mereka terpecah belah.

Kekalahan ini tidak hanya membuat negara-negara Arab lemah di mata rakyatnya sendiri, melainkan juga lemah dalam pandangan masyarakat global. Mereka tidak mampu membulatkan sikap politik untuk kepentingan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka lebih menjadi ”kaki tangan” bagi kepentingan pihak lain, baik itu AS maupun Iran.

Hasibullah Satrawi Pengamat Politik Timur Tengah pada Moderate Muslim Society Jakarta

Abhisit Didemo Lagi

Pemerintah Bagi-bagi Dana Tunai kepada Kaum Papa


AP PHOTO/SAKCHAI LALIT
Pemrotes yang juga pendukung mantan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra memadati kantor Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva di Bangkok, Kamis (26/3). Mereka menuntut Vejjajiva mundur karena dianggap sebagai PM yang naik jabatan secara ilegal.
Jumat, 27 Maret 2009 | 03:55 WIB

Bangkok, Kamis - Lebih dari 20.000 pemrotes yang mengenakan kaus merah mengepung kantor Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva. Mereka menuntut pemerintah mundur dan menuduh pemberian dana tunai kepada rakyat sebagai upaya penyogokan.

Para demonstran mulai beraksi tidak lama setelah pemerintahan Perdana Menteri Abhisit Vejjajiva mulai mengeluarkan dana sebesar 2.000 baht atau Rp 660.000 untuk jutaan rakyat Thailand dalam upaya mengatasi krisis ekonomi global.

Demonstran yang merupakan pengikut mantan PM Thaksin Shinawatra mengatakan pemerintahan Abhisit menduduki kekuasaan melalui cara ilegal dan menyerukan pengunduran dirinya dan pelaksanaan pemilihan umum baru.

”Apakah Abhisit berusaha membeli kita?” teriak salah seorang pemimpin kelompok pemrotes itu, Nattawut Sai-kua. ”Hal itu tidak akan terjadi, kami akan terus memprotes hingga pemerintahan yang tidak sah ini berakhir,” ujarnya lagi dengan berapi-api.

Mereka lebih dikenal dengan nama kelompok Kaus Merah karena merah merupakan warna favorit kelompok ini. Mereka merencanakan berdemonstrasi di Gedung Pemerintah setidaknya selama tiga hari, tetapi berjanji tidak akan memasuki kompleks perkantoran pemerintahan tersebut.

Aksi demonstrasi mereka secara umum berlangsung damai. Sekitar 10.000 polisi dan tentara dikerahkan ke lokasi protes.

Komandan Kepolisian Metropolitan Letnan Gen Worapong Chiwpreecha memperkirakan jumlah pemrotes lebih dari 20.000 orang.

Membantu bangsa

Skema pendanaan yang disebut ”membantu bangsa” menargetkan pembagian dana tunai kepada 9 juta orang yang berpenghasilan di bawah Rp 5.100.000 per bulan berupa cek.

”Hal yang sedang kita lakukan adalah mengatasi kesulitan ekonomi. Kami perlu menyalurkan dana itu secepatnya ke dalam sistem dan inilah cara tercepat,” ujar Abhisit setelah menyerahkan bantuan tunai sejumlah 18 miliar baht atau Rp 5,9 triliun yang merupakan bagian pertama dari dana bantuan tersebut.

Thailand pernah didera krisis ekonomi parah pada tahun 1997 ketika terjadi krisis finansial Asia. Negara perekonomian terbesar kedua di Asia Tenggara ini tumbuh 2,8 persen tahun 2008. Namun, karena krisis global, diperkirakan tahun ini ekonomi Thailand terkontraksi sebesar 2,5 persen. Ekspor negara ini sudah menurun selama empat bulan berturut-turut.

Toko-toko dan pusat perbelanjaan langsung menawarkan potongan harga, berharap agar para penerima bantuan tunai segera berbelanja. ”Cek Anda berharga 20 persen lebih tinggi jika dicairkan di toko kami. Kami berharap masyarakat segera membelanjakan dana tersebut karena terlalu sedikit untuk ditabung,” ujar Chamnan Metapreechakul, Direktur Marketing Senior pada Mall Group, salah satu operator mal terbesar di Thailand.

Chamnan mengatakan, banyak toko yang menawarkan satu paket barang bernilai 2.200 baht atau Rp 732.000 bagi orang yang tidak mau pusing membelanjakan dana tersebut.

Di toko makanan cepat saji Kentucky Fried Chicken, cek dapat ditukarkan dengan berbagai kupon makanan dengan gratis 20 potong ayam.

”Senang rasanya saya bisa belanja untuk menyelamatkan negara ini. Itu adalah konsep yang lucu," ujar Narisara Songsawang, seorang sekretaris berusia 36 tahun. Program bantuan tunai ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,2 persen. (AP/AFP/joe)

Pengembangan Militer China Ubah Perimbangan


Jumat, 27 Maret 2009 | 04:15 WIB

Washington, Rabu - Upaya China mengembangkan senjata canggih berpotensi mengubah perimbangan kekuatan militer di Asia. Pengembangan militer itu juga bisa digunakan untuk memperkuat klaim China atas sejumlah wilayah sengketa di kawasan.

Demikian antara lain isi laporan militer tahunan yang dirilis oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat atau Pentagon, Rabu (25/3). ”Angkatan Bersenjata China yang terus berkembang dan teknologi militer yang mengacaukan, seperti antiakses, nuklir, ruang angkasa, dan perang siber, mengubah keseimbangan militer kawasan dan berimplikasi di luar kawasan Asia Pasifik,” sebut laporan itu.

Pentagon terus mengkritik China yang tidak transparan soal anggaran militer sehingga berisiko menciptakan ketidakpastian dan salah perhitungan. Diperkirakan anggaran militer China tahun 2008 dua kali lipat dari anggaran satu dekade lalu.

China terus memodernisasi persenjataan nuklir dan mengembangkan armada kapal selam yang dilengkapi rudal balistik agar memiliki kemampuan serangan strategis lebih besar. Salah satunya, seperti dikonfirmasi laporan Pentagon, China telah membangun pangkalan baru Angkatan Laut di Pulau Hainan di Laut China Selatan yang mewadahi armada kapal selam.

Menurut Pentagon, China mengembangkan persenjataan yang bisa membuat negara itu melakukan operasi udara hingga ke Laut China Selatan. Kapal selam China juga bisa mendapat akses langsung ke jalur laut internasional vital.

Belum lama ini China mengklaim kedaulatan atas gugus Kepulauan Spratly dan Paracel. Kepulauan itu menjadi sengketa antara Brunei, Malaysia, Filipina, Indonesia, Vietnam, dan Taiwan.

Pengacauan

Di Beijing, Pemerintah China mengkritik laporan militer tahunan Pentagon itu dan menyebutnya sebagai ”pengacauan kebenaran dan intervensi urusan domestik”.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Qin Gang, mendesak AS menghentikan laporan militer semacam itu jika tidak ingin merusak hubungan baik kedua negara. ”Ini adalah pengacauan fakta besar-besaran. China benar-benar menentangnya,” kata Qin.

Dia menekankan bahwa China mengembangkan militer untuk tujuan damai. Pengembangan itu dimaksudkan untuk mempertahankan wilayah China.

”Kami mendesak AS untuk menghormati fakta fundamental ini, meninggalkan mental dan bias Perang Dingin, dan berhenti membuat tuduhan tidak berdasar terhadap China sehingga tidak merusak lebih jauh hubungan militer kedua negara,” ujar Qin.

Baru-baru ini Washington menyatakan kapal AS, USNS Impeccable, yang didesain untuk melacak kapal selam, diganggu kapal China di perairan internasional. Kapal China itu membelok tajam sangat dekat dengan USNS Impeccable. China menuding AS memata-matai Pulau Hainan. (ap/afp/reuters/fro)

Badawi Kritik UMNO


Ketamakan dan Rasa Puas Diri Menggerogoti Legitimasi

EPA/AHMAD YUSNI
Para anggota delegasi mendengarkan pidato Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi (terlihat di layar), Kamis (26/3) di Kuala Lumpur, dalam rangka pertemuan tahunan Organisasi Nasional Melayu Bersatu.
Jumat, 27 Maret 2009 | 03:44 WIB

Kuala Lumpur, Kamis - Perdana Menteri Malaysia yang segera lengser, Abdullah Ahmad Badawi, Kamis (26/3), memperingatkan Organisasi Nasional Melayu Bersatu yang semakin terkontaminasi ketamakan, rasa puas diri, dan persaingan internal.

Hal itu disampaikan Abdullah Badawi dalam pidato terakhirnya pada Kongres Organisasi Nasional Melayu Bersatu (UMNO) di Kuala Lumpur. Pada kongres itu, Abdullah menyerahkan kekuasaannya sebagai Ketua Umum UMNO kepada wakilnya, Najib Razak. Secara otomatis pula, hal itu bermakna penyerahan jabatan perdana menteri kepada Najib.

”Kita telah teracuni oleh pencapaian-pencapaian kita dan kita menjadi puas diri. Kita terlalu yakin telah menjadi sangat berkuasa. Materialisme telah merasuk ke dalam partai, membuat sejumlah anggota partai serakah dan kikir,” ungkap Abdullah.

Dia menambahkan, pemilu tahun lalu, yang memberikan sepertiga kontrol kekuasaan di parlemen kepada oposisi, merupakan petunjuk bahwa ”Kegemilangan UMNO telah memudar. UMNO menghadapi situasi antara hidup dan mati, satu hal yang mengkhawatirkan masa depan dan keberlangsungan kita,” papar PM Malaysia itu.

Pada kongres UMNO itu, menantu Abdullah, Khairy Jamaluddin, berhasil memenangi posisi sebagai Ketua Pemuda UMNO, yang merupakan ”kawah candradimuka” untuk pemimpin Malaysia mendatang.

”Kemenangan Khairy merupakan sebuah pukulan. Hal itu mengganggu perimbangan kekuatan di antara tim Najib. Dia (Najib) tentu saja menginginkan orang dari faksinya sendiri,” kata analis politik, Khoo Kay Peng.

Kursi sayap perempuan UMNO dimenangi Shahrizat Jalil, yang juga merupakan sekutu Abdullah.

Cara lama

Abdullah naik ke kekuasaan tertinggi Malaysia pada 2003, menggantikan Mahathir Mohamad yang memimpin Malaysia lebih dari 20 tahun. Semula Abdullah memang diharapkan membawa angin perubahan politik, birokrasi, dan keadilan di Malaysia, yang selama beberapa dekade dikendalikan dengan tangan besi. Abdullah tidak berhasil memenuhi banyak harapan.

Abdullah mengindikasikan dalam pidatonya bahwa tak terpenuhinya harapan itu antara lain karena ada hambatan dari kelompok-kelompok konservatif di UMNO.

Abdullah menegaskan, UMNO jangan kembali ke cara-cara lama karena hal itu bisa mempercepat kemunduran partai. Abdullah mengaku sedih karena masih banyak tokoh di UMNO yang meyakini perubahan tidak perlu dilakukan. Tokoh lama UMNO yakin kekuasaan bisa dicapai dengan cara lama, termasuk membatasi kebebasan dan membungkam kritik. (AP/AFP/Reuters/OKI)

Minggu, 15 Maret 2009

reformasi


Sistem di Palestina Tak Sesuai Zaman


EPA/MOHAMMED SABER
Para perempuan Palestina berkumpul di Gaza City, Jalur Gaza, Minggu (8/3), dalam rangka hari perempuan sedunia. Para perempuan di Lebanon juga melakukan aksi yang sama di Beirut dengan seruan agar Palestina melakukan rekonsiliasi politik demi persatuan bangsa.
Minggu, 15 Maret 2009 | 03:16 WIB

Oleh MUSTAFA ABD RAHMAN

Di Kairo, ibu kota Mesir, sejak Selasa (10/3) digelar hajatan bernama "Dialog Nasional". Hajatan tidak hanya bertujuan mencapai rekonsiliasi Palestina, khususnya antara Hamas dan Fatah, tetapi lebih jauh adalah melakukan reformasi politik Palestina.

Dialog itu bertujuan membentuk aparat keamanan Palestina yang profesional dan non-partisan serta loyal pada kepentingan nasional Palestina. Selain itu, juga dibahas soal perlunya reformasi mendasar terhadap semua institusi di bawah PLO dan pembentukan pemerintah konsensus nasional.

Direktur Kajian Politik dan Strategi Al Ahram Dr Abdel Munim Said dalam artikelnya di harian Asharq Al Awsat edisi Rabu, 18 Februari 2009, mengatakan, ”Dunia Arab (termasuk Palestina) harus melakukan reformasi dan kembali membangun negara modern karena sistem negara di dunia Arab saat ini sudah tidak sesuai zaman.” Menurut Said, negara-negara Arab telah gagal mengelola konflik baik internal, regional, maupun internasional.

Said mengutip hasil penelitian bersama Departemen Luar Negeri Turki, Norwegia, dan lembaga-lembaga non-Pemerintah Qatar. Disebutkan, biaya konflik di Timur Tengah selama 20 tahun terakhir ini mencapai 12 triliun dollar AS, belanja senjata mencapai 1,5 triliun dollar AS, jumlah korban tewas mencapai 3 juta jiwa, dan jumlah pengungsi mencapai 14 juta jiwa.

Almarhum mantan Menteri Dalam Negeri Palestina dari Pemerintah Hamas (tewas akibat agresi Israel ke Jalur Gaza Januari lalu) Said Siyam juga pernah berujar soal demokrasi di Palestina.

”Palestina menerapkan demokrasi dengan menggelar pemilu yang demokratis, tetapi infrastruktur politiknya tidak siap menerima sistem demokrasi. Salah satu contoh nyata adalah saya ditunjuk sebagai menteri dalam negeri, tetapi aparat keamanan di bawah komando saya tidak mau menjalankan perintah saya,” kata Said Siyam saat itu.

Siyam mengakui, Pemerintah Palestina lumpuh. Setelah itu yang terjadi adalah bencana politik di Palestina, seperti lumpuhnya pemerintahan yang didominasi Hamas, blokade internasional atas Jalur Gaza, aksi Hamas mengambil alih kekuasaan secara penuh di Jalur Gaza pada 14 Juni 2007, dan klimaksnya agresi Israel ke Jalur Gaza selama 22 hari dari 27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009.

Kesepakatan Oslo

Apa yang salah pada sistem politik Palestina? Perkembangan politik internal Palestina yang karut-marut beberapa tahun terakhir ini tentu tidak lepas dari Kesepakatan Oslo pada 13 September 1993 antara Israel dan PLO. Kesepakatan Oslo itu kemudian diikuti dengan dibentuknya pemerintah otonomi Palestina (PA) di Jalur Gaza dan Tepi Barat pada tahun 1994.

PA mengambil alih peran PLO yang sejak tahun 1974 menjadi payung resmi semua faksi Palestina. Yasser Arafat dan para pendukungnya yang menggalang Kesepakatan Oslo mereduksi dengan segala rupa peran PLO lantaran sebagian besar faksi yang tergabung dalam PLO itu menolak Kesepakatan Oslo. Faksi-faksi utama Palestina yang menolak Kesepakatan Oslo itu di antaranya adalah Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP), Front Demokrasi untuk Pembebasan Palestina (DFLP), dan Front Pembebasan Palestina. Adapun badan yang ada di luar tubuh PLO dan menolak Kesepakatan Oslo adalah Hamas dan Jihad Islami.

Era PLO pun, yang berjaya terutama pasca-tahun 1974, berakhir. Seperti dimaklumi, Konferensi Tingkat Tinggi Arab di Rabat-Maroko tahun 1974 mengakui PLO sebagai wadah semua faksi Palestina dan satu- satunya wakil rakyat Palestina.

Fatah yang menjadi mesin politik PA menjelma sebagai faksi berkuasa. Karena itu, mesin birokrasi dan lembaga keamanan PA digerakkan oleh Fatah dan diisi para pengikut Fatah. Dominasi Fatah itu tidak menghadapi persoalan sejak tahun 1994 hingga pemilu legislatif tahun 2006.

Pascapemilu, yang dimenangi Hamas, tercipta prahara baru politik Palestina. Dominasi Fatah berakhir berganti era Hamas. Akan tetapi, faksi Fatah yang menguasai instrumen kekuasaan dan ekonomi sejak tahun 1994 melakukan manuver untuk meredam kekuasaan Hamas.

Birokrasi dan aparat keamanan yang notabene berasal dari Fatah berjalan setengah hati di bawah bos-bos dari Hamas yang menduduki semua jabatan menteri. Bahkan, tidak jarang para birokrat dan perwira keamanan loyalis Fatah membangkang terhadap instruksi menteri yang berasal dari Hamas.

Israel dan AS menjatuhkan blokade atas Pemerintah Hamas. Maka, Pemerintah Hamas pun akhirnya kelimpungan akibat tekanan dari dalam (Fatah) dan dari luar (Israel dan AS).

Situasi runyam di Palestina dibiarkan tanpa penyelesaian mendasar. Baku tembak pun sering terjadi antara aktivis Hamas dan aparat keamanan loyalis Fatah, khususnya di Jalur Gaza.

Arab Saudi mencoba meredakan hubungan tegang Hamas- Fatah dengan menggelar dialog di Mekkah pada Februari 2007. Dialog tersebut menghasilkan pembentukan pemerintah persatuan nasional. Namun, Kesepakatan Mekkah terlalu fokus pada solusi politik, yakni pembentukan pemerintah persatuan nasional dan mengabaikan isu lembaga keamanan.

Karena itu, pasca-Kesepakatan Mekkah, baku tembak antara aktivis Hamas dan Fatah terus terjadi di Jalur Gaza. Akhirnya situasi di Jalur Gaza semakin tidak terkendali dan klimaksnya Hamas mengambil alih kekuasaan secara penuh di Jalur Gaza pada 14 Juni 2007.

Palestina terjerembab ke situasi yang lebih buruk lagi. Jalur Gaza dan Tepi Barat tidak hanya terpisah secara geografis, tetapi juga terpecah secara politik.

Yaman pernah mencoba menyelamatkan dengan membujuk Hamas dan Fatah melakukan rekonsiliasi pada Februari 2008, tetapi gagal. Harga yang dibayar Palestina sangat mahal. Blokade pada Jalur Gaza makin intensif.

Komunikasi politik antara Pemerintah Israel dan Otoritas Palestina pimpinan Presiden Mahmoud Abbas selama ini hanya sekadar untuk konsumsi publik, tidak pernah menyentuh isu-isu dasar, seperti status kota Jerusalem dan hak kembali pengungsi Palestina.

Tidak ada pilihan lain bagi para pemimpin Palestina kecuali melakukan reformasi politik agar lahir tatanan politik modern. Tanpa ada reformasi politik, rakyat Palestina akan semakin menderita, bukan karena dijajah Israel, tetapi menjadi korban sistem politik yang ada.

Tugas besar yang kini sudah menunggu di depan para pemimpin Palestina itu adalah menyukseskan proyek pembangunan kembali Jalur Gaza seperti yang diamanatkan dalam konferensi internasional tentang rekonstruksi Jalur Gaza pada 2 Maret lalu di Sharm El Sheikh.

Masyarakat internasional telah berjanji akan mengucurkan dana 4,481 miliar dollar AS untuk rekonstruksi Jalur Gaza selama dua tahun mendatang. Namun, para donatur memberi syarat, yakni gencatan senjata dan rekonsiliasi adalah pintu menuju suksesnya pembangunan kembali Jalur Gaza.

Jumat, 13 Maret 2009

Dari Doktrin Bush ke Doktrin Obama


Ada perubahan mendasar dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang akan mewarnai masa pemerintahan Presiden Barack Obama.

Dalam pidatonya awal bulan ini, Presiden Obama membeberkan apa yang disebut dengan ”Doktrin Obama”. Doktrin ini menjelaskan penggunaan kekuatan militer di luar negeri.

Penggunaan kekuatan militer di luar negeri hanya akan dilakukan apabila sasaran sudah benar-benar jelas, tidak hanya berdasarkan dugaan-dugaan dan laporan intelijen yang tidak tepat. Obama mengatakan, biaya pengerahan kekuatan militer ke luar negeri harus dipertimbangkan dan harus dikomunikasikan kepada rakyat.

Dengan kata lain, penggunaan kekuatan militer merupakan pilihan terakhir setelah upaya-upaya diplomatik dilakukan. Penggunaan kekuatan militer itu pun akan dilakukan setelah mendapatkan dukungan serta bekerja sama dengan ”teman-teman dan sekutu”; bukannya secara unilateral, tetapi multilateral.

Menurut hemat kita, kalau Doktrin Obama itu benar-benar dilakukan, tentu akan mengubah citra AS yang dicap sebagai suka ”main hakim sendiri” dan merasa paling benar. Sikap semacam itu ditunjukkan AS dengan menyerang Afganistan dan Irak, yang hanya membuat dunia semakin tidak aman.

Padahal, sudah sepantasnya kalau AS sebagai satu-satunya negara adidaya—terutama dalam kekuatan militer—memberikan sumbangan yang besar bagi terciptanya perdamaian dunia.

Darfur, Sudan, akan menjadi ujian pertama Doktrin Obama itu. Apakah Obama akan mengulangi kegagalan Clinton yang mengirim tentara AS ke Rwanda pada tahun 1990-an, atau bertindak lebih bijaksana, yakni berkonsultasi dengan negara-negara sahabat dan sekutu dan kemudian bersama-sama mengirim pasukan setelah upaya damai gagal?

Perang saudara di Darfur sudah menewaskan puluhan ribu orang. Kekurangan makan juga menjadi persoalan besar di Darfur. Setidaknya 2,7 juta jiwa terpaksa menjadi pengungsi. Situasi diperkirakan bertambah buruk setelah organisasi-organisasi kemanusiaan diusir dari negeri itu menyusul keputusan Pengadilan Kriminal Internasional menetapkan Presiden Sudan Omar al-Bashir sebagai penjahat perang.

Kita akan melihat bagaimana Doktrin Obama dipraktikkan. Kita semua berharap situasi di Darfur segera dapat diatasi. Pada saat yang bersamaan kita juga berharap AS memilih cara-cara yang lebih bisa diterima masyarakat dunia dalam menyelesaikan persoalan dunia, bukan hanya mengedepankan kekuatan militer dan kemauan sendiri seperti masa lalu.

Selasa, 10 Maret 2009

China Tolak Demokrasi ala Barat

Selasa, 10 Maret 2009 | 07:56 WIB

BEIJING,SELASA — China tidak akan pernah menerapkan demokrasi multipartai ala Barat. Demikian ditegaskan Ketua Parlemen China Wu Bangguo, Senin (9/3).

Dalam pidatonya di depan Kongres Rakyat Nasional, Wu Bangguo mengatakan, China tidak akan begitu saja meniru sistem politik di negara-negara Barat atau sistem di mana berbagai partai berkuasa secara silih berganti.

"Kita harus mengambil pencapaian dari budaya kita," kata Wu di depan para anggota kongres. "Kita tidak akan pernah meniru sistem di negara-negara Barat atau memberlakukan sistem di mana partai-partai berkuasa secara bergantian," tambahnya.

Para wartawan mengatakan, pernyataan ini sengaja dikemukakan untuk menolak berbagai seruan agar China memberikan kebebasan yang lebih besar kepada rakyat. Wartawan BBC di Beijing mengatakan, dengan demikian China tidak akan memberlakukan demokrasi dalam beberapa tahun ke depan. Sebelumnya, pemimpin-pemimpin China sepertinya membuka peluang.

Dalam wawancara televisi beberapa bulan lalu, Perdana Menteri Wen Jiabao ditanya apakah dia melihat peluang pemilihan umum yang kompetitif di China dalam 25 tahun ke depan? Jawabannya waktu itu adalah, "Sulit bagi saya untuk meramal."

Tetapi sekarang, pejabat yang lebih tinggi kedudukannya di jajaran Partai Komunis sudah memberi jawaban tegas. Tidak akan ada pemilihan umum kompetitif di China untuk selamanya. Paling tidak selama Partai Komunis berkuasa.

Senin, 09 Maret 2009


Bashir, Presiden Pertama Jadi Tersangka ICC
Minggu, 8 Maret 2009 | 08:10 WIB

Oleh Musthafa Abdul Rahman

Ketika Omar Hassan Al Bashir (65) dengan seragam militer tampil di televisi pada pagi 30 Juni 1989, mengumumkan pengambilalihan kekuasaan di Sudan, publik negara itu belum mengenalnya. Maklum, Bashir saat itu hanya seorang perwira profesional yang bergelut di kancah peperangan.

Namun, Bashir akhirnya tercatat sebagai presiden terlama yang menjabat dalam sejarah modern Sudan. Dalam waktu yang sama pula, ia juga tercatat sejarah sebagai presiden pertama yang mendapat vonis hukuman Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda, menyangkut kejahatan perang di Darfur.

Perang mewarnai perjalanan hidup Presiden Bashir. Dia naik ke tampuk kekuasaan lewat kudeta tahun 1989, menggulingkan pemerintah demokratis pimpinan PM Sadiq Al Mahdi. Sejak itu, ia memerintah negara terbesar secara geografis di Benua Afrika itu dengan tangan besi.

Bashir saat kudeta mendapat dukungan penuh Pemimpin Islam Sudan, Hassan Turabi. Bashir dan Turabi membentuk Dewan Pimpinan Revolusi dan pemerintah nasional yang beranggotakan para perwira muda.

Tahun 1993, Bashir membubarkan Dewan Pimpinan Revolusi dan menobatkan dirinya sebagai presiden.

Era tahun 1990-an, Sudan menjadi basis Islam dan pernah menampung Pemimpin Tanzim Al Qaeda Osama bin Laden. Bashir lantas meminta Osama bin Laden pergi dari Sudan setelah mendapat tekanan AS.

Hubungan Bashir dan Turabi dalam kekuasaan pun pecah tahun 1999. Turabi bahkan dijebloskan ke penjara (tahun 2001-2003) dengan tuduhan membuat konspirasi baru untuk menggulingkan Bashir.

Tahun 2005, Bashir mengejutkan semua pihak dengan menandatangani kesepakatan damai di Sudan selatan yang mengakhiri perang di wilayah itu sejak tahun 1983. Namun, Bashir dalam waktu yang sama terlibat perang baru di Darfur.

Selama era pemerintahan Bashir, Sudan punya hubungan kurang harmonis dengan Barat, terutama setelah meletus krisis Darfur tahun 2003. Bashir hingga saat ini menolak menyerahkan sejumlah pejabat Sudan yang terlibat kejahatan perang di Darfur kepada ICC.

Ia bersumpah di depan pimpinan Partai Kongres Nasional yang berkuasa di Sudan, tidak akan mengizinkan sama sekali warga Sudan diadili di ICC.

Bashir juga selalu membantah mendukung milisi Janjaweed dari etnis Arab dalam perang melawan kelompok-kelompok dari etnis Afrika di Darfur. Bashir pun selalu menolak penyebaran pasukan perdamaian PBB di Darfur dan mengabaikan kritik dunia Barat terhadap apa yang terjadi di Darfur.

Bashir menolak pula tuduhan jaksa ICC, Luis Moreno Ocampo, tentang keterlibatannya dalam kejahatan perang di Darfur.

Meski demikian, dalam masa pemerintahan Bashir, Sudan mengalami kemajuan, seperti perdamaian di Sudan selatan, penemuan sumber minyak baru, perbaikan ekonomi yang menurut laporan Dana Moneter Internasional (IMF) mencapai pertumbuhan 11 persen, dan perkembangan demokrasi yang lebih positif dengan disahkannya undang-undang pemilu.

Bashir dikenal sangat menjunjung citra dan kehormatan. Ia cepat marah dan mengeluarkan kata-kata yang meledak-ledak ketika merasa kehormatannya terinjak-injak.

Sebelum mengambil alih kekuasaan, Bashir menjabat panglima angkatan bersenjata dan memimpin sendiri operasi militer di Sudan selatan melawan pemberontak pimpinan mendiang John Garang.

Obsesi Bashir adalah menjaga persatuan wilayah Sudan. Ia sangat mencemaskan saat penduduk Sudan selatan memilih memisahkan diri melalui referendum tahun 2011, sesuai dengan kesepakatan tahun 2005.

Keluarga petani

Bashir lahir 1 Januari 1944 di Hush Batqa, 150 km arah utara kota Khartoum. Ia berasal dari keluarga petani yang sederhana. Ia dan keluarganya lalu pindah ke Khartoum dan tinggal di Distrik Kubar awal tahun 1950-an. Bashir menjalani pendidikan menengahnya di Khartoum.

Seusai tamat pendidikan menengahnya, Bashir semula ingin masuk akademi angkatan udara, namun mengurungkan niatnya dan masuk akademi angkatan darat. Dia akhirnya menjadi anggota pasukan khusus Sudan.

Ia secara cepat mengarungi semua jenjang karier militer hingga meraih pangkat jenderal. Bashir bahkan ikut serta bersama militer Mesir dalam perang tahun 1973 melawan Israel.

Mantan Menteri Pertahanan Sudan Barmah Nasser menyebut Bashir seorang perwira profesional dan disiplin. Dia layak menjadi komandan semua divisi di tubuh angkatan bersenjata.

Bashir dikenal berhasil menjalin hubungan kuat dengan semua jajaran perwira yang membuat pemerintahan Bashir didukung kuat oleh militer.

Bashir di tengah keluarganya bertindak sebagai bapak dan pengayom atas para saudaranya. Bashir membiayai sekolah saudara-saudaranya hingga selesai dan bekerja. Dia anak kedua dari 11 anak pasangan Hassan Ahmad Bashir dan Hidayat Muhammad Al Zain.

Bashir menikah dengan saudara sepupunya, Fatimah Khaled, pada awal tahun 1970-an, namun belum dikaruniai anak. Meskipun tanpa anak, keluarga Bashir dikenal keluarga bahagia.

Tahun 2005, Bashir menikah lagi dengan Wadad Babkar, janda Menteri Pertahanan Brigjen Ibrahim Syamsudin yang tewas dalam kecelakaan helikopter saat bertugas di Sudan selatan.

Ibrahim Syamsudin merupakan salah seorang yang sangat dekat dengan Bashir. Keputusan Bashir menikahi janda Syamsudin sebagai penghormatan terhadap Syamsudin.

Bashir dikenal cerdik dan cerdas. Ia juga sangat teliti dalam membaca laporan dari para pembantunya maupun di media massa. Bashir juga egaliter dan tidak membedakan antara menteri dan penjaga pintu dalam perlakuan sehari-hari.

Bashir dikenal sangat disiplin dalam waktu. Ia secara rutin berolahraga, minimal tiga kali dalam seminggu. Ia pendukung klub sepak bola Al Hilal di Sudan. Ia tidak suka minum teh dan kopi. Ia sangat menyenangi makanan khas Sudan dan mendengar lagu-lagu Sudan klasik.

Kini tantangan baru berada di depan Bashir, yakni nasib dirinya dan pemerintahannya menyusul ICC mengeluarkan perintah menangkap Bashir dengan tuduhan terlibat kejahatan perang di Darfur.

Sudan


Bashir, Presiden Pertama Jadi Tersangka ICC
Minggu, 8 Maret 2009 | 08:10 WIB

Oleh Musthafa Abdul Rahman

Ketika Omar Hassan Al Bashir (65) dengan seragam militer tampil di televisi pada pagi 30 Juni 1989, mengumumkan pengambilalihan kekuasaan di Sudan, publik negara itu belum mengenalnya. Maklum, Bashir saat itu hanya seorang perwira profesional yang bergelut di kancah peperangan.

Namun, Bashir akhirnya tercatat sebagai presiden terlama yang menjabat dalam sejarah modern Sudan. Dalam waktu yang sama pula, ia juga tercatat sejarah sebagai presiden pertama yang mendapat vonis hukuman Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di Den Haag, Belanda, menyangkut kejahatan perang di Darfur.

Perang mewarnai perjalanan hidup Presiden Bashir. Dia naik ke tampuk kekuasaan lewat kudeta tahun 1989, menggulingkan pemerintah demokratis pimpinan PM Sadiq Al Mahdi. Sejak itu, ia memerintah negara terbesar secara geografis di Benua Afrika itu dengan tangan besi.

Bashir saat kudeta mendapat dukungan penuh Pemimpin Islam Sudan, Hassan Turabi. Bashir dan Turabi membentuk Dewan Pimpinan Revolusi dan pemerintah nasional yang beranggotakan para perwira muda.

Tahun 1993, Bashir membubarkan Dewan Pimpinan Revolusi dan menobatkan dirinya sebagai presiden.

Era tahun 1990-an, Sudan menjadi basis Islam dan pernah menampung Pemimpin Tanzim Al Qaeda Osama bin Laden. Bashir lantas meminta Osama bin Laden pergi dari Sudan setelah mendapat tekanan AS.

Hubungan Bashir dan Turabi dalam kekuasaan pun pecah tahun 1999. Turabi bahkan dijebloskan ke penjara (tahun 2001-2003) dengan tuduhan membuat konspirasi baru untuk menggulingkan Bashir.

Tahun 2005, Bashir mengejutkan semua pihak dengan menandatangani kesepakatan damai di Sudan selatan yang mengakhiri perang di wilayah itu sejak tahun 1983. Namun, Bashir dalam waktu yang sama terlibat perang baru di Darfur.

Selama era pemerintahan Bashir, Sudan punya hubungan kurang harmonis dengan Barat, terutama setelah meletus krisis Darfur tahun 2003. Bashir hingga saat ini menolak menyerahkan sejumlah pejabat Sudan yang terlibat kejahatan perang di Darfur kepada ICC.

Ia bersumpah di depan pimpinan Partai Kongres Nasional yang berkuasa di Sudan, tidak akan mengizinkan sama sekali warga Sudan diadili di ICC.

Bashir juga selalu membantah mendukung milisi Janjaweed dari etnis Arab dalam perang melawan kelompok-kelompok dari etnis Afrika di Darfur. Bashir pun selalu menolak penyebaran pasukan perdamaian PBB di Darfur dan mengabaikan kritik dunia Barat terhadap apa yang terjadi di Darfur.

Bashir menolak pula tuduhan jaksa ICC, Luis Moreno Ocampo, tentang keterlibatannya dalam kejahatan perang di Darfur.

Meski demikian, dalam masa pemerintahan Bashir, Sudan mengalami kemajuan, seperti perdamaian di Sudan selatan, penemuan sumber minyak baru, perbaikan ekonomi yang menurut laporan Dana Moneter Internasional (IMF) mencapai pertumbuhan 11 persen, dan perkembangan demokrasi yang lebih positif dengan disahkannya undang-undang pemilu.

Bashir dikenal sangat menjunjung citra dan kehormatan. Ia cepat marah dan mengeluarkan kata-kata yang meledak-ledak ketika merasa kehormatannya terinjak-injak.

Sebelum mengambil alih kekuasaan, Bashir menjabat panglima angkatan bersenjata dan memimpin sendiri operasi militer di Sudan selatan melawan pemberontak pimpinan mendiang John Garang.

Obsesi Bashir adalah menjaga persatuan wilayah Sudan. Ia sangat mencemaskan saat penduduk Sudan selatan memilih memisahkan diri melalui referendum tahun 2011, sesuai dengan kesepakatan tahun 2005.

Keluarga petani

Bashir lahir 1 Januari 1944 di Hush Batqa, 150 km arah utara kota Khartoum. Ia berasal dari keluarga petani yang sederhana. Ia dan keluarganya lalu pindah ke Khartoum dan tinggal di Distrik Kubar awal tahun 1950-an. Bashir menjalani pendidikan menengahnya di Khartoum.

Seusai tamat pendidikan menengahnya, Bashir semula ingin masuk akademi angkatan udara, namun mengurungkan niatnya dan masuk akademi angkatan darat. Dia akhirnya menjadi anggota pasukan khusus Sudan.

Ia secara cepat mengarungi semua jenjang karier militer hingga meraih pangkat jenderal. Bashir bahkan ikut serta bersama militer Mesir dalam perang tahun 1973 melawan Israel.

Mantan Menteri Pertahanan Sudan Barmah Nasser menyebut Bashir seorang perwira profesional dan disiplin. Dia layak menjadi komandan semua divisi di tubuh angkatan bersenjata.

Bashir dikenal berhasil menjalin hubungan kuat dengan semua jajaran perwira yang membuat pemerintahan Bashir didukung kuat oleh militer.

Bashir di tengah keluarganya bertindak sebagai bapak dan pengayom atas para saudaranya. Bashir membiayai sekolah saudara-saudaranya hingga selesai dan bekerja. Dia anak kedua dari 11 anak pasangan Hassan Ahmad Bashir dan Hidayat Muhammad Al Zain.

Bashir menikah dengan saudara sepupunya, Fatimah Khaled, pada awal tahun 1970-an, namun belum dikaruniai anak. Meskipun tanpa anak, keluarga Bashir dikenal keluarga bahagia.

Tahun 2005, Bashir menikah lagi dengan Wadad Babkar, janda Menteri Pertahanan Brigjen Ibrahim Syamsudin yang tewas dalam kecelakaan helikopter saat bertugas di Sudan selatan.

Ibrahim Syamsudin merupakan salah seorang yang sangat dekat dengan Bashir. Keputusan Bashir menikahi janda Syamsudin sebagai penghormatan terhadap Syamsudin.

Bashir dikenal cerdik dan cerdas. Ia juga sangat teliti dalam membaca laporan dari para pembantunya maupun di media massa. Bashir juga egaliter dan tidak membedakan antara menteri dan penjaga pintu dalam perlakuan sehari-hari.

Bashir dikenal sangat disiplin dalam waktu. Ia secara rutin berolahraga, minimal tiga kali dalam seminggu. Ia pendukung klub sepak bola Al Hilal di Sudan. Ia tidak suka minum teh dan kopi. Ia sangat menyenangi makanan khas Sudan dan mendengar lagu-lagu Sudan klasik.

Kini tantangan baru berada di depan Bashir, yakni nasib dirinya dan pemerintahannya menyusul ICC mengeluarkan perintah menangkap Bashir dengan tuduhan terlibat kejahatan perang di Darfur.