Minggu, 15 Maret 2009

reformasi


Sistem di Palestina Tak Sesuai Zaman


EPA/MOHAMMED SABER
Para perempuan Palestina berkumpul di Gaza City, Jalur Gaza, Minggu (8/3), dalam rangka hari perempuan sedunia. Para perempuan di Lebanon juga melakukan aksi yang sama di Beirut dengan seruan agar Palestina melakukan rekonsiliasi politik demi persatuan bangsa.
Minggu, 15 Maret 2009 | 03:16 WIB

Oleh MUSTAFA ABD RAHMAN

Di Kairo, ibu kota Mesir, sejak Selasa (10/3) digelar hajatan bernama "Dialog Nasional". Hajatan tidak hanya bertujuan mencapai rekonsiliasi Palestina, khususnya antara Hamas dan Fatah, tetapi lebih jauh adalah melakukan reformasi politik Palestina.

Dialog itu bertujuan membentuk aparat keamanan Palestina yang profesional dan non-partisan serta loyal pada kepentingan nasional Palestina. Selain itu, juga dibahas soal perlunya reformasi mendasar terhadap semua institusi di bawah PLO dan pembentukan pemerintah konsensus nasional.

Direktur Kajian Politik dan Strategi Al Ahram Dr Abdel Munim Said dalam artikelnya di harian Asharq Al Awsat edisi Rabu, 18 Februari 2009, mengatakan, ”Dunia Arab (termasuk Palestina) harus melakukan reformasi dan kembali membangun negara modern karena sistem negara di dunia Arab saat ini sudah tidak sesuai zaman.” Menurut Said, negara-negara Arab telah gagal mengelola konflik baik internal, regional, maupun internasional.

Said mengutip hasil penelitian bersama Departemen Luar Negeri Turki, Norwegia, dan lembaga-lembaga non-Pemerintah Qatar. Disebutkan, biaya konflik di Timur Tengah selama 20 tahun terakhir ini mencapai 12 triliun dollar AS, belanja senjata mencapai 1,5 triliun dollar AS, jumlah korban tewas mencapai 3 juta jiwa, dan jumlah pengungsi mencapai 14 juta jiwa.

Almarhum mantan Menteri Dalam Negeri Palestina dari Pemerintah Hamas (tewas akibat agresi Israel ke Jalur Gaza Januari lalu) Said Siyam juga pernah berujar soal demokrasi di Palestina.

”Palestina menerapkan demokrasi dengan menggelar pemilu yang demokratis, tetapi infrastruktur politiknya tidak siap menerima sistem demokrasi. Salah satu contoh nyata adalah saya ditunjuk sebagai menteri dalam negeri, tetapi aparat keamanan di bawah komando saya tidak mau menjalankan perintah saya,” kata Said Siyam saat itu.

Siyam mengakui, Pemerintah Palestina lumpuh. Setelah itu yang terjadi adalah bencana politik di Palestina, seperti lumpuhnya pemerintahan yang didominasi Hamas, blokade internasional atas Jalur Gaza, aksi Hamas mengambil alih kekuasaan secara penuh di Jalur Gaza pada 14 Juni 2007, dan klimaksnya agresi Israel ke Jalur Gaza selama 22 hari dari 27 Desember 2008 hingga 18 Januari 2009.

Kesepakatan Oslo

Apa yang salah pada sistem politik Palestina? Perkembangan politik internal Palestina yang karut-marut beberapa tahun terakhir ini tentu tidak lepas dari Kesepakatan Oslo pada 13 September 1993 antara Israel dan PLO. Kesepakatan Oslo itu kemudian diikuti dengan dibentuknya pemerintah otonomi Palestina (PA) di Jalur Gaza dan Tepi Barat pada tahun 1994.

PA mengambil alih peran PLO yang sejak tahun 1974 menjadi payung resmi semua faksi Palestina. Yasser Arafat dan para pendukungnya yang menggalang Kesepakatan Oslo mereduksi dengan segala rupa peran PLO lantaran sebagian besar faksi yang tergabung dalam PLO itu menolak Kesepakatan Oslo. Faksi-faksi utama Palestina yang menolak Kesepakatan Oslo itu di antaranya adalah Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina (PFLP), Front Demokrasi untuk Pembebasan Palestina (DFLP), dan Front Pembebasan Palestina. Adapun badan yang ada di luar tubuh PLO dan menolak Kesepakatan Oslo adalah Hamas dan Jihad Islami.

Era PLO pun, yang berjaya terutama pasca-tahun 1974, berakhir. Seperti dimaklumi, Konferensi Tingkat Tinggi Arab di Rabat-Maroko tahun 1974 mengakui PLO sebagai wadah semua faksi Palestina dan satu- satunya wakil rakyat Palestina.

Fatah yang menjadi mesin politik PA menjelma sebagai faksi berkuasa. Karena itu, mesin birokrasi dan lembaga keamanan PA digerakkan oleh Fatah dan diisi para pengikut Fatah. Dominasi Fatah itu tidak menghadapi persoalan sejak tahun 1994 hingga pemilu legislatif tahun 2006.

Pascapemilu, yang dimenangi Hamas, tercipta prahara baru politik Palestina. Dominasi Fatah berakhir berganti era Hamas. Akan tetapi, faksi Fatah yang menguasai instrumen kekuasaan dan ekonomi sejak tahun 1994 melakukan manuver untuk meredam kekuasaan Hamas.

Birokrasi dan aparat keamanan yang notabene berasal dari Fatah berjalan setengah hati di bawah bos-bos dari Hamas yang menduduki semua jabatan menteri. Bahkan, tidak jarang para birokrat dan perwira keamanan loyalis Fatah membangkang terhadap instruksi menteri yang berasal dari Hamas.

Israel dan AS menjatuhkan blokade atas Pemerintah Hamas. Maka, Pemerintah Hamas pun akhirnya kelimpungan akibat tekanan dari dalam (Fatah) dan dari luar (Israel dan AS).

Situasi runyam di Palestina dibiarkan tanpa penyelesaian mendasar. Baku tembak pun sering terjadi antara aktivis Hamas dan aparat keamanan loyalis Fatah, khususnya di Jalur Gaza.

Arab Saudi mencoba meredakan hubungan tegang Hamas- Fatah dengan menggelar dialog di Mekkah pada Februari 2007. Dialog tersebut menghasilkan pembentukan pemerintah persatuan nasional. Namun, Kesepakatan Mekkah terlalu fokus pada solusi politik, yakni pembentukan pemerintah persatuan nasional dan mengabaikan isu lembaga keamanan.

Karena itu, pasca-Kesepakatan Mekkah, baku tembak antara aktivis Hamas dan Fatah terus terjadi di Jalur Gaza. Akhirnya situasi di Jalur Gaza semakin tidak terkendali dan klimaksnya Hamas mengambil alih kekuasaan secara penuh di Jalur Gaza pada 14 Juni 2007.

Palestina terjerembab ke situasi yang lebih buruk lagi. Jalur Gaza dan Tepi Barat tidak hanya terpisah secara geografis, tetapi juga terpecah secara politik.

Yaman pernah mencoba menyelamatkan dengan membujuk Hamas dan Fatah melakukan rekonsiliasi pada Februari 2008, tetapi gagal. Harga yang dibayar Palestina sangat mahal. Blokade pada Jalur Gaza makin intensif.

Komunikasi politik antara Pemerintah Israel dan Otoritas Palestina pimpinan Presiden Mahmoud Abbas selama ini hanya sekadar untuk konsumsi publik, tidak pernah menyentuh isu-isu dasar, seperti status kota Jerusalem dan hak kembali pengungsi Palestina.

Tidak ada pilihan lain bagi para pemimpin Palestina kecuali melakukan reformasi politik agar lahir tatanan politik modern. Tanpa ada reformasi politik, rakyat Palestina akan semakin menderita, bukan karena dijajah Israel, tetapi menjadi korban sistem politik yang ada.

Tugas besar yang kini sudah menunggu di depan para pemimpin Palestina itu adalah menyukseskan proyek pembangunan kembali Jalur Gaza seperti yang diamanatkan dalam konferensi internasional tentang rekonstruksi Jalur Gaza pada 2 Maret lalu di Sharm El Sheikh.

Masyarakat internasional telah berjanji akan mengucurkan dana 4,481 miliar dollar AS untuk rekonstruksi Jalur Gaza selama dua tahun mendatang. Namun, para donatur memberi syarat, yakni gencatan senjata dan rekonsiliasi adalah pintu menuju suksesnya pembangunan kembali Jalur Gaza.

Tidak ada komentar: