Minggu, 18 Januari 2009

Renungan Gaza

Oleh Zaim Uchrowi

'Korban tewas 1.000 orang.' Itu yang menjadi berita utama koran kemarin. Besok, lusa, minggu depan, bulan depan korban itu bisa menjadi 2.000, 10.000, dan seterusnya. Apa jaminannya itu tidak terjadi ketika Israel masih menguasai dunia dengan menguasai Amerika; ketika negara-negara Arab masih menjadi "milik pribadi" para penguasanya masing-masing dan belum menjadi negara-negara merdeka milik rakyat; ketika umat yang sehati dengan Palestina masih menjadi umat yang secara sosial, ekonomi, dan politik sangat lemah di kancah dunia; juga ketika PBB masih sebatas jadi pentas drama dunia yang memanggungkan lakon 'Perdamaian' yang tak berhubungan dengan terciptanya perdamaian secara nyata.

Angka 1.000 itu seperti sekadar sebuah statistik yang tak memberi guncangan apa pun pada nurani kita. Tapi, tidakkah kita sempat menyimak berita sebelahnya. Kisah tentang Shahd, bocah perempuan menggemaskan berusia 4 tahun yang menjadi santapan peluru tentara Israel saat ia bermain di pekarangan belakang rumahnya. Orang tuanya hanya bisa termangu menyaksikan tragedi itu, dan segera disambut dengan salakan senapan saat mencoba mengambil jasad malang itu. Tubuh kecil bersimbah darah itu lalu disantap anjing-anjing pelacak yang dibawa tentara Israel saat memasuki Gaza. Suatu keadaan yang mengundang pertanyaan: Sengajakah sang bocah ditembak hanya buat memberi makan anjing-anjing itu?

Shahd tentu tak sempat menangis. Juga tak akan merasakan sakit. Tapi, kebiadaban tentara terhadapnya akan selalu membuat kemanusiaan setiap orang bernurani menangis dan merasakan sakit yang menusuk-nusuk. Holocaust atau pembasmian Yahudi oleh rezim Hitler menjadi peristiwa menyakitkan yang akan selalu dikenang dunia. Tidakkah tragedi di Gaza itu sama menyakitkannya dengan holocaust itu? "Berabad-abad kita menjadi korban kekejaman. Mengapa kita melakukan (kekejaman) serupa?" teriak seorang Yahudi yang menggunakan nurani. "Yahudi terus-menerus dijahati Eropa, mengapa kita membalasnya pada yang lain?"

Dokumen lama itu seolah tidak lagi ada dalam benak para penguasa Israel. Sejak lebih dari 2.000 tahun silam, Eropa telah menghancurkan Yahudi. Penjajahan oleh Romawi Timur (Yunani) dari masa sebelum Isa lahir telah membuat kaum Yahudi berserak ke berbagai penjuru sebagai pengungsi paria. Masuknya Islam ke Yerusalem di masa Umar bin Khattab beberapa tahun setelah wafat Rasulullah SAW, telah memberikan kebebasan kembali pada Yahudi yang tersisa di sana. Tapi, tidak demikian nasib Yahudi di Eropa. Mereka terus dinistakan dari masa-ke masa. Masa keemasan Yahudi di Eropa terjadi saat Islam membangun peradaban Andalusia, dan mereka diberi kesempatan buat mengisi pos-pos penting negara. Masa itu berakhir ketika Ferdinand-Isabel melakukan "Pembersihan" Spanyol dengan membantai Muslim dan Yahudi. Kaum Yahudi pun diselamatkan dan dilindungi Kesultanan Turki Usmani.

Di Gaza hari-hari ini, sejarah penting itu disobek-sobek sampai lumat. Yang dipertontonkan di Abad ke-21 ini justru naluri kebinatangan manusia paling primitif: Yang kuat berhak melakukan apa pun pada yang lemah. Sebuah kenyataan yang mengajarkan bahwa "baik saja tidak cukup, melainkan juga harus kuat". Maka, selain berdoa agar Allah menghentikan kekejian itu, mari menelusur diri. Mari cari bagaimana membuat diri sendiri, keluarga, masyarakat, serta bangsa-umat menjadi kuat hingga tak dapat menjadi bulan-bulanan kaum biadab dunia.
(-)

Menanti Bersatunya Palestina

 

Berita serangan brutal Israel terhadap Palestina telah mengganggu rasa kemanusiaan banyak warga dunia dan bangsa Indonesia yang merasa punya kedekatan emosional dengan Palestina.

Kehancuran serangan tak terkendali Israel sangat memilukan siapa pun yang melihatnya. Masalah agresi ini dapat kita lihat dari berbagai sisi. Pertama, secara regional Amerika Serikat (AS) bersama negara-negara moderat melihat Hamas sebagai bagian dari kekuatan yang bisa menjadi "duri dalam daging".

Penilaian itu muncul tak lain karena secara tidak langsung mereka menganggap Hamas dan Hezbollah, yang paling keras melawan Israel, sebagai representasi kekuatan Iran. Lewat kacamata mereka, tentu kekuatan ini harus dilumpuhkan.

Kedua, Israel menggunakan isu terorisme yang saat ini menjadi isu internasional. Tidak bersatunya Hamas dengan Fatah menjadi celah pembenaran bagi Israel dengan menganggap Hamas sebagai kelompok teroris yang harus ditumpas. Israel juga mengharapkan dukungan negara-negara Barat, khususnya yang sepakat menumpas terorisme di dunia.

Bahkan isu teroris ini digunakan Israel untuk membungkam dunia atas tindakan mereka. Israel membuat justifikasi bahwa serangan roket pada mereka oleh Hamas sebagai tindakan teror yang harus diperangi bersama. Menghadapi hal ini, Bush sebagai kampiun antiterorisme tidak memberikan respons apa pun seakan membiarkan atau menyetujui apa yang dilakukan oleh Israel dengan serangan yang biadab.

Kita juga patut menyayangkan bahwa presiden terpilih AS, Barack Obama, masih diam. Walau dapat kita pahami bahwa dia belum secara resmi menjadi presiden dan mempunyai alasan untuk tidak memberikan solusi karena hanya ada satu presiden sebelum dilantik 20 Januari nanti.

Namun, sebagai presiden terpilih yang menjanjikan visi dan pendekatan baru di Timur Tengah, masyarakat dunia telah menaruh harapan besar pada kepemimpinan Obama di Gedung Putih nanti. Perdamaian di Timur Tengah sulit dicapai apabila Israel tidak menyadari dan tidak mengindahkan standar-standar internasional yang diterapkan pada negara-negara lain.

Selama ini Israel merasa mereka dengan mudah melanggar keputusankeputusan PBB melalui Dewan Keamanan PBB dan tidak mendapatkan sanksi seperti yang diterapkan untuk negara lain. Jika ini tak berubah, demikian yang diungkapkan ahli Timur Tengah dari negara-negara pencinta perdamaian baik di Barat atau AS, sulit perdamaian itu terjadi.

Maka Israel harus didesak untuk mematuhi standar yang ditetapkan oleh dunia internasional. Harus ada sikap tegas dari dunia internasional dalam menghadapi tingkah polah Israel yang seenaknya ini. ***

Justifikasi serangan Israel ini sebagai akibat luncuran roket Hamas mungkin dapat diterima oleh sebagian pihak. Namun, kalau kita perhatikan lebih mendalam tak lebih dari suatu pembalasan Israel yang tidak proporsional.

Sebelumnya telah terjadi pemblokadean ke Gaza yang menutup kemungkinan rakyat Palestina di Gaza mendapatkan kebutuhan-kebutuhan pokok seperti obat-obatan, listrik dan lain-lain. Kondisi ini telah berlangsung sebelum gencatan senjata dibatalkan oleh Hamas dan akhirnya membuat Hamas merasa sangat frustrasi dan melancarkan serangan.

Serangan inilah yang ditunggu-tunggu Israel untuk menjadi serangan balik mereka yang sangat brutal. Serangan Israel ini pun sangat tidak proporsional. Bagaimanapun Hamas bukanlah lawan sepadan bagi Israel. Kalau kita melihat serangan di lapangan, apa yang dilakukan oleh Israel dalam agresi yang sangat keji yang menimbulkan korban anak-anak dan sipil.

Jumlah korban dan kehancuran yang terjadi dapat menjadi bayangan ketidakproporsionalan itu. Israel sangat cerdik untuk melakukannya pada masa liburan tahun baru dan pada situasi di mana dunia sedang sibuk mengatasi krisis ekonomi global. Israel berharap dunia akan disibukkan oleh hal-hal tersebut dan dapat menyelesaikan misi dengan mulus.

Pada dasarnya Israel ingin menghabisi Hamas sehingga kekuatan yang didukung oleh kekuatan garis keras tidak akan banyak berperan. Dengan demikian mungkin perundingan dengan pihak Palestina hanya diwakili oleh pihak Fatah yang lebih moderat. Perlu dicatat bahwa serangan Israel ini terkait dengan kepentingan politik domestik.

Kelompok berkuasa ingin serangan ini mendongkrak popularitas Partai Kadima. Dulu popularitas mereka sempat jatuh waktu gagal melaksanakan misi di Lebanon untuk menumpas Hezbollah. Jelas saat ini Israel tak menginginkan gencatan senjata, karena kalau itu terjadi berarti misi mereka gagal dan mimpi buruk kekalahan di Lebanon akan terulang.Israel ingin Hamas jadi kelompok yang tak berdaya. ***

Untuk itu kita sebagai bangsa cinta damai meminta dan mengharapkan secara mendalam agar rakyat Palestina dapat bersatu dalam kepemimpinan yang terpadu. Jangan memberi peluang bagi Israel untuk mencari-cari celah karena perbedaan faksional Fatah dan Hamas. Sangat imperatif bagi Fatah dan Hamas untuk bersatu dan memikirkan solusi terbaik untuk tercapainya perdamaian.

Kalau hal ini tidak segera diselesaikan maka Israel akan tetap melakukan apa yang diinginkan dengan menjustifikasi agresi itu sebagai balasan terhadap serangan Hamas yang sebenarnya tidak terlalu berarti. Israel dapat menciptakan opini publik bahwa mereka melakukannya sebagai suatu yang perlu. Bukan pada tempatnya juga Palestina menyinggung intifadah yang akan membuat perdamaian makin jauh.

Intifadah ketiga malah akan memperlambat solusi dan memperpanjang konflik. Kalaupun intifadah itu terjadi pasti hanya dari Hamas, tidak seperti sebelumnya. Sebab, Mahmoud Abbas tidak ingin penyelesaian konfrontatif yang tidak membuahkan hasil. Betapa pun yang akan rugi adalah masyarakat sipil Palestina. Kita harus ingat bahwa kekuatan yang ada sangat tidak seimbang.

Kalau kekuatan Palestina masih didominasi Hamas kelihatannya sulit diterima oleh AS, Uni Eropa, dan Israel tentunya. Harus ada solusi internal di Palestina agar negara-negara pencinta damai seperti Uni Eropa akhirnya bisa membawa AS bersama untuk betul-betul menciptakan solusi yang adil jauh dari konfrontasi dan intifadah.

Mereka diharapkan dapat mendukung secara bulat roadmap sebelumnya yang telah disepakati bersama. Hamas juga tak perlu khawatir karena kalau ada persatuan internal maka suara Hamas tetap akan disuarakan melalui kekuatan Palestina yang satu. Bagaimanapun rakyat Palestina membutuhkan perdamaian itu.

Kita dapat melihat bahwa butir-butir roadmap yang dulu diprakarsai oleh Presiden Clinton, yang ditolak Yasser Arafat, ternyata banyak pihak di Palestina yang mengharapkan untuk menghidupkannya kembali. Semoga saja di bawah kepemimpinan Obama perdamaian ini dapat terwujud. (*)

Alwi Shihab
Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah
Sekretaris Dewan Syura PKNU 

Obama, Bush, dan Gaza

 

 

Pada musim kampanye pemilu Amerika Serikat (AS) Barack Husein Obama berkunjung ke Israel. Saat itu, empat bulan sebelum pemilihan presiden, Obama berpidato di sebuah permukiman Yahudi dekat Jalur Gaza, "Jika seseorang melemparkan roket atau granat ke rumah saya, di mana dua anak saya sedang tidur lelap, saya sebisa mungkin akan menghentikan aksi tersebut. Saya berharap orang-orang Israel melakukan hal yang sama."

Tepat satu setengah bulan setelah Obama terpilih jadi Presiden AS, 19 Desember lalu, Otoritas Hamas di Jalur Gaza menyatakan kesepakan perdamaian dengan Israel bubar. Pejuang Hamas yang tertindas Israel meluncurkan roket ke pemukiman Yahudi di kota-kota yang berdekatan dengan Jalur Gaza. Merasa mendapatkan "dukungan" Obama yang pernah disampaikan ketika kampanye itu tadi, Israel pun membalas serangan roket pejuang Hamas.

Empat warga Israel yang tewas akibat roket Hamas dibalas dengan serangan udara besar-besaran, sehingga menewaskan lebih dari sekira 700 warga Palestina, dan ribuan lainnya luka-luka. Itulah balasan yang tak setimpal: kematian 4 orang dibalas dengan kematian 700 orang? Adakah cara lain untuk membalas roket Hamas tersebut? Mantan penasihat Dewan Keamanan AS, Zbigniew Kazimierz Brzezinski, mengungkapkan, serangan besar-besaran Israel ke Gaza adalah kesalahan besar.

Tindakan Israel itu, kata Brzezinski, hanya akan mengundang kecaman dunia terhadap Tel Aviv dan memperbesar dendam Hamas kepada orang Yahudi. Tindakan Israel itu, lanjutnya, merupakan gambaran pemerintah Ehud Olmert yang frustrasi. Olmert tampaknya tak bisa melihat solusi lain kecuali menyerbu besar-besaran Jalur Gaza.

Obama Terjebak

Israel jelas sangat licik memanfaatkan momentum transisi pemerintahan AS dari Bush ke Obama. Pemerintah Bush dari Partai Republik secara tradisional memang amat dekat dengan Israel dibandingkan Demokrat.

Namun Israel secara licik berupaya menyeret Bush dari Republik dan Obama dari Demokrat masuk dalam pusaran kepentingan Israel. Tel Aviv sepertinya mematuhi nasihat Obama saat kampanye di atas. Apakah hal itu yang menyebabkan Obama diam seribu bahasa terhadap aksi brutal Israel di Gaza? Haruskah Obama diam karena-seperti dikatakan Brooke Anderson, Juru Bicara Keamanan Nasional Tim Transisi Obama-belum menjadi presiden secara sah?

Obama memang belum dilantik dan Bush baru akan turun setelah pelantikan Obama, 20 Januari mendatang. Mestinya, dalam masa transisi tersebut Bush tidak menyatakan sesuatu yang membuat marah dunia. Kita tahu Bush menyatakan bahwa Israel tidak bersalah dalam penyerangan ke Gaza. Israel hanya mau menghentikan serangan roket Hamas ke wilayahnya. Karena itu, kata Bush, penghentian serangan Israel hanya dimungkinkan jika Hamas menghentikan serangan roketnya.

Pernyataan Bush tersebut jelas merupakan pemutarbalikan fakta. Sekelompok pejuang Hamas meluncurkan roket karena selama masa perdamaian Israel selalu memprovokasi dan menekan kehidupan orang-orang Hamas di Gaza. Pejabat dan aktivis Hamas diancam dan diintimidasi. Israel juga menutup perbatasannya dengan Gaza dan menjegal orang sipil yang dituduh Hamas untuk bekerja di Israel. Dampaknya, ekonomi Gaza pun terpuruk. Penutupan perbatasan Gaza-Israel menimbulkan permasalahan ekonomi serius di Gaza.

Lantas, apa yang salah jika kemudian aktivis Hamas ingin terbebas dari tekanan Israel itu? Bagaimana seharusnya Obama bertindak? Obama memang menghadapi pilihan dilematis. Di satu sisi dia, bagaimana pun, adalah presiden sebuah negeri raksasa yang secara tradisional akan membela Israel. Meski tradisi Demokrat lebih bisa menghardik kejahatan Israel, tapi AS nyaris tak mungkin meninggalkan negeri Yahudi itu.

Di pihak lain, Israel pun menyiasatinya dengan berbagai rupa tindakan licik agar Pemerintahan Obama (Demokrat) masuk dalam pusaran masalahnya. Kenapa Israel melakukan hal seperti itu? Semua ini, barangkali, merupakan cermin rasa takut Israel terhadap kebijakan-kebijakan AS setelah Obama resmi memerintah. Kita tahu, Obama dalam kampanyenya mengusung kalimat Change! Dan salah satu change tersebut pendekatan yang berbeda terhadap Israel dan Islam.Obama yang "mbah-buyut"-nya di Kenya adalah muslim, niscaya punya perspektif yang berbeda dengan Bush dalam melihat persoalan Israel dan Islam.

Obama, misalnya, dalam kampanyenya berjanji akan melakukan dialog dengan Iran dan Suriah, musuh utama Israel; dan siap bertemu muka dengan kedua pimpinan negara tersebut. Ini betul-betul sebuah kebijakan yang radikal, kebijakan yang bertentangan dengan Bush dan kebijakan yang menampar Israel. Obama juga dalam kampanyenya berjanji akan mengambil kebijakan yang bersahabat dengan negara-negara Islam di Timur Tengah dan Teluk.

Ini pun kebijakan yang tak dikehendaki Bush dan Israel. Kebijakan Obama inilah yang tampaknya hendak dirusak Israel dengan penyerbuannya ke Gaza. Untuk sementara ini, melihat dukungan Bush dan diamnya Obama, Israel berhasil memperdayai dan menjebak Obama. Tapi apakah Obama setelah dilantik akan mengikuti permainan Israel atau sebaliknya akan menghardik Israel, kita tunggu. Yang jelas, dunia kini menunggu kebijakan Obama terhadap pembantaian Gaza. Negara-negara Timur Tengah tampaknya tak bisa berbuat banyak melihat kebrutalan Israel di Gaza.

Begitu pula negara-negara Barat. Israel hanya akan menurut kalau Washington menghardiknya. Bush sudah jelas mendukungnya. Harapan dunia kini tertuju pada Obama yang masih diam seribu bahasa. Apakah diamnya Obama tanda setuju terhadap serangan Israel ke Gaza, atau sebaliknya, tanda kemarahan melihat kekejaman Israel? Washington sudah terlalu banyak mengeluarkan biaya, baik secara finansial, politik, maupun sosial untuk melindungi Israel.

Tiap tahun tak kurang USD4 miliar diberikan Washington secara cuma-cuma ke Tel Aviv. Senjata bernilai miliaran dolar juga diberikan AS kepada Israel. Hasilnya, Israel makin brutal dan berani mengacak-acak keputusan PBB serta perasaan masyarakat internasional yang benci perang dan pembantaian manusia. Beranikah Obama menghentikan tindakan brutal Israel di Gaza? Jika berani, berarti Obama benar-benar memenuhi janjinya dan citra AS akan makin baik di mata dunia.

Jika tidak, Obama akan dikutuk masyarakat internasional karena menjilat ludahnya sendiri. Yang terakhir ini jelas akan membahayakan Obama dan AS sendiri seperti diprediksi Jerome R Corsi dalam buku The Obama Nation.

Prediksi Corsi itu akan meleset jika Obama benar-benar melaksanakan janji-janji kampanye, apa pun yang terjadi! Jika Amerika berani mengatur dunia, logikanya Washington akan berani mengatur Israel, negeri yang hanya berpenduduk lima juta jiwa yang hidupnya "menyusu" kepadanya.(*)

Bambang Pranowo
Guru Besar UIN Jakarta

Krisis Kemanusiaan Israel

 

Kalau mungkin, kapan-kapan berkunjunglah ke Kantor Perdana Menteri Israel dan mintalah diizinkan memasuki ruangan khusus yang berisi segala data tentang Indonesia.

Segala sisi data dan fakta tentang NKRI, pemetaan kekayaan alamnya, kekuatan-kelemahan politik dan militernya, pemetaan sosial budayanya, daftar tokoh-tokoh segala bidang, update peristiwa-peristiwa apa pun yang diperbarui dalam ukuran minggu. Secara intelijen maupun secara ilmu pengetahuan, jangan dulu tidak percaya bahwa Israel lebih mengetahui Indonesia dibanding Indonesia mengetahui dirinya sendiri.

Kalau masih mau bersabar hati dan berlapang pikiran, tuliskan di dalam dirimu probabilitas bahwa Israel mengetahui sesuatu yang khusus tentang Indonesia- masa silam hingga masa depan-yang Indonesia sendiri sebagian pernah tahu tapi malas mengidentifikasinya, sebagian lain memang belum pernah tahu sama sekali. Iseng-iseng bukalah us-israel.org dan pandangilah center main display peta Republik Indonesia dengan sejumlah tempat ditandai dengan warna merah mencolok, seolah-olah ia dibikin oleh Indonesia dan tentang Indonesia.***

Karena semua orang "berbunyi" sama tentang penyerbuan Gaza terakhir ini, ketika ada yang bertanya, saya menjawab: "Saya membayangkan bukan Gaza yang diserbu oleh Israel, tapi Indonesia". Lho kok? "Saya tidak mengharapkan hal itu akan pernah benar-benar terjadi, tetapi Indonesia perlu mulai belajar bahwa orang lain jauh lebih mengerti kekuatan dan kelemahannya dibanding dirinya sendiri.

Juga saya ingin memerhatikan gelagat, apakah dengan pengetahuan Israel yang mumpuni tentang Indonesia itu akan membuat Israel sedemikian berani "bermusuhan" dengan Indonesia, ataukah sebaliknya..." Saya tidak akan memperpanjang tema ini, apalagi sampai surut jauh ke belakang pra-Nabi Ibrahim, era Parikesit dan banjir Nuh yang menyusun kepulauan-kepulauan, dst.

Saya tidak mau merepotkan bangsa Indonesia yang selalu asyik dengan keahliannya menikmati kehidupan apa adanya, untuk tenggelam dalam penggalan-penggalan waktu, untuk berpikir sejengkal dan tidak memerlukan orientasi futurologis yang agak sedikit panjang ke depan-justru karena bangsa Indonesia memiliki kekuatan yang luar biasa, sehingga tidak memerlukan kesiapan apa pun untuk menghadapi apa pun. Setiap saat bangsa Nusantara ini siap ditabrak oleh apapun: bahkan oleh penderitaan dan kehancuran yang seberapa parah pun.

Sekarang, dan itu sudah sejak lima tahun terakhir: bangsa besar ini sibuk dengan tiga hal. Pertama, pemilihan pemimpin. Kedua, pemilihan pemimpin. Ketiga, pemilihan pemimpin. Tanpa pernah benar-benar peduli apakah pemimpin yang dipilihnya itu memang pemimpin, apakah pula pemilihan dan pemilihan dan pemilihan itu lebih besar manfaatnya ataukah mudaratnya. ***

Israel berani dan telah berhasil mempermainkan dunia, tetapi Indonesia terbukti juga sangat berani dan sukses mempermainkan dirinya sendiri. Israel setuju pada usulan PBB. Lumayan puas menempelengi harga diri Palestina dan membunuhi ratusan warganya, sekarang Israel menjadi pihak yang memiliki kearifan dan kemuliaan karena mau beristirahat menempeleng. Dia tidak mendapat sanksi apa pun dari PBB, dari Negara-negara Arab, serta dari siapa pun saja. Nanti kalau ritme sudah bergulir dan momentumnya tiba: tempeleng lagi.

Yang bingung di muka bumi karena dipermainkan oleh Israel bukan hanya Umat beragama, bukan hanya PBB, dan siapa pun lainnya, tapi bahasa dan kata juga kebingungan. Israel istirahat mbedil di puncak "krisis kemanusiaan" Palestina. Dunia makna bingung tentang kapan Palestina mengalami krisis kemanusiaan, karena dari sudut tafsir apa pun sesungguhnya Israellah yang mengalami krisis kemanusiaan. Kita juga kebingungan.

Sebuah lembaga nasional berteriak, "Boikot Amerika Serikat!" Teriakan itu disebar ke media-media sesudah diketik dengan alat bikinan Bill Gates atau Steve Jobs, dan petugasnya karena capek mungkin delivery order McD. Kelompok-kelompok berkumpul dengan idiom "Umat Islam" yang menyatakan bermusuhan dengan Umat Kristen dan Yahudi. Jangan sampai kelompok Kristen yang gabung dengan Hamas di Palestina serta orang-orang Yahudi warga Israel yang antipenyerbuan Gaza mendengar idiom itu.

Semua negara-negara Arab sudah dikasih tahu sebelumnya bahwa Israel akan menyerbu Palestina. Dan syukur alhamdulillah mereka tidak berbuat apa-apa sehingga Perang Dunia bisa dihindarkan. Jangan terlalu setia, jangan terlalu bermoral, demi supaya tidak terjadi global war yang menyengsarakan semua makhluk. Israel sangat hafal mengamati "sela-sela air hujan".

Orang sibuk Natal dan Tahun Baru, Obama sudah presiden tapi belum bertugas, jadwal gencatan senjata telah berakhir: maka sebuah "upper-cut" dahsyat dilayangkan ke dagu Palestina. Manusia di gurun itu meraungraung, kita semua manusia di bumi menangis, Chavez mengusir Dubes Israel, pemimpin-pemimpin kita melontarkan rudal kutukan, dan kita rakyat militan berkumpul menyiapkan ilmu kebal melawan peluru tentara Israel, kemudian minta Palestina memfasilitasi keberangkatan kita ke medan perang.

Memfasilitasi itu tidak dijelaskan apakah berarti minta disediakan tiket Jakarta-Cairo PP. Sekarang, karena senapan prajurit Israel dirundukkan dan tidak dikokang lagi, segera kita dangdutan dan ngegosiptainment lagi. Nanti, kalau suara bedil menyalak lagi, kita demo lagi sesaat. Dunia tidak memerlukan penyelesaian tuntas dan mendasar atas permasalahan apa pun yang menimpanya dan yang diciptakannya sendiri. (*)

Emha Ainun Nadjib
Budayawan

Operation Cast Lead: Implikasinya bagi Israel & Hamas

 
 

Konflik yang terjadi antara Israel dan Hamas sebenarnya telah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Hal ini semakin meruncing ketika Hamas berhasil menguasai pemerintahan di Gaza melalui kudeta berdarah pada Juni 2007. Gesekan antara kelompok garis keras Hamas dan Israel tidak dapat dihindarkan hingga dicapai perjanjian 6 bulan gencatan senjata yang berakhir pada 26 Desember 2008 lalu.  

Momentum berakhirnya gencatan senjata ini dipandang Israel sebagai awal strategis untuk menghancurkan kekuatan Hamas sampai ke akar-akarnya. Seminggu sebelum gencatan senjata berakhir, Israel menghentikan seluruh suplai makanan dan kebutuhan pokok lain yang masuk ke Gaza di sepanjang jalur pantai dan darat. Hal ini menimbulkan shortage logistik masyarakat Gaza umumnya dan pihak Hamas khususnya. Hamas pun menjawab strategi Israel dengan menekan balik melalui peningkatan aktivitas serangan roket ke Israel. Suatu reaksi yang memang diharapkan oleh Israel sebagai pembenaran serangan balik Israel ke Jalur Gaza. Sebuah sumber Departemen Pertahanan Israel yang tidak mau disebutkan namanya berkata, "Kelihatannya operasi militer Israel akan dimulai dengan serangan udara untuk melawan peluncuran roket dan dilanjutkan dengan invasi darat."

Momentum ini juga sengaja dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh Israel yang mencalonkan diri sebagai Perdana Menteri untuk menaikkan popularitas pada pemilihan umum tanggal 10 Februari 2009 nanti. Termasuk Menteri Luar Negeri Tzipi Livni dan Menteri Pertahanan Ehub Barak yang saat ini posisinya sangat tidak menguntungkan karena tekanan Benjamin Netanyahu untuk mengambil langkah secepatnya terhadap keamanan Israel. Namun, Livni lebih pandai dalam mengambil kesempatan. Dialah orang Israel pertama yang menyatakan akan menyerang Hamas. Padahal, Ehud Barak sebagai Menhan seharusnya yang paling berkesempatan mengambil peluang ini.

Ketidakmampuan Ehud Barak bertindak cepat bukanlah tidak beralasan. Setidaknya ada 3 alasan penting mengapa dia terlambat bersikap dibandingkan dengan Menteri Luar Negeri dalam menyatakan perang melawan Hamas. Pertama, moril tentara Israel masih rendah karena ekses kekalahan perang musim panas 2006 di Lebanon sungguh di luar perkiraan Israel, dimana ratusan personel dan tank Markava IDF (Israeli Defence Force) diluluhlantakkan Hezbollah.

Kedua, kekhawatiran yang besar juga menyelimuti warga sipil dan personel IDF karena saat ini secara de facto Israel masih memiliki konflik dengan 3 negara besar di jazirah Arab; Iran, Syria, dan Lebanon dalam hal ini Hezbollah. Apabila Israel membuka front dengan Hamas di perbatasan selatan, bukan tidak mungkin Hezbollah, Iran dan Syria akan ikut membantu Hamas karena mereka memiliki keterkaitan emosional dan politik.

Ketiga, Ehud Barak kurang percaya akan kemampuan Israel dalam mengambil keputusan pelik. Hal ini terjadi pada kasus pembebasan seorang prajurit Israel bernama Gilead Shalit yang telah ditahan oleh tentara Hamas lebih dari dua tahun. Barak lebih memilih jalan diplomasi lewat Mesir daripada melakukan negosiasi langsung antara Israel-Hamas.

Serangan udara tidak membawa hasil

Serangan udara selama 5 hari yang dimulai tanggal 27 Desember 2008 dengan menggunakan pesawat F-16 dan helikopter Apache ternyata tidak sesuai harapan. Tujuan Israel untuk "mengembalikan keamanan di Selatan" dengan satu cara, yaitu menghentikan penembakan (roket) Hamas ke Israel belum tercapai. Hamas masih mampu menembakkan sekitar 70 roket ke Israel dalam satu hari walaupun serangan udara dipergencar dan lebih intensif dibanding perang melawan Hezbollah 2006. Bahkan bisa dikatakan serangan udara Israel gagal, seperti pernyataan Jeffrey White, seorang peneliti Washington Institute for Near East Policy (WINEP) sekaligus mantan analis Defense Intelligence Agency, "penggunaan angkatan udara Israel mampu menekan kemampuan Hamas untuk melakukan serangan balik, namun akibat yang dihasilkan oleh Israel juga dibawah pencapaian yang seharusnya bisa dipenuhi."

Keputusan melakukan invasi darat pada Operation Cast Lead ini sempat menjadi perdebatan besar dan keraguan bagi kalangan ahli militer Israel. Beberapa ahli militer mengatakan bahwa jika Israel ingin melakukan invasi darat in full scale operation maka Israel harus menyiapkan setidaknya 10.000 personel. Untuk itu, 6500 tentara cadangan dikerahkan dalam rangka memperkuat IDF melakukan serangan darat. Pertimbangan kedua adalah pengalaman perang 2006 dengan Hezbollah membuktikan bahwa serangan darat akan berisiko tinggi jika Hamas, yang memiliki roket sama dengan Hezbollah pada perang yang lalu, belum sepenuhnya dihancurleburkan. Dan pertimbangan ketiga, sikap presiden Amerika terpilih Barrack Obama yang hanya diam mengenai pembunuhan etnis di Gaza dan situasi geopolitik regional Timur Tengah menjadi tanda tanya besar bagi Israel. Israel belum meyakini bahwa Obama akan berada dibelakang Israel dan memberikan restu terhadap kepentingan politik dan keamanannya di Timur Tengah.

Beberapa hal yang mengindikasikan kebijakan Obama akan berseberangan dengan George W Bush di antaranya: rencana penarikan pasukan Amerika dari Iraq, penolakan kampanye Global War on Terrorism, dan keinginan Obama untuk menggunakan jalur diplomasi dalam membicarakan masalah nuklir Iran, bukan melalui tindakan militer. Namun dari semua pertimbangan di atas, Israel menggarisbawahi indikasi ketidakberpihakan Obama pada kebijakan politik Israel. Sehingga hari-hari terakhir Bush di kursi kepresidenan dijadikan tumpuan untuk menunjukkan kemampuannya sebagai kekuatan penentu di Timur Tengah.

Delapan hari penyerangan besar-besaran yang dilakukan Israel untuk menghancurkan militansi Hamas baik lewat udara maupun darat ternyata berbuah pahit. Hamas masih mampu menembakkan roket jauh ke dalam wilayah Israel walaupun berbagai markas Hamas dan infrastruktur pemerintahan hancur, listrik diseluruh wilayah Gaza padam, suplai bahan kebutuhan pokok serta bantuan medis menipis. 

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, "apakah penghentian penembakan roket oleh Hamas benar-benar akan tercapai ketika Hamas masih memegang kendali pemerintahan di Gaza?"

Kontra produktif bagi Israel dan IDF

Penyerangan Operation Cast Lead sebagai pembantaian etnis di Gaza, pembersihan Hamas sampai ke akar-akarnya atau apapun itu sebutannya bukanlah hal yang mudah. Walaupun kekuatan Hamas tidak sekuat Hezbollah dan medan tempur Gaza tidak sesulit Lebanon Selatan, namun Israel perlu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk mendapatkan kemenangan mutlak. Kabinet Israel pun mulai meragukan keberhasilan serangan ini. Dalam sebuah rapat pada hari kedelapan penyerangan tentara Israel ke Hamas, kabinet Israel menyimpulkan "Hamas tidak dapat ditumpas." Suatu kesimpulan yang sangat mengejutkan dan sulit diterima.  

Serangan yang memakan korban paling mengerikan sepanjang sejarah Gaza, dimana didalamnya termasuk anak-anak, perempuan dan orang lanjut usia, sama sekali tidak mengecilkan semangat Hamas dalam berjuang mempertahankan wilayahnya. Bahkan simpati kepada Gaza semakin hari semakin besar dan sebaliknya kecaman bertubi-tubi diteriakkan kepada Israel dari sejumlah tokoh internasional.  
Bantuan kemanusiaan yang dikirimkan dari berbagai penjuru dunia merupakan bukti nyata semakin meluasnya simpati dunia internasional kepada penduduk Gaza, yang secara tidak langsung juga berimbas kepada Hamas.  

Keinginan Israel untuk membakar habis Hamas sampai ke akar-akarnya ternyata berbuah dendam yang membara terhadap Israel disetiap sanubari rakyat Gaza, bahkan janin yang masih di dalam kandungan. Popularitas Hamas di Palestina pun semakin naik seperti halnya Hezbollah di Lebanon setelah memenangkan pertempuran 34 harinya. Kemenangan Hamas pada pemilu legislatif 4 tahun lalu akan semakin menaikkan posisi Hamas ke puncak tiang bendera aspirasi politik Palestina. Mereka dipandang sebagai pejuang bangsa dalam mempertahankan kedaulatan negara. Dan secara bersamaan akan menurunkan kredibilitas kelompok pro-Barat, Fatah, pimpinan Mahmoud Abbas dinegaranya sendiri.

Pemerintahan Abbas yang dinilai korup oleh masyarakatnya akan dipandang sebelah mata dan sebaliknya Hamas dapat menjadi alternatif lain yang lebih baik. Seperti pernyataan seorang analis politik Israel, Aluf Benn, pada 2 Januari 2009 di surat kabar Haaretz "Jika perang ini berakhir imbang, seperti yang diprediksikan, dan Israel gagal untuk menguasai kembali Gaza, maka Hamas akan memperoleh pengakuan diplomatik."  

Bagi Israel sendiri, waktu yang tersisa sampai Barrack Obama disumpah untuk menduduki kursi kepresidenan Amerika Serikat pada 20 Januari mendatang sangatlah sempit. Pertaruhan kredibilitas kemampuan teknologi angkatan bersenjatanya yang disampaikan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, pada wawancara eksklusif berbahasa Arab di saluran televisi Al Arabiya sebelum penyerangan pertama ke Gaza bahwa "kami lebih kuat" menjadi beban berat dan hutang tak terbayarkan Israel.  

Jika Israel tidak mampu menyelesaikan pertarungan ini dengan absolute victory maka perang ini menjadi kekalahan ke dua melawan non-state enemy di Timur Tengah. Dampak terbesar yang akan muncul bagi bala tentaranya adalah krisis kepercayaan diri. Padahal musuh bebuyutan Israel di Lebanon, Hezbollah, saat ini mengaku memiliki kekuatan dan persenjataan tiga kali lebih besar dibanding perang 2006. 

Sekjen Hezbollah, Hassan Nasrallah, dalam pidatonya memperingati As Syura awal tahun ini juga mengatakan bahwa Hezbollah telah memiliki roket anti pesawat terbang jika Israel menyerang dan mengganggu ketenangan Lebanon. Selain misil baru dengan jangkauan lebih jauh sampai ke Tel Aviv atau Negev, Dimona, sebuah kota instalasi nuklir Israel berada. Bagi penduduk Israel, hal ini berarti mimpi buruk yang akan selalu menghantui di bawah bayang-bayang kekhawatiran dan serangan balik yang lebih agresif dari Gaza kelak dikemudian hari.

Selanjutnya, Hamas pun akan memiliki bargaining position di meja perundingan yang lebih menentukan untuk memaksakan tuntutan penghapusan boikot ekonomi dan pembukaan jalur perbatasan darat yang selama ini diberlakukan.  

Pertaruhan terakhir

Walaupun beberapa perwira militer Israel masih meyakini mereka akan memenangkan peperangan ini, namun pertanyaannya "Berapa lama waktu yang dibutuhkan Israel untuk menghabisi Hamas?" Akhirnya, Israel harus membuktikan bahwa taktik IDF yang digunakan dalam Operation Cast Lead merupakan taktik paling ampuh untuk membungkam Hamas berapapun harga yang harus dibayar. Jika tidak, maka Israel harus menyiapkan payung perlindungan roket yang lebih canggih bagi keamanan warganya di masa depan dalam mengantisipasi dendam kesumat masyarakat Gaza, selain menciptakan taktik baru yang lebih kredibel komprehensif untuk mempertahankan eksistensinya di jazirah Arab. Namun, hal ini sekaligus berarti kemenangan mutlak bagi Hamas secara militer, politik dan diplomasi interasional.  
 
Kapten Inf Kukuh Suharwiyono, BS
Penulis saat ini masih bergabung dibawah Satgas Yonif Mekanis TNI Konga XXIII-C/UNIFIL di Lebanon Selatan. Sebelum bergabung dalam penugasan PBB, penulis menjabat sebagai Kaur Data & Statistik Spaban I/Ren Spersad

Kamis, 08 Januari 2009

Agar Gaza Tak Lagi Membara


Israel-Hamas harus menyegerakan gencatan senjata. Dunia perlu ikut mencegah hancurnya kehidupan warga sipil Gaza.

Perdamaian di Timur Tengah merupakan kemustahilan bila menilik sejarah pertikaian dua jiran seketurunan serta serumpun selama enam dekade terakhir: Israel dan Palestina. Kendati demikian, wajiblah kita sebagai warga dunia berseru lantang agar proses perdamaian kedua bangsa segera diupayakan kembali.

Lebih dari 400 nyawa manusia yang tercabut oleh bombardir Israel di Jalur Gaza sepekan terakhir tentu bukan soal kecil. Begitu pula 2.000 lebih manusia yang terluka parah serta ribuan lain yang kehilangan tempat tinggal. Seruan damai bisa dimulai dengan langkah pragmatis, yaitu gencatan senjata.

Ini bukan sekadar respons terhadap korban perang yang telah pecah berulang kali, melainkan kepedulian kita ketika harkat kemanusiaan dilorotkan ke titik paling nadir di Jalur Gaza. Indonesia—negara dengan warga muslim terbesar di dunia dan punya identitas moderat—bisa memainkan peran besar, terutama dalam mendekati otoritas Hamas di Gaza, untuk suatu gencatan senjata.

Betul ini tidak mudah mengingat pertikaian Israel dan Hamas sudah memuai ke titik didih. Israel selalu menyatakan sekadar membela diri terhadap serangan Hamas. Dan Hamas—penguasa Jalur Gaza—akan menutup kuping pada seruan damai dan terus memilih berperang karena ”kami hanya meminta kembali hak kami yang dirampas Israel”.

Tapi hari-hari ini, tak perlulah kita berdebat tentang sejarah ketika nyawa manusia yang tercabut bertambah setiap saat. Perserikatan Bangsa-Bangsa—betapapun tidak direkennya oleh Israel—harus mendesak dengan keras agar Israel meletakkan senjata. Pemerintah Tel Aviv perlu dibujuk agar mau membuka pintu perbatasan lebih lebar supaya para pekerja kemanusiaan internasional dapat membantu para korban.

Kita tahu bantuan para ”kawan dekat” Palestina macam Iran dan Suriah tentu akan ditolak mentah-mentah oleh Israel, yang memegang kunci pintu perbatasan. Di sini, lagi-lagi, Indonesia bisa menyodorkan peran lebih besar untuk bantuan kemanusiaan.

Fakta perang yang pincang di Gaza membuat rakyat Indonesia—yang punya kedekatan emosional dengan Palestina—seperti mendapat dorongan kuat membantu. Enam warga Israel serta sejumlah kambing dan domba di selatan Israel terbunuh oleh roket Hamas. Pembalasannya berlipat ganda, 400 lebih nyawa mati dalam sepekan.

Tapi kondisi di sana tak perlu diperkeruh dengan mengirim ”relawan bersenjata” atau ”relawan berani mati” dari Indonesia. Selain hanya menggarami lautan, tindakan ini sama sekali tak membantu meredakan derita warga sipil di kawasan panas itu. Yang diperlukan di Gaza sekarang adalah bantuan kemanusiaan: tenaga medis, obat-obatan, makanan, dan relawan yang membantu korban di wilayah konflik.

Sikap realistis dan jernih dari negara-negara yang membantu amat diperlukan sekarang ini. Sebab, perang di Gaza juga menjadi komoditas politik domestik kedua pihak. Israel akan menggelar pemilu pada Februari 2009. Pemerintah yang berkuasa perlu citra kuat di depan pemilih konservatif, yang merupakan kelompok pemilih terbesar di Israel. Parlemen Israel, Knesset, pun memberikan restu menghajar Hamas sampai ke akar-akarnya.

Pihak Hamas tak sudi menoleh pada arahan Presiden Palestina Mahmud Abbas dari Tepi Barat yang mereka pandang lemah dan doyong pada kemauan Israel dan Amerika. Sehingga gencatan senjata yang kita usulkan ini bukan solusi mudah—dan tentu saja bukan solusi baru. Tapi, sekali lagi, ini jalan paling masuk akal untuk mengurangi jumlah korban di Gaza pada hari-hari ini.

Gaza

Nono Anwar Makarim

  • Penasihat hukum di Jakarta

    Omong kosong Israel bilang mau menghabisi Hamas. Di Libanon, pada 2006, mereka juga bilang mau menghabisi Hizbullah. Namun, setelah meriam tank-tank Ma’rev dibungkam oleh perlawanan Hizbullah, Israel terpaksa mengakui bahwa Hizbullah tidak bisa dibasmi. Seperti halnya dengan Hizbullah, Hamas pun tak mungkin dihabisi.

    Sudah lebih dari sepuluh tahun Israel melakukan operasi pembunuhan pimpinan garis keras Palestina. Puluhan komandan pasukan gerilya Palestina mati, tapi ratusan sukarelawan berebut menawarkan diri untuk dilatih mengisi lowongan yang ditinggalkan mereka yang dibantai. Sepuluh dibunuh, seratus yang maju. Politik basmi yang ditujukan pada gerakan yang didukung rakyat adalah pengantar ke jalan buntu.

    Koalisi partai yang berkuasa di Israel kepepet waktu. Paling sedikit ada dua ketidakpastian di benak mereka. Benar Obama menempatkan dua tokoh pro-Israel pada posisi utama dalam pemerintahannya, Rahm Emmanuel sebagai Kepala Staf Gedung Putih dan Hillary Clinton, menteri luar negerinya. Tapi mengapa hal itu dilakukannya setelah menang pemilu secara amat meyakinkan? Buat apa merayu masyarakat Zionis Amerika lagi? Bukankah suara mereka sudah dikantonginya? Israel bimbang akan bentuk perubahan yang dijanjikan Obama. Akankah Amerika menjalankan politik luar negeri baru yang lebih menguntungkan bagi Amerika sendiri, atau melanjutkan politik luar negeri lama yang cetak birunya dibuat di meja gambar Tel Aviv? Yang jelas, Amerika sedang kehabisan uang. Nafsu terjun dalam avontur seperti Perang Vietnam atau serbu Irak mungkin masih besar, tapi tenaga dan dana sudah berkurang.

    Partai yang berkuasa di Israel juga kepepet waktu karena pada Februari 2009 Israel akan mengadakan pemilihan umum. Diperkirakan, koalisi yang bisa digalang Partai Kadima warisan Ariel Sharon akan menang tipis karena semburan api naga murka bernama Benyamin Netanyahu. Partai politik Netanyahu, Likud, penganut garis keras dalam politik Israel. Netanyahu condong pada kebijakan libas-sana-libas-sini, gagal atau berhasil perkara belakang. Likud mengecam pemimpin Kadima berpolitik lembek, lemah, mengorbankan Yahudi untuk berkompromi dengan kebohongan Arab.

    Untuk menangkis tuduhan ini harus dibuktikan bahwa Kadima bisa main kasar. Perlu juga diketahui bahwa operasi ”habisi Hamas” sudah dirancang lebih dari setahun. Hanya alasannya yang baru muncul ketika Hamas mengakhiri gencatan senjata secara sepihak. Penembakan roket ke selatan Israel sebagai alasan perang kurang meyakinkan. Lima tahun penembakan roket Qassam ke Israel menimbulkan enam korban jiwa di Israel; perang lima hari membantai 400 orang Palestina dan melukai 2.000. Hamas juga sudah lama mempersiapkan perang. Terowongan-terowongan digali untuk menyelundupkan senjata dan amunisi menembus blokade dan masuk ke Gaza.

    Apa sebenarnya yang dituntut pejuang di Gaza? Hamas berkeras minta jam Palestina diputar kembali ke zaman pra-1940-an. Palestina harus diberi cap Islam yang jelas, di samping cap Kristen dan Yahudi. Hamas mau hidup berdampingan dengan umat Kristen dan Hibrani dalam satu negara Palestina. Mereka tidak suka solusi dua negara, karena tanah subur dan sumber air akan tetap dikuasai Israel. Namun demikian, Hamas bersedia menerima konsep dua negara untuk sementara dan dalam keadaan gencatan senjata jangka panjang, bukan damai. Hak Palestina yang direbut Israel harus dikembalikan, termasuk kampung halaman yang sekarang terletak di Israel.

    Garis keras Hamas merupakan pantulan struktur kependudukan di Gaza. Delapan puluh persen penduduk Gaza yang berjumlah 1.500.000 orang adalah pengungsi beserta anak, cucu, dan cicit mereka. Dulu, ketika para Zionis tinggal dalam pengasingan diaspora, dalam setiap kesempatan berkumpul mereka melepas kerinduan akan tanah leluhur mereka dengan seruan ”tahun depan di Yerusalem”. Para pengungsi Palestina yang diusir tentara pendudukan Israel dari kampung halaman mereka juga terus mendambakan kembali ke rumah mereka yang direbut orang Yahudi. Mereka juga secara turun-temurun merindukan mudik, dan berseru ”tahun depan di Haifa, di Tel Aviv, Al-Quds”.

    Di dalam kanun Hibrani orang Yahudi dilarang melupakan kezaliman yang mereka alami. Dalam tradisi oral bangsa Arab juga ditemukan hikayat derita atas perlakuan kejam terhadap mereka. Seperti memori Yahudi akan pogrom dan holocaust, ratapan Palestina juga ditembangkan antar-generasi, supaya terus diingat dan terukir dalam memori peradaban mereka. Memori semacam inilah yang menjadi rintangan terbesar bagi perdamaian dan pemicu terkuat untuk perang. Untuk berdamai orang harus bersedia belajar lupa.

    Israel sejak semula tidak mengizinkan pengungsi Palestina pulang ke kediaman asalnya. Israel tidak berminat membentuk negara kesatuan Islam-Kristen-Yahudi, yang dalam waktu singkat akan dibanjiri warga negara keturunan Arab. Dibandingkan dengan penduduk Kristen dan Yahudi, orang Arab Palestina memang paling suka, paling sering, dan paling banyak bikin anak. Bisa jadi pada pertengahan abad ke-21 mayoritas warga negara Palestina di negara kesatuan semacam itu adalah pemeluk agama Islam. Itu sebabnya mengapa usul negara kesatuan ditolak Israel setiap kali muncul dalam perundingan damai Arab-Israel. Penolakan itu memperkuat kesan bahwa Israel menjalankan politik apartheid seperti Afrika Selatan. Kesimpulan ini bahkan dibukukan oleh Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika Serikat.

    Dalam konfrontasi Arab-Israel orang banyak berasumsi bahwa semua negara di Timur Tengah yang bernapaskan Islam akan membantu Palestina. Kenyataannya tidak demikian. Hamas didukung Iran, Irak, dan Libanon, tiga negara dengan mayoritas Syiah. Gaza sudah lama diblokade oleh Israel. BBM, bahan makanan, dan obat-obatan dipersulit masuk ke Gaza. Ketika Israel mulai melancarkan bombardemen terhadap Gaza, banyak penduduk, terutama perempuan, orang jompo, dan anak, berduyun lari menuju pintu gerbang Mesir untuk mengungsi ke negeri umat terdekat.

    Pemerintah Hosni Mubarak mengerahkan tambahan 300 penjaga gerbang untuk menutup rapat gerbang penyelamat. Mesir dan Israel bekerja sama dalam blokade ekonomi terhadap Gaza. Hamas dibentuk oleh Ikhwanul Muslimin Mesir 20-an tahun yang lalu. Rezim militer di negeri itu merasa terancam oleh organisasi itu, yang tambah lama tambah berakar di kalangan rakyat jelata Mesir. Membantu Hamas identik dengan membantu Ikhwanul Muslimin, pesaing kekuasaan Mubarak yang amat potensial.

    Solidaritas antar-umat pada umumnya juga tampak lemah. Lapangan terbang militer Turki dipakai oleh pesawat tempur Amerika untuk mengebom Irak. Tadinya Amerika mempersenjatai dan membiayai Irak untuk berperang melawan Iran. Saudi berupaya keras agar program nuklir Iran dicegah. Struktur kepentingan di antara negara-negara Arab tidak memberikan banyak harapan manfaat bagi Palestina dari pertemuan Liga Arab yang direncanakan sebagai reaksi terhadap perang Gaza.

    Di Palestina sendiri organisasi warisan Yasser Arafat terus dipojokkan oleh Hamas dengan tuduhan antek Barat, musuh Islam. Kampanye yang mengalahkan Fatah di Gaza berbunyi ”Fatah mau berunding terus! Hasilnya Nol Besar. Hamas memilih jalan perang. Hasilnya Israel enyah dari Gaza”. Jika sekarang Mahmud Abbas mulai berbicara tentang tekadnya menghentikan semua perundingan dengan Israel, itu harus diartikan sebagai sukses kampanye Hamas, dan munculnya kemungkinan Hamas dan Fatah merapatkan barisan.

    Hamas mengakhiri gencatan senjata secara sepihak dengan tiga tujuan. Pertama, Hamas ingin menunjukkan bahwa garis Fatah yang terus berunding dengan Israel telah gagal karena tidak menghasilkan manfaat apa pun bagi Palestina. Sebaliknya, garis keras Hamas telah mengenyahkan Israel dari Gaza. Kedua, Hamas ingin memancing Israel agar menggunakan infanteri untuk berperang gerilya di kota. Ketiga, Hamas ingin meyakinkan lawan bahwa ia adalah satu-satunya pihak yang berdaulat untuk berunding atas nama rakyat Palestina.

    Dengan alasannya masing-masing, Israel dan Hamas memilih jalan perang. Setiap kali debu perang mengendap dan orang menghitung harga, korban jiwa, dan materi di pihak Arab berjumlah 100 kali korban di pihak Israel. Tapi mereka terus berperang, tanpa menang sepenuhnya, tanpa kalah meyakinkan, tanpa kesudahan. Dalam kegelapan itu hanya tampak dua titik terang: sebelum bombardemen Israel suatu survei di kalangan penduduk Gaza menunjukkan bahwa sebanyak 74 persen orang Palestina menginginkan diteruskannya gencatan senjata. Hasil polling itu menunjukkan bahwa betapapun cacatnya gencatan senjata dalam kondisi cekikan blokade ekonomi, rakyat Palestina tetap memilih damai ketimbang perang. Suara dari bawah berbunyi ”hentikan perang”.

    Titik terang yang satu lagi adalah kesediaan Hamas menerima solusi dua negara dalam suasana gencatan senjata jangka panjang. Titik terang ini perlu dikembangkan. Gencatan senjata biasanya sekadar stasiun persinggahan antara keberangkatan dan ketibaan. Gencatan senjata jangka panjang secara konsepsional tetap bermakna sebagai stasiun persinggahan, tetapi dibebani harapan bahwa penumpang kereta, masinis, dan kondektur menjadi terbiasa pada kenyamanan lingkungan stasiun sehingga tidak merasa terdorong lagi untuk repot-repot menuju stasiun ketibaan.

    Gencatan senjata jangka panjang dijadikan sinonim perdamaian dengan tiga syarat: pengawasan internasional yang ketat, tidak berpihak, dan bergigi; bantuan ekonomi yang terarah pada kesehatan dan pendidikan rakyat; dan pengembalian wilayah secara bertahap sesuai dengan tahapan kepatuhan pada perjanjian gencatan senjata.

  • Brutalisme Zionisme dan Dunia Arab yang Lumpuh



    Oleh Ahmad Sjafii Maarif

    31 Desember, hari yang paling ujung di tahun 2008. Dalam perjalanan pagi ke RS Dr Sardjito untuk keperluan kontrol dan general check-up atas kebaikan dan saran direktur keuangannya, Ichsan Abbas; dalam menyupir, saya berdoa sambil menangis, ''Ya Allah, turunkanlah keadilan-Mu untuk menolong rakyat Palestina yang sudah sangat-sangat dizalimi.''

    Brutalitas zionisme sudah berlaku puluhan kali, puluhan tahun. Dunia tidak berdaya, kemanusiaan seolah tak peduli. Seperti tak ada lagi kekuatan duniawi yang bisa menghalangi kejahatan genosida itu. Cita-cita kemerdekaan Palestina telah ditempuh melalui jalan panjang, sarat dengan penderitaan dan pengorbanan yang nyaris tanpa batas. Tetapi, apakah rakyat Palestina pada akhirnya harus musnah dari muka bumi di tangan zionisme?

    Saya tidak pernah percaya kemusnahan itu akan terjadi karena Allah tidak tidur. Pada saatnya, Dia pasti bertindak, sekalipun dunia Arab seakan telah mati rasa, hampir tidak punya solidaritas yang bermakna historis lagi. Brutalitas Israel, sebuah negara kecil yang dimanja Amerika, pada suatu hari, rasanya tidak terlalu lama lagi, akan dihentikan oleh kekuatan kemanusiaan sejagat dan akan dipaksa untuk menerima kemerdekaan Palestina. Penindasan tidak pernah berlangsung abadi dalam sejarah manusia. Pasti akan muncul kekuatan tak terduga untuk menghentikannya.

    Dunia Arab memang dalam keadaan tak berdaya, sekalipun masih sering terlihat sibuk dengan berbagai pertemuan puncak, aksi yang efektif untuk membela kemerdekaan Palestina tidak dilakukan. Iran pun lebih banyak mengumbar retorika ancaman terhadap Israel untuk mengukuhkan pengaruhnya di kawasan Teluk. Tindakan nyata tidak juga dilakukannya.

    Dalam pada itu, PBB yang punya mandat untuk menghentikan perang dan kekerasan demi perdamaian dunia sudah lama jadi macan ompong. Saya yang mengikuti agak intensif masalah Palestina ini hanyalah mampu berdoa dari kejauhan, semoga Allah berkenan mendengarnya. Janganlah kiranya kelumpuhan dunia Arab sampai menyebabkan Allah menurunkan siksanya atas semua yang belum sadar ini. Sekalipun keadilan tertindas suatu waktu, dunia akan menjadi gelap gulita tanpa sinar keadilan.

    Kepercayaan saya terhadap dunia Arab memang semakin tipis. Terutama yang kaya, tetapi tidak serius membela Palestina, terlepas dari fakta bahwa rakyat Palestina pun terbelah dua. Kompleks memang masalahnya, tetapi kezaliman Israel atas mereka tidak boleh berlangsung lebih lama lagi. Palestina harus merdeka dalam tempo dekat.

    Intuisi saya mengatakan, kemerdekaan itu tidak mungkin dibendung oleh kekuatan nuklir sekalipun. Tanpa keadilan dan kemerdekaan Palestina, negara zionis yang kejam itu pasti tidak akan pernah aman. Amerika sebagai cukong Israel pada akhirnya tidak punya pilihan lain, kecuali secara konkret mendukung terwujudnya sebuah Palestina merdeka.

    Janganlah mengira bombardir pasukan Israel di Jalur Gaza akan membunuh cita-cita kemerdekaan mereka. Hasrat kemerdekaan manusia tidak bisa dikubur untuk selama-lamanya. Ini seakan telah menjadi ''hukum besi'' dalam sejarah.

    Jika dunia Arab lumpuh, bangsa-bangsa Muslim yang lain idem ditto, tidak banyak yang telah dilakukan. Mereka sarat dengan masalah domestik yang tidak habis-habisnya. Energi mereka juga terkuras oleh pertentangan faksi radikal dengan faksi moderat. Ada demo dan protes di sana-sini, tetapi tak satu pun yang efektif untuk menghajar kebiadaban zionisme.

    Hamas muncul karena Al-Fatah dinilai semakin tidak berwibawa. Terlepas dari apa pun corak ideologi politik yang ditawarkannya, Hamas adalah manifestasi dari cita-cita kemerdekaan manusia yang tertindas sekian lama. Kemenangannya dalam pemilu di kawasan Gaza tidak lain karena rakyat Palestina tidak mau ditipu lebih lama. Janji-janji Amerika dan Pemerintah Israel untuk kemerdekaan Palestina adalah dusta belaka.

    Kesaksian Uri Avnery, seorang pejuang Yahudi pembela kemerdekaan Palestina, patut dicatat. Ia tidak punya kepercayaan lagi bahwa pemerintah zionis yang didukung Amerika akan rela melihat kemerdekaan itu pada suatu hari. Tetapi, Avnery punya keyakinan lain: Palestina pasti merdeka. Itulah yang mendorongnya untuk terus bersuara lantang. Dituduh sebagai pengkhianat oleh pemerintahnya, tidak dihiraukannya.

    Dalam usia 85 tahun, Avnery belum menampakkan kelelahan dalam membela hak kemerdekaan Palestina. Dia adalah penulis tetap dalam The Palestinian Chronicle, salah satu media yang digunakannya untuk terus bersuara bersama para pejuang pena Palestina. Kita sungguh berharap, Avnery akan sempat juga menyaksikan detik kemerdekaan bangsa yang dibelanya itu.

    Dalam perkembangan terakhir, Avnery tidak lagi sendirian. Rakyat Israel yang anti-zionisme semakin banyak bermunculan. Mereka sudah tidak tahan menyaksikan politik pemerintahnya yang anti-kemanusiaan, pro-kebiadaban. Di mata mereka, meneruskan politik kepala batu zionis akan berakibat fatal bagi masa depan Israel. Zionisme adalah imperialisme yang pasti segera masuk ke dalam museum sejarah.

    Kita menyertai keyakinan ini. Harapan tidak boleh padam, kemerdekaan Palestina pasti akan menjadi kenyataan dalam tempo yang tidak terlalu lama lagi. Doa kita yang tulus jangan sampai berhenti. Kekuatan doa bukan sesuatu yang enteng. ''Ya Allah, turunkanlah keadilan-Mu untuk mempercepat proses kemerdekaan Palestina di tengah-tengah kelumpuhan dunia Arab untuk berbuat sesuatu yang berarti. Amin.''

    Henry Ford dan Protokol Yahudi

    Asro Kamal Rokan

    Situasi rakyat Palestina di Jalur Gaza semakin mengkhawatirkan. Palang Merah Internasional (ICRC) dalam laporannya menyebutkan, korban-korban--termasuk anak-anak dan orang-orang tua yang luka kemungkinan akan menemui ajalnya. Ini karena ambulans Bulan Sabit Merah tidak dapat mencapai mereka karena serangan Israel yang tidak berhenti. Rumah sakit mulai tidak berfungsi karena pasokan bahan bakar minyak ke generator terhenti.

    Tidak adanya pasokan listrik juga berakibat pada bayi-bayi Palestina. Tanpa listrik, pengatur udara tidak berfungsi, sedangkan suhu udara sangat dingin. Menurut organisasi kemanusiaan yang berpusat di Inggris, Save the Children, bayi-bayi yang baru lahir tersebut sangat berisiko terkena hypothermia.

    Inilah tragedi kemanusiaan yang secara biadab dilakukan Israel. Meski dunia internasional kecuali Amerika Serikat mengutuk kebiadaban tersebut, namun Israel menikmatinya. Desakan internasional, di antaranya, dari Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, agar Israel melakukan gencatan senjata, telah ditolak Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert.

    Tiga tahun lalu, saya menerima buku dari seorang sahabat. Buku itu berjudul The International Jew, yang ditulis Henry Ford, pendiri dan pemilik perusahaan mobil Ford Amerika Serikat. Dalam buku yang sempat dimusnahkan Yahudi AS itu, Henry Ford--yang membongkar kebusukan lobi Yahudi menyimpulkan, untuk mencapai tujuannya kalangan Yahudi menggunakan cara-cara sesuai karakter mereka, yakni: dominasi atau hancurkan!

    Mereka telah gagal mendominasi Palestina karena perlawanan Hamas. Dan, kini mereka masuk pada tahap selanjutnya: hancurkan.Hari-hari ke depan, kita akan menyaksikan bagaimana mereka melakukan penghancuran di Palestina, seperti ketika Amerika Serikat yang dikendalikan lobi Yahudi menghancurkan Irak dan kemudian menguasainya.

    Ford semula tidak begitu percaya keterlibatan Yahudi internasional dalam berbagai peperangan dan peristiwa besar di dunia. Ia melakukan penyelidikan, menggali fakta-fakta, dan menyewa investigator. Penyelidikan Ford ini kemudian dikenal sebagai Jewish Question. Dari penyelidikan itu, Ford yakin tangan-tangan Yahudi Internasional bermain dalam berbagai peristiwa dunia. Dan, menurutnya, tangan-tangan itu harus dipatahkan. ''Ancaman sesungguhnya bagi Amerika Serikat adalah Yahudi terpelajar itu,'' kata Ford.

    Melalui Dearborn Independent, surat kabar kecil yang dibelinya di Michigan, Ford menurunkan hasil investigasinya yang membeberkan kebusukan Yahudi Internasional di Amerika. Salah satu temuan Ford adalah Protokol Zionis. Dokumen ini berisi strategi Yahudi Internasional menguasai dunia, politik internasional, keuangan dan bisnis, media, dan juga budaya.

    Publikasi terhadap Protokol Zionis tersebut menuai kecaman. Ford dianggap anti-Semit. Dokumen itu oleh kalangan Yahudi dinilai palsu. Ford tidak ingin terjebak perdebatan asli atau palsu. Ia mengatakan, ''... dari apa yang saya ketahui, semua yang terjadi sekarang ini di dunia, sesuai dengan isi dokumen itu.''

    Artikel-artikel di surat kabar Dearborn Independent memicu kemarahan kalangan Yahudi. Mereka menuntut Ford minta maaf. Bisnisnya dipersulit sampai mengalami krisis keuangan. Dalam situasi sulit itu, Ford dirawat di rumah sakit akibat kecelakaan mobil secara misterius. Pada 1977, artikel-artikel Ford itu dibukukan dalam The International Jew. Buku ini sempat menjadi buku terlaris, terjual lebih dari 10 juta copy. Kalangan Yahudi memborong buku ini, membakarnya, merazia toko-toko buku, dan bahkan mencurinya di perpustakaan untuk dimusnahkan.

    Kini, Zionis Israel yang tangannya merambah ke seluruh dunia menghancurkan Palestina. Anak-anak menunggu ajalnya. Dunia Arab hampir tidak melakukan apa-apa. Mereka menjadi penonton Palestina dihancurkan. Dan, kita di sini sibuk dalam urusan politik dan bertengkar antarkita--yang jangan-jangan bagian dari protokol itu. Wallahu a'lam bishawab.

    Invasi Gaza, Cermin Kepanikan Israel

    M Nurkholis Ridwan
    Associate Member The Fatwa Center

    Sulit memperkirakan seberapa buruk situasi di Jalur Gaza pada hari-hari mendatang. Hingga artikel ini ditulis, tak kurang dari 400 orang tewas dan lebih dari 2.000 warga sipil luka-luka serius akibat serangan udara penjajah Israel, jumlah yang sepertinya akan terus melonjak.

    Bukan hanya karena tak ada tanda-tanda invasi Israel ke salah satu wilayah terpadat di dunia ini akan berakhir, tapi juga karena militer Israel telah mempersiapkan serbuan ini jauh-jauh hari. Sumber resmi militer Israel menyatakan fase gencatan senjata selama enam bulan yang berakhir pertengahan Desember lalu dimanfaatkan dengan baik untuk menghimpun data intelijen tentang kekuatan Hamas dan melacak tempat persembunyian para petingginya. Selain itu, Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak juga telah merilis kesiapan pasukannya untuk menyerbu lewat jalur darat guna melengkapi serangan udara yang masih dalam hitungan hari.

    Mengapa Israel mengejutkan dunia dengan melancarkan serangan terhadap Jalur Gaza di penghujung 2008? Jawaban resminya sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri Israel yang juga Ketua Partai Kadima, Tsivi Livni, tentu saja untuk menghabisi partai berkuasa Palestina, Hamas. Tapi, secara logika sederhana yang tentu saja dipahami baik oleh Israel, mana mungkin militansi sebuah gerakan yang mengakar kuat di hati rakyat Palestina, khususnya di Jalur Gaza, dapat dihabisi hanya dengan hantaman bom, roket, ataupun hujan peluru?

    Sejarah berulang-ulang bersaksi, menghabisi militansi dengan kekerasan hanya akan makin meneguhkan militansi tersebut. Hamas akan menjadi pahlawan. Dunia pun menonton pentas pertarungan antara David dan Goliat. Negara-negara Eropa buru-buru berembuk membujuk Israel menghentikan serangannya. Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown, bahkan sempat menelepon PM Israel, Ehud Olmert, agar menghargai HAM dan menyetop invasinya.

    Analisis lainnya, tentang alasan di balik penyerbuan ini, adalah Pemilu Israel yang akan berlangsung pada Februari. Baik Partai Kadima yang kini tengah berkuasa, maupun Partai Likud yang dipimpin oleh Benyamin Netanyahu, sama-sama menjanjikan akan menghabisi Hamas. Intinya, siapa pun boleh memerintah Palestina, asal bukan Hamas.

    Tetapi pilihan ini hanya akan mengulang kegagalan Israel saat menyerbu Lebanon Selatan pada pertengahan 2006 lalu. Bukan hanya Israel gagal menghabisi Hizbullah, demi membebaskan Kopral Gilad Shalit yang hingga hari ini masih ditawan pejuang Palestina. Lebih dari itu, Hizbullah tampil sebagai pahlawan sekaligus kekuatan paramiliter yang diperhitungkan di kawasan konflik tersebut.

    Pada saat sama, citra kekuatan adidaya militer Israel pun rontok. Bahwa Israel yang merupakan salah satu kekuatan militer paling terlatih di dunia, bahkan diyakini kuat mempunyai senjata nuklir, ternyata tak berdaya menghadapi milisi Hizbullah yang bahkan tak dibantu oleh negara mana pun, setidaknya secara resmi. Jika invasi ke Jalur Gaza kali ini gagal menekuk Hamas dan ini kemungkinan yang paling kuat, Israel akan makin tampak pecundang sekaligus musuh bersama bagi perdamaian dunia. Gelombang Intifadah ketiga bisa saja meletus.

    Intifadah II atau yang lebih dikenal dengan Intifadhah Al-Aqsha meledak ketika PM Ariel Sharon memasuki Masjidil Aqsha pada September 2000. Intifadah I atau lebih dikenal dengan Intifadhah Al-Hijarah berkobar ketika tentara Israel membunuh empat pekerja Palestina asal distrik Jabaliyah Desember 1987.

    Memburuknya situasi di Jalur Gaza dalam jangka panjang dapat menciptakan ketidakstabilan baru di kawasan Timur Tengah. Rasa ketidakpercayaan warga Timur Tengah terhadap sikap pemerintahnya yang berpangku tangan dan hanya sibuk menempuh jalur diplomasi akan menimbulkan gejolak dan gelombang protes massal. Selain didorong oleh izzah dan kehormatan Islam, semangat bangsa Arab juga sangat kental mewarnai gejolak itu. Ini akan menjadi gangguan serius bagi pemerintah negara-negara Arab yang umumnya sangat mengutamakan stabilitas dan cenderung monolitik.

    Jika solusi yang ditawarkan oleh pemerintah negara Arab, baik melalui PBB, OKI, ataupun Liga Arab hanya terkesan diplomatik dan basa-basi, letupan-letupan kekecewaan bisa berwujud dalam bentuk yang sulit diduga. Apalagi media Timur Tengah di mana Aljazeera tampil sebagai ikon kini sudah lebih bebas dan berani dibanding satu dasawarsa lalu. Maka, serangan Israel kali ini bagi sebagian pengamat di Timur Tengah menjadi ujian besar bagi mereka, apakah akan bereaksi secara militer, seperti tuntutan warganya, atau tetap konsisten di jalur kata-kata.

    Di dunia internasional, sikap Washington dan Berlin yang memahami serangan Israel ke Jalur Gaza bukan hal baru. Pemerintahan George W Bush selalu sejajar-sebangun dengan kepentingan Israel. PM Jerman, Angela Markel, yang membawa beban berat sejarah Holocaust, setali tiga uang: mustahil mengkritik Israel.

    Obama tak berarti
    Banyak harapan yang disematkan ke pundak Barack Obama, presiden terpilih AS, yang akan dilantik pada bulan ini. Tapi, apalah artinya Obama, itu pun kalau kebijakannya berbeda dengan Bush terhadap Israel, jika harus berhadapan dengan lobi Zionis di Washington yang terkenal ampuh. Apalagi, Obama jauh-jauh hari menyatakan dukungan totalnya terhadap Israel dan menampik hak kembali pengungsi Palestina.

    Memang ada secercah harapan, kebijakan luar negeri AS di masa Obama tidak lagi unilateral. Dengan kata lain, Obama diharapkan bisa lebih mengerti negara lain daripada Bush. Mungkin dengan alasan itu pula Israel harus buru-buru menyerbu Jalur Gaza mumpung situasi belum berubah.

    Dengan situasi regional maupun internasional seperti ini, serangan Israel ke Jalur Gaza dapat dipahami sebagai cermin kepanikan luar biasa Israel terhadap kehadiran Hamas. Hamas personifikasi gerakan Islam yang konsisten memilih jalur perlawanan bersenjata terhadap Israel. Pada saat yang sama gerakan ini mampu memenangkan pemilu dan memimpin Pemerintahan Palestina.

    Kedekatan dan kepedulian para aktivisnya dengan rakyat membuat Hamas makin dicintai. Belum lagi gerakan antikorupsinya dan amal nyata Hamas untuk meringankan penderitaan rakyat Palestina. Inilah yang ditakuti oleh Tel Aviv.

    Israel tak pernah takut terhadap gerakan nasionalis-sekuleris seperti Fatah ataupun PLO yang terkenal korup. Para petinggi Israel tahu betul kelompok nasionalis Palestina lebih betah berdebat di ruang ber-AC daripada memanggul senjata. Ketika meja perundingan menjadi pilihan, giliran PBB, AS, dan negara-negara pendukung Israel lainnya yang menyelesaikan tugasnya untuk membela Israel.

    Ikhtisar:

    - Kepanikan luar biasa membuat Israel menempuh opsi serangan militer meski mereka tahu betul risikonya.
    - Kepanikan cenderung membuat orang kehilangan akal sehat dan kesadaran.
    - Pemerintah Israel tidak sadar sedang berjalan cepat atau lambat menuju pusaranya sendiri.

    Israel Penjahat Perang?


    Suripto
    Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari FPKS dan

    Ketua Komite Nasional untuk Rakyat Palestina



    Palestina? Dengan ketus, Golda Meir--perdana menteri Israel pertama--langsung menjawab, ''Palestina tak ada, sebagai bangsa, apalagi negara.'' Sebuah sikap politik yang penuh kebencian dan merenda sejarah panjang perseteruan dua anak bangsa serumpun: Yahudi versus Palestina, yang menelan korban tak bisa dihitung jumlahnya bagi suku bangsa terjajah (Palestina).

    Kebencian yang pernah dilontarkan Golda Meir dan generasi penerusnya ditindaklanjuti dengan sejumlah tindakan barbaristik yang sangat biadab. Dan, hal ini sudah tak aneh di mata publik internasional.
    Sayangnya, di saat suasana Natal yang sering dikumandangkan dengan pesan-pesan kedamaian ataupun perdamaian di belahan mana pun, Palestina kembali bergolak dengan kejadian yang dikotori dengan mayat-mayat bergelimpangan dan lumuran darah.

    Itulah bombardir Israel ke tengah Gaza selama beberapa hari lalu yang menewaskan ratusan penduduk sipil bangsa Palestina, di samping yang luka-luka berat dan hancur luluhnya berbagai infrastruktur seusai Hari Natal itu.

    Dengan sedih sekaligus memprihatinkan, Natal 2008 'harus kita catat' gagal menciptakan misi kemanusiaan, setidaknya di tengah Palestina, tempat Bunda Maryam melahirkan putranya (Isa AS). Sebuah potret kegagalan yang harusnya membangkitkan semangat kalangan Nasrani di berbagai belahan dunia sebagai individu, komunitas, bahkan negara yang merayakan Natal untuk mengambil prakarsa segera menghentikan agresi yang sangat mengotori spirit kemanusiaan.

    Fakta sungguh paradoks. Sejumlah negara 'Nasrani', termasuk Amerika Serikat, justru menjustifikasi agresi biadab itu. Maka, sangat dimaklumi jika saudara-saudara kita yang cinta kemanusiaan terpaksa harus menunjukkan sikap (kritik pedas) kepada suku utamanya, seperti AS, meski melalui kantor-kantor kedutaan, termasuk di Jakarta.

    Kini, kita perlu buka baju subjektivitas (pro-kontra Israel) yang menggiring tiadanya titik temu solusi. Yang perlu kita soroti tajam, bagaimana menyikapi tindakan zionis yang menelan korban ratusan jiwa, di samping luka-luka parah, apalagi para korbannya kebanyakan kaum sipil (anak-anak dan kaum wanita). Agresi yang dilakukan oleh Israel, dari kacamata apa pun, sulit untuk tidak dikategorikan sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan.

    Realitas menunjukkan bahwa pembombardiran yang dilakukan Israel bukan hanya melampaui batas, tapi sungguh-sungguh biadab, yang tingkat penderitaannya tidak hanya hari ini atau beberapa bulan setelahnya.

    Karena itu, sikap politik dunia yang harus dibangun bukanlah sekadar menggiring dunia (Dewan Keamanan PBB) mengeluarkan resolusi gencatan senjata atau mengutuk, apalagi hanya menyesalkan. Hal ini karena sikap politik Israel bukan hanya mengabaikan suara dunia, tapi jika mengindahkan pun, tidak konsisten. Hal ini tak pernah membuat para pemimpin zionis mengakhiri kebiadabannya. Jika penghentiannya bersifat sesaat, akan selalu diulangi lagi kebiadabannya. Apalagi, kepentingan subjektifnya merasa terancam dan terganggu.

    Belajar dari perangai politik zionis itu kiranya menjadi krusial jika pemimpin Israel--siapa pun yang berkuasa--harus digiring ke statuta hukum yang sangat keras: dinilai sebagai penjahat perang akibat agresi biadabnya. Inilah kategori yang tak pernah diformat dalam kerangka mengakhiri konflik rasial yang berkepanjangan di antara dua anak bangsa serumpun itu hingga kini. Jika kita buka lembaran historis dunia, kategorisasi itu (penjahat perang) relatif mampu mengakhiri konflik etnik. Sekadar contoh faktual yang dapat kita petik dari perang 1992-1995 di Bosnia-Herzegovina, di mana tentara Serbia Bosnia membantai sekitar 8.000 kaum Muslim pada Juli 1995, sebuah peristiwa yang disebut-sebut sebagai pembantaian yang paling mengerikan sejak akhir Perang Dunia II.

    Akibat tindakan pembasmian etnik ini, Pengadilan Militer Internasional di Den Haag memutuskan penjahat perang kepada Milenko Trifunovic, Brano Dzinic, dan Radovan Karadzic (mantan presiden Serbia Bosnia) yang masing-masing dikenai hukuman 42 tahun. Juga, kepada Milos Stupar, Slobodan Jakovljevic, dan Branislav yang masing-masing harus menjalani hukuman selama 40 tahun. Yang perlu digarisbawahi, penyeretan mereka ke meja hijau dan pengenaannya sebagai penjahat perang benar-benar mengakhiri kondisi perang etnik di tengah Serbia Bosnia. Bahkan, akhirnya, bisa hidup berdampingan dengan masyarakat Muslim Bosnia-Herzegovina, sebuah 'komponen' anak bangsa yang sama-sama warga besar bekas negara Yugoslavia.

    Contoh yang masih segar itu kiranya layak diterapkan untuk melihat serangan Israel terhadap anak bangsa Palestina. Namun, dapat diprediksi, negara-negara maju, seperti AS atau dari komponen Eropa, bukan hanya tak sependapat dengan kategorisasi itu, tapi akan melawan gerakan kategorisasi itu, termasuk hak veto jika kondisi politiknya masuk ke ranah Dewan Keamanan PBB. Namun, reaksi subjektif mereka dapat di-counter dengan Konvensi Geneva (KG). Berdasarkan beberapa pasal yang dilahirkan pada 12 Agustus 1949 itu, bombardir Israel 'menabrak' beberapa pasal KG, antara lain Pasal 16 (kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia, termasuk kejahatan agresi), Pasal 17 (kejahatan genosida), Pasal 18 (kejahatan terhadap kemanusiaan), dan Pasal 20 (kejahatan perang). Pasal-pasal ini cukup tepat untuk menjerat para pemimpin atau perancang atau pelaksana dari Israel yang melakukan operasi militer di tengah Gaza itu.

    Jika kita analisis keempat pasal tersebut, fakta politik menunjukkan bahwa negeri zionis sejak berdirinya pada 14 Agustus 1948 hingga kini terus menciptakan ketidakdamaian, terutama kepada bangsa Palestina, baik secara masif maupun sporadis. Sejak pendudukannya pada 1949 di Kota Suci Jerussalem, Israel terus memperluas pendudukannya pada 1967 dengan menguasai seluruh wilayah Palestina, bahkan sampai ke Sinai dan Dataran Tinggi Golan. Kejahatan yang dilakukan Israel terhadap kemanusiaan tak pernah berhenti. Bahkan, pada 1982, ketika berhasil mengepung sebagian wilayah Lebanon selatan, masyarakat Palestina di kamp-kamp Sebra dan Satilla menjadi sasaran pembantaian (genosida) dalam jumlah ribuan jiwa. Jumlah pembantaian etnik ini belum termasuk pembantaian secara militeristik, dalam jarak dekat ataupun jauh seperti yang baru-baru ini dilancarkan. Secara kuantitatif, korban anak bangsa Palestina sudah sulit dihitung.

    Mencermati kejahatan serius Israel itu sungguh tepat memberlakukan keempat pasal KG, apalagi korban yang menjadi sasaran utama serangannya adalah masyarakat sipil. Padahal, menurut Konvensi Geneva IV, jelas-jelas harus dilindungi (the protected persons). Tidak hanya dalam waktu perang (bilateral ataupun konflik internal), tapi dalam waktu damai. Apalagi, keberadaan warga sipil dari sebuah negara yang berbeda mempunyai kedaulatan.

    Sekali lagi, siapa pun dari unsur Israel yang secara aktif berperan dalam memerintahkan perencanaan, persiapan, inisiasi, atau memicu terjadinya sebuah agresi haruslah bertanggung jawab atas kejahatan agresinya, baik sebagai kepala negara maupun aparat yang menjadi pemimpin (leader) atau penyelenggara (organizer). Semua itu harus diseret ke pengadilan militer internasional.

    Kita perlu meneropong, sampai sejauh mana prospek penyeretan para agresor Israel ke meja hijau internasional? Cukup diragukan memang. Landasannya, manusia zionis berada di mana-mana. Mereka, sebagai warga negara atau pemimpin strategis di sejumlah negara maju, memegang peran penting di lembaga-lembaga internasional, termasuk di Mahkamah Internasional atau Pengadilan Militer Internasional. Dan, yang tak kalah strategisnya adalah kekuasaannya di industri media massa. Dalam konteks ini, manusia-manusia zionis sangat berkepentingan untuk melakukan counter terhadap isu Israel sebagai penjahat perang.

    Kini, dunia Islam ataupun masyarakat Muslim di seantero dunia, setidaknya para pecinta kemanusiaan, perlu menggalang sikap: Israel memang penjahat perang. Pembangunan opini ini perlu dikembangkan secara masif-produktif dan diembuskan secara internasional. Misalnya, melalui PBB atau negara-negara maju dengan mengembangkan opini tentang Israel sebagai penjahat perang yang akan dihadapkan pada dilema. Di sisi lain, yang pro-Israel akan menolak kategorisasi itu. Padahal, fakta kebiadaban dengan melakukan kejahatan serius terhadap kemanusiaan sulit dibantah. Hal ini akan membuat sebuah kemungkinan: pemprosesan hukum untuk kejahatan Israel. Targetnya jelas: penghentian nafsu pembantaian etnik (bangsa) tertentu di muka bumi ini, yang memang harus dilindungi. Tanpa penegakan hukum ini (status Israel sebagai penjahat perang) akan terjadi instabilitas di tengah dua negara yang dilanda konflik itu dan menjadi potensi destabilitas dunia. Di sinilah urgensi kesadaran negara-negara adidaya jika sungguh-sungguh menghormati hak-hak kemanusiaan.

    Kini, masyarakat internasional akan menonton, adakah negara-negara maju yang tergerak untuk menyupermasikan jati diri manusia yang harus dihormati atau justru hipokrasi dan terus bermain double standard? Upaya hukum internasional: 'Israel sebagai penjahat perang', akan menjadi kejelasan sikap yang sesungguhnya di antara komitmen kemanusiaan dan hipokrasi itu. Kita tunggu.

    Tiga Strategi Perlawanan Hamas

     

    Siapakah Hamas itu? Begitu gagah berani mereka menghadapi gempuran pasukan Israel dari darat dan udara. Padahal, mesin perang Israel jauh lebih canggih dan lengkap.

    Pertanyaan yang hampir serupa sudah mengemuka pada Januari 2006 ketika Hamas memenangi pemilu legislatif Palestina. Hamas mengalahkan Fatah—faksi terbesar dalam PLO—yang sudah demikian lama berkuasa? Apa kehebatan Hamas sehingga rakyat memberikan suara mereka?

    Hamas meraih 76 dari 132 kursi di parlemen yang diperebutkan dan Fatah 43 kursi. Sisanya direbut partai-partai kecil lainnya, seperti Partai Jalan Tengah, Palestina Independen, dan Badil masing-masing merebut dua kursi, sementara PFLP meraih tiga kursi, sedangkan empat kursi sisanya jatuh ke partai independen lainnya.

    Tiga strategi

    Siapakah mereka? Matthew Levitt dalam bukunya, Hamas: Politics, Charity, and Terrorism in the Service of Jihad, menulis, Hamas yang akronim dari Harakat al-Muqawama al-Islamiya atau Gerakan Perlawanan Islam didirikan pada 14 Desember 1987. Organisasi ini merupakan pengembangan dari Persaudaraan Muslim—yang berpusat di Mesir—cabang Palestina.

    Salah satu pendiri Hamas adalah Sheikh Ahmed Yassin, yang dibunuh Israel pada tanggal 22 Maret 2004.

    Hamas didirikan sebagai bentuk ketidakpuasan terhadap organisasi-organisasi perlawanan Palestina yang lebih dahulu dalam menghadapi Israel. Mereka dinilai lembek dan cenderung kompromistis. Fatah, misalnya, membuka dialog dengan Israel.

    Oleh karena itu, Hamas didirikan dengan tujuan utama menyingkirkan Israel dari peta bumi dan kemudian mendirikan negara Islam di seluruh wilayah yang dulu masuk dalam Mandat Inggris, yakni wilayah yang kini menjadi negara Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza.

    Walaupun dianggap paria dan diberi cap sebagai teroris oleh AS, Israel, dan sejumlah negara Barat, Hamas sangat memesona rakyat Palestina karena strategi perjuangannya.

    Hamas memiliki tiga strategi untuk mendukung tercapainya tujuan perjuangan. Pertama, aktivitas kesejahteraan sosial-ekonomi bagi rakyat untuk membangun dukungan dari rakyat. Kedua, aktivitas politik untuk menandingi PLO yang sekuler dan Otoritas Palestina. Ketiga, melakukan perlawanan bersenjata terhadap Israel, termasuk dengan bom bunuh diri.

    Dengan mengembangkan ketiga strategi itu—terutama yang pertama—mereka mampu meraih simpati dan dukungan rakyat Palestina dalam pemilu.

    Kekuatan Hamas

    Kemenangan Hamas dalam pemilu merupakan bukti bahwa mereka memiliki pijakan kuat di tengah masyarakat. Dominasi mereka di Jalur Gaza pun menegaskan hal itu.

    Karya sosial dan kemasyarakatan mereka di tengah masyarakat Palestina merupakan salah satu daya pemikat dukungan rakyat. Lewat jaringan organisasi yang luas—kalangan ulama, mahasiswa, intelektual, organisasi kemasyarakatan lainnya—mereka mendapatkan dukungan dan legitimasi rakyat.

    Dukungan dalam hal dana, misalnya, mengalir dari sejumlah negara. Mengutip Matthew Levitt, uang dalam jumlah jutaan dollar AS mengalir dari para donatur di Jordania, Qatar, Kuwait, Arab Saudi, Inggris, Jerman, AS, Uni Emirat Arab, Italia, dan Perancis.

    Sejumlah negara Arab pun mendukung Hamas, misalnya Arab Saudi, Iran, Suriah, Lebanon, Libya, Sudan, Yaman, dan Qatar. Dukungan yang mereka berikan bermacam-macam, ada yang berupa dukungan dana, latihan militer, atau menjadi tempat berlindung tokoh-tokoh Hamas yang dikejar-kejar Israel.

    Lalu, mampukah Israel mengalahkan Hamas? Barangkali Israel bisa menghancurkan infrastruktur yang digunakan sebagai alat perjuangannya. Namun, jaringan dan terutama ideologi perlawanan mereka tidak dapat dihancurkan meski mereka tercerai-berai. Hanya saja, itu berarti perdamaian masih sangat jauh. Apalagi Palestina sendiri tidak satu sikap dalam menghadapi Israel. (ias)

     

    Minggu, 04 Januari 2009

    Ancaman Obama untuk Indonesia

    Oleh Saidiman


    Latar belakang Obama sebagai minoritas akan membuatnya lebih bisa menyadari akan adanya keragaman. Masing-masing orang memiliki nalar dan kebajikannya sendiri. Nilai kebenaran tidak pernah tunggal, melainkan beragam. Obama akan lebih mudah merayakan keberagaman, ketimbang mencurigainya. Inilah keistimewaan kalangan minoritas yang berhasil menjadi pemimpin. 

    Artikel ini telah dipublikasikan sebelumnya di Sinar Harapan, 1 Desember 2008 


    Pemerintah Indonesia patut mewaspadai Barack Obama yang berhasil unggul dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, 4 November 2008. Kewaspadaan itu perlu mengingat perbedaan yang mungkin muncul antara cita-cita politik Obama dan haluan kebijakan pemerintah Republik Indonesia. 

    Kemenangan Semua Golongan 

    Memang banyak warga negara Indonesia yang menginginkan senator ini memenangkan pemilihan. Para pendukungnya menganggap Obama akan menjadi presiden yang memperhatikan kepentingan Indonesia dalam politik internasional. Pengalaman pernah tinggal di Indonesia diyakini akan membuka mata Obama tentang realitas masyarakat dunia yang beragam. 

    Dengan pemahaman seperti itu, Obama tampil sebagai kandidat yang mengusung nilai-nilai liberalisme dan pluralisme. Dalam pidato kemenangannya, Obama tigak segan menyapa semua warga Amerika: yang berkulit putih maupun hitam, yang perempuan maupun laki-laki, para agamawan, kaum gay maupun lesbian, para difable, dan seterusnya. “Kita semua adalah warga Amerika Serikat,” tegas Obama. 

    Dengan cara pandang semacam ini, tampak bahwa Obama tidak akan memberi toleransi terhadap praktik-pratik diskriminasi dalam bentuk dan dengan latar belakang apapun. Dia tidak akan mudah melakukan praktik yang sebetulnya selalu menjadi ancaman bagi eksistensinya sebagai kelompok minoritas kulit hitam Amerika. Latar belakang semacam ini penting untuk membangun kesadaran mengenai pluralitas. 

    Yang membedalan pemerintahan Bush dan Obama adalah bahwa Bush menerapkan cara pandang dualisme: di mana dunia di luar Amerika dianggap sebagai objek yang harus diubah sesuai dengan cara pandang masyarakat Amerika. Dunia ini, bagi Bush, harus di”adab”kan, apapun caranya, dan itu adalah sesuatu yang baik. 

    Latar belakang Obama sebagai minoritas akan membuatnya lebih bisa menyadari akan adanya keragaman. Masing-masing orang memiliki nalar dan kebajikannya sendiri. Nilai kebenaran tidak pernah tunggal, melainkan beragam. Obama akan lebih mudah merayakan keberagaman, ketimbang mencurigainya. Inilah keistimewaan kalangan minoritas yang berhasil menjadi pemimpin. 

    Paradigma Diskriminatif Pemerintah Indonesia 

    Terlalu dini jika kemudian kita simpulkan bahwa dengan bekal pengetahuan mengenai realitas Indonesia, Obama kemudian akan mengeluarkan kebijakan yang mendukung kebijakan pemerintah negeri ini. Pemerintah Indonesia justru seharusnya waspada kepada Obama mengingat beberapa kebijakan dalam negeri yang belum sesuai dengan garis haluan cita-cita Obama untuk menghapus diskriminasi. 

    Dalam banyak kasus, Indonesia terlihat belum cukup memuaskan dalam penanganan isu-isu penghapusan diskriminasi. Beberapa kasus besar pelanggaran hak azasi manusia yang melibatkan rezim pemerintah masih terlalu jauh dari penyelesaian: kasus pembantaian anggota PKI 1960-an, represi Orde Baru terhadap kelompok Islam, kekerasan Timor Timur, pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, penculikan dan pembunuhan aktivis di akhir 1990-an, pembunuhan aktivis HAM Munir, kekerasan terhadap kelompok minoritas Ahmadiyah, pemenjaraan dan kekerasan terhadap tokoh-tokoh agama minoritas seperti Lia Eden, Yusman Roy, Madi, dan sebagainya. 

    Pemerintah Indonesia tidak hanya lalai dalam menjamin hak warga negara minoritas untuk hidup dan berekspresi sebagaimana warga negara pada umumnya, pemerintah bahkan tidak mampu membendung semangat untuk memberlakukan pelbagai aturan diskriminatif. Pelbagai peraturan daerah silih berganti muncul untuk membatasi aktivitas warga. Tiga pembantu presiden bahkan menandatangani larangan terhadap penganut ajaran Ahmadiyah untuk menyebarkan keyakinannya. Pemerintah tampak masih sangat tunduk kepada aspirasi kelompok mayoritas tetapi mengabaikan hak-hak minoritas. Dewan Perwakilan Rakyat bahkan mensahkan Rancangan Undang-undang Pornografi yang mendeskreditkan budaya beberapa kelompok masyarakat. 

    Pemerintah Indonesia tidak hanya melakukan pembiaran terhadap praktik-praktik diskriminasi, melainkan juga acapkali terlibat sebagai pelaku diskriminasi itu sendiri. Menangkap orang-orang yang dianggap menyimpang dalam hal keyakinan agama benar-benar adalah bentuk diskriminasi. Sebab paradigma menyimpang hanya berdasar kepada pendapat kelompok mayoritas. Sementara argumentasi dan aspirasi kelompok minoritas tidak mendapat perhatian sama sekali. Dari kacamata minoritas, yang menyimpang justru adalah kelompok mayoritas. 

    Pada aspek pembangunan, pemerintah Indonesia jelas melakukan diskriminasi pembangunan. Pemerintah seolah tertutup pintu hatinya untuk memfokuskan pembangunan pada masyarakat Indonesia bagian Timur yang sejak lama tidak bisa menikmati akses pembangunan. Masyarakat Indonesia bagian Timur dibiarkan tenggelam dalam keterbelakangan dan kebodohan. Akibatnya, seluruh paradigma berpikir pemerintah selalu terpaku pada cara pandang masyarakat Indonesia bagian Barat. 

    Pelbagai kasus diskriminasi ini terjadi karena tidak adanya kesadaran mengenai keragaman. Seolah-olah dunia ini adalah satu dan seragam. Keragaman adalah sesuatu yang benar-benar nyata dan tak mungkin dipungkiri. Adonis, pemikir besar Libanon, mengemukakan bahwa asal muasal keragaman itu ada pada penciptaan awal. Tidak benar, menurut Adonis, penciptaan ini berasal dari sesuatu yang tunggal. Fakta keragaman membuktikan bahwa semuanya berasal dari yang beragam. Keragaman adalah esensi kehidupan. Oleh karenanya, menghargai dan merayakan keragaman adalah sesuatu yang semestinya. Mereka yang ingin memberangus keragaman justru adalah mereka yang ingin keluar dari logika alamiah itu sendiri. 

    Paradigma diskriminatif itu pasti bertolak belakang dengan paradigma yang terus menerus dijadikan bahan utama bagi kampanye Obama. Dengan demikian, jika pemerintah Indonesia tidak mau mengubah paradigma diskriminatifnya, maka bukan simpati Obama yang akan datang, melainkan ancaman. 

    Selamat datang, Obama! 

    Menyikapi Konflik Hamas-Israel

    Oleh Mohamad Guntur Romli 

    Kita juga menjumpai adanya kemunduran pada posisi Hamas yang menguasai Jalur Gaza saat ini, yang beberapa tahun sebelum ini menjanjikan harapan dan perubahan bagi dunia internasional dengan mengikuti pemilu dan meninggalkan pendekatan senjata dalam menyelesaikan konflik dengan Israel. Namun, karena perpecahan internal di Palestina, khususnya Hamas dengan kelompok Fatah, Hamas seolah-olah kembali ke habitatnya yang semula. Ke depan, Hamas perlu kembali pada jalur: jihad diplomatik dan perundingan untuk meraih kembali dukungan dunia internasional. 

    Artikel ini sebelumnya telah dimuat di Kompas, Rabu, 31 Desember 2008 

    Sampai tiga hari serangan militer Israel ke jalur Gaza telah tewas 350 orang lebih dan 1.000 orang luka-luka. Tak hanya penduduk Palestina yang banyak mati syahid, serangan militer Israel yang membabi buta itu juga menghancurkan fasilitas-fasilitas publik: universitas, masjid, rumah sakit, dan lain-lain. Dunia internasional mengecam dan mengutuk tindakan brutal militer Israel itu. 

    Konflik antara Hamas dan Israel ini lahir akibat dari kebuntuan politik dalam mencari solusi ke depan. Gagalnya perpanjangan gencatan senjata dua pekan sebelum ini antara Israel dan Hamas menjadi pemantik konflik ini. Kedua belah pihak saling tuding pihak mana yang mengawali konflik ini. Bagi Israel, Hamas-lah yang telah mengirimkan roket-roket yang menyerang permukiman sipil Israel. Namun, bagi Hamas, Israel-lah yang telah melanggar kesepakatan genjatan senjata sehingga Hamas tidak ingin memperpanjang kesepakatan itu. 

    Apa pun persoalannya, tindakan Israel yang menyerang Gaza kali ini tidak bisa dibenarkan sama sekali. Apa yang disebut sebagai ”tindakan membela diri” hanyalah dalih bagi pihak militer Israel untuk menyerang Palestina yang tujuannya meruntuhkan rezim Hamas di Gaza. Cara ini hanya didukung oleh kelompok elite konservatif dan militer di Israel yang masih percaya bahwa dengan pencaplokan dan serangan militer, keamanan bagi rakyatnya bisa dijaga. 

    Masih segar dalam ingatan kita, pada medio 2006, ketika ditengarai ada delapan serdadu Israel terbunuh dan dua serdadu ditawan di perbatasan Lebanon selatan oleh tentara Hizbullah, Israel malah melancarkan se- rangan membabi buta, meng- hancurkan kota-kota di Lebanon, khususnya Beirut, dan mene- waskan 1.000 orang lebih. 

    Pihak militer Israel dalam posisi sewenang-wenang merasa di atas hukum nurani kemanusiaan dan hukum-hukum internasional. Setiap kali Israel terdesak oleh kesepakatan damai, salah satu strategi yang ia lancarkan adalah melakukan penyerangan dan kekerasan sehingga pihak Palestina lupa akan tuntutan-tuntutan terhadap Israel tersebut dan terpaksa berhenti pada genjatan senjata saja. 

    Semakin lemah 

    Menyikapi hal ini, rakyat Palestina membutuhkan hukum internasional yang terbaru untuk menekan pihak Israel. Hukum tersebut harus berbeda dari hukum-hukum internasional sebelum ini yang tidak bisa efektif dan koersif terhadap Israel. Tentu saja hukum internasional ini belum tentu langsung berhasil, tetapi kalau tidak dilakukan, itu hanya akan terus memperkuat apatisme. Kegagalan sebelum ini tak bisa dijadikan alasan untuk terus apatis, tetapi dijadikan sebagai pelajaran agar tidak kembali gagal. 

    Pada konteks yang lain, rakyat Palestina saat ini, baik yang ada di Jalur Gaza maupun Tepi Barat, seperti dalam tawanan pihak-pihak yang berkuasa, baik Fatah maupun Hamas. Adanya perpecahan antara Fatah dan Hamas sejak tahun 2007 membuat posisi Palestina semakin lemah di hadapan Israel. 

    Menyikapi serangan Israel terhadap Gaza kali ini pun, pihak PLO dan Otoritas Palestina di bawah kepemimpinan Mahmoud Abbas hanya berpangku tangan dan menyalahkan Hamas. PLO dan Otoritas Palestina tidak bisa bekerja dengan efektif karena dikuasai kelompok Fatah yang korup sehingga tidak bisa mengontrol perkembangan yang ada di Gaza yang dikuasai kelompok Hamas. 

    Adanya persaingan Ismail Haniyah, perdana menteri versi Hamas, dengan Mahmoud Abbas, Presiden Otoritas Palestina, yang berujung pada penggusuran posisi Ismail Haniyah dan meng- gantinya dengan Salam Fayyad—meskipun dari pihak independen dan profesional—tetap tidak bisa mengendalikan situasi di Palestina. 

    Hal yang mendesak dilakukan adalah kelompok-kelompok yang bertikai di Palestina, mulai dari Fatah, Hamas, hingga Jihad Islami, segera berkumpul dan berunding. Perpecahan di antara mereka hanya memperlemah posisi Palestina dan menguatkan posisi lawan. Lembaga Otoritas Palestina dan PLO juga perlu di- kembalikan pada fungsinya dan dihormati keberadaannya. Fatah tidak bisa secara otoriter ingin menguasai dua lembaga ini yang bisa berkomunikasi dengan dunia internasional. Menutup akses ini pada Hamas—yang telah lama diboikot dunia internasional—akan membuat Hamas bertindak sendiri dan merugikan pihak Palestina. 

    Jihad diplomatik 

    Kita juga menjumpai adanya kemunduran pada posisi Hamas yang menguasai Jalur Gaza saat ini, yang beberapa tahun sebelum ini menjanjikan harapan dan perubahan bagi dunia internasional dengan mengikuti pemilu dan meninggalkan pendekatan senjata dalam menyelesaikan konflik dengan Israel. Namun, karena perpecahan internal di Palestina, khususnya Hamas dengan kelompok Fatah, Hamas seolah-olah kembali ke habitatnya yang semula. Ke depan, Hamas perlu kembali pada jalur: jihad diplomatik dan perundingan untuk meraih kembali dukungan dunia internasional. 

    Sikap Hamas yang semakin keras justru akan membuat posisinya semakin terkucil meskipun mengucilkan Hamas adalah tindakan pengecut karena tidak memiliki keberanian untuk menekan Israel yang lebih kuat dan brutal. Sikap pengucilan ini akan semakin membuat pendukung Hamas kehilangan diri dan harapan sehingga konflik di sana akan semakin berkepanjangan. Jika hal ini terus terjadi, berarti kita telah membiarkan kekuatan rasional dan diplomatik kalah di hadapan kekuatan emosional yang destruktif. 

    Oleh karena itu, menyikapi konflik yang ada di Jalur Gaza sekarang ini, rakyat Palestina memerlukan selain bantuan-bantuan kemanusiaan, yang lebih penting adalah dukungan publik dunia internasional untuk menekan Israel. Bukan bantuan ”relawan jihad” karena para pejuang Palestina sangat tangguh, berani, dan berpengalaman. Sembari memberikan dukungan itu, kita perlu membantu dan mendorong agar pihak-pihak yang pecah di Palestina—dari Fatah, Hamas, hingga Jihad Islami—berkumpul, berunding, dan mencari kesepakatan agar barisan rakyat Palestina kukuh dan tidak mudah tercerai-berai menghadapi serangan kaum konservatif Israel. 

    Konflik Israel dan Hamas yang Melelahkan


    luki aulia


    Geregetan dengan serangan roket dan mortir yang tidak kunjung berakhir dari Jalur Gaza, militer Israel menyerang balik melalui udara sejak 27 Desember 2008. Hingga hari kedelapan, operasi militer yang tidak imbang itu mengakibatkan 424 orang tewas (sekitar 60 warga sipil) dan 2.098 orang terluka serta menghancurkan sekitar 500 infrastruktur Hamas.

    Berbeda dengan pengalaman saat menghadapi kelompok gerilyawan Hezbollah di Lebanon pada tahun 2006, serangan Israel kali ini lebih terencana, tepat sasaran, dan tujuannya lebih realistis. Ketika menyerang Hezbollah dua tahun lalu, Israel kelabakan karena ternyata Hezbollah kuat bertahan hingga konflik sengit selama 34 hari itu berakhir. Bahkan, Hezbollah justru menguat secara politis di Lebanon.

    Menurut harian Los Angeles Times, intelijen Israel telah menyusun ”daftar target” serangan selama dua tahun. Dalam daftar itu tercantum lokasi-lokasi yang dianggap penting dan strategis oleh kelompok Hamas.

    Tempat strategis itu antara lain terowongan bawah tanah yang digunakan sebagai sarana penyelundupan, gedung parlemen, masjid, rumah persembunyian Hamas, gudang penyimpanan senjata, kamp pelatihan, kantor polisi, dan markas intelijen Hamas.

    Meski tepat sasaran, serangan militer Israel itu jelas tidak berimbang. Tembakan roket dan mortir Hamas di Gaza dibalas dengan bom-bom Israel yang kekuatannya jauh lebih dahsyat.

    Untuk meminimalisasi korban warga sipil, militer Israel mengaku telah sering memberikan peringatan dini kepada penduduk Gaza. Kadang-kadang peringatan itu disampaikan melalui telepon dari rumah ke rumah. Terkadang juga dengan menggunakan tembakan bom suara dengan harapan warga Gaza akan segera berlindung sebelum Israel menyerang. Pesawat-pesawat tempur Israel juga menjatuhkan pamflet dan brosur yang mencantumkan nomor telepon dan alamat e-mail yang digunakan militer Israel.

    Harapannya, masyarakat Gaza akan memberikan informasi lokasi-lokasi persembunyian ”regu tembak” yang bertugas menembakkan roket dan mortir ke Israel. Taktik ini pernah dipakai Israel ketika berhadapan dengan Hezbollah di Lebanon.

    Pengamat politik di Shalem Center, Jerusalem, Michael Oren, dalam jurnal The Christian Science Monitor mengatakan, Israel telah banyak belajar dari pengalaman di Lebanon. Israel memilih ”cara aman” dengan mengatakan serangan ke Gaza itu semata-mata untuk menghentikan serangan roket dan mortir Hamas serta memulihkan situasi keamanan di wilayah Gaza dan Israel selatan.

    Sebelumnya, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert juga berkali-kali menegaskan Israel sama sekali tidak berniat menduduki ataupun menggulingkan kekuasaan Hamas. ”Ia sadar langkah itu tidak populer secara politis. Dua tahun lalu, Israel gembar-gembor melucuti senjata, menggulingkan bahkan menghancurkan Hezbollah, tetapi tidak terjadi,” ujarnya.

    Membuktikan diri

    Meski tidak berniat menggulingkan Hamas, Israel tetap menjanjikan operasi militer total. Selain melalui udara, Israel juga telah siap menyerang dari darat dengan mengerahkan ribuan tentara dan puluhan tank yang kini disiagakan di sepanjang perbatasan Israel-Gaza. Mengingat pengalaman di Lebanon, serangan udara Israel ternyata tidak mampu menghentikan tembakan-tembakan roket Hezbollah ke Israel.

    Para pengamat juga ragu operasi darat itu akan benar-benar dilaksanakan mengingat risiko yang terlalu besar. Jumlah korban warga sipil dan tentara Israel dipastikan membengkak. Jika ini terjadi, Israel juga akan semakin tertekan oleh kecaman komunitas internasional yang mendesak kedua belah pihak segera menyepakati gencatan senjata yang baru.

    Namun bagi sebagian pengamat yang lain, Israel tidak mempunyai pilihan lain selain melaksanakan misi operasi militer darat itu. Tidak harus dalam bentuk operasi militer. Israel disebut hanya perlu membuktikan kepada musuhnya bahwa Israel masih memiliki kekuatan militer terbesar dan paling ditakuti di Timur Tengah. Apalagi mengingat kekalahan Israel di Lebanon.

    Dengan menyerang Hamas, Israel berharap kekuatan Hamas melemah. Israel juga berharap akan ada kesepakatan gencatan senjata baru menggantikan kesepakatan lama berlaku enam bulan dan berakhir 19 Desember 2008. Namun, Israel tidak akan menyepakati gencatan senjata baru jika tidak ada keterlibatan tim pemantau dari komunitas internasional. Tim itu harus mengawasi pelaksanaan kesepakatan tersebut.

    Israel menganggap Hamas melanggar kesepakatan dengan tidak menghentikan serangan roket dan mortir. Sebaliknya, Hamas menuding Israel tidak mematuhi kesepakatan karena masih memblokir Gaza dan menutup penyeberangan. Akibat pemblokiran itu, rakyat Gaza menderita karena kesulitan mendapatkan kebutuhan utama sehari-hari seperti makanan dan bahan bakar, terutama solar yang penting bagi pembangkit tenaga listrik diesel di Gaza.

    Menjawab ”tantangan” Israel, Hamas bertekad akan melawan Israel hingga embusan napas yang terakhir. Hingga saat ini Hamas masih menembakkan roket ke Israel untuk menjawab serangan bom Israel. Ini disesali Mesir yang selama ini menjadi mediator dalam kesepakatan gencatan senjata kedua pihak.

    Menteri Luar Negeri Mesir Ahmed Aboul Gheit menegaskan, jika ingin menghentikan serangan Israel, Hamas mau tak mau harus menghentikan serangan roketnya. Pasalnya, tembakan roket itulah yang menjadi pembenaran bagi Israel untuk menyerang Jalur Gaza. ”Kami harap Hamas bersedia menghentikan semua tembakan roketnya. Namun harus diingat, meski Hamas setuju, kemungkinan masih ada kelompok bersenjata lain yang tetap menembakkan roketnya. Ini yang akan menyulitkan proses negosiasi,” ujarnya.

    Isu politik

    Keputusan Israel menyerang Gaza dipicu serangan roket Hamas. Namun, serangan itu dicurigai bermuatan politis karena pelaksanaannya berdekatan dengan pemilihan parlemen Israel pada 10 Februari 2009. Harian The Chicago Tribune menyebutkan, popularitas PM Olmert, Menteri Pertahanan Ehud Barak, dan Menlu Tzipi Livni melejit karena serangan ke Gaza. Ketiganya didesak rakyat Israel segera membalas serangan roket Hamas. Karena musim kampanye pemilihan sudah dekat, ketiganya memutuskan mulai menyerang Gaza setelah mendapat restu dari kabinet Israel.

    Pakar politik di Hebrew University of Jerusalem, Reuven Hazan, menyatakan, Olmert jelas memiliki tujuan lain untuk kepentingannya sendiri, yakni memulihkan citranya yang tercoreng akibat skandal korupsi dan kegagalan perang di Lebanon. ”Olmert tak mau mengakhiri kekuasaannya dengan predikat orang gagal. Ia hanya ingin menyelamatkan citranya,” ujarnya.

    Sementara itu, Barak (Ketua Partai Buruh) dan Livni (Ketua Partai Kadima) yang akan berhadapan dengan Ketua Partai Likud Benjamin Netanyahu pada saat pemilihan tak mau terlihat sebagai pejabat yang pasif dan tak sanggup berbuat apa- apa terhadap serangan roket dari Gaza. Jika ini terjadi, kata Hazan, Netanyahu dipastikan akan memenangi pemilihan. Dengan serangan Israel ke Gaza selama tujuh hari terakhir, popularitas Barak dan Livni terbukti melejit. Apalagi sebelumnya Livni dianggap tak memiliki pengalaman yang cukup untuk menjadi seorang PM.

    Namun, tetap saja bagi para pengamat politik, serangan ke Gaza itu sama halnya dengan judi tingkat tinggi. Jika operasi militer di darat tak berhasil atau serangan roket Hamas tak juga berhenti, dukungan rakyat Israel akan menguap dengan cepat. Begitu pula dengan popularitas Barak, Livni, dan Olmert.

    Sabtu, 03 Januari 2009

    Palestina Pascaagresi Israel

    Oleh Azyumardi Azra

    Aksi militer Israel menjelang dan awal tahun baru 2009 merupakan serangan terbesar Israel dengan jumlah korban terbanyak dalam dasawarsa terakhir. Serangan Israel yang membabi buta kali ini merupakan salah satu puncak dari rangkaian upaya Israel untuk menghancurkan Hamas (Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah, Gerakan Perlawanan Islam) sejak organisasi ini terbentuk pada 14 Desember 1987.

    Israel dengan leluasa melancarkan aksi brutalnya antara lain karena perpecahan yang terus berlanjut di dalam tubuh bangsa Palestina, khususnya antara Hamas dan Al-Fatah, faksi Palestina warisan Yasser Afarat yang pernah begitu dominan sampai dikalahkan Hamas dalam Pemilu Legislatif Palestina pada 25 Januari 2006. Namun, pemerintahan Hamas tidak pernah bisa efektif, bukan hanya karena perpecahan yang akut di antara bangsa Palestina, melainkan juga karena Amerika Serikat dan banyak kalangan Barat lainnya menolak mengakui pemerintahan Hamas. Perpecahan di antara kedua faksi Palestina mencapai puncaknya ketika Hamas mengambil alih kekuasaan di Jalur Gaza pada Juni 2007.

    Kekuatan Hamas

    Akankah riwayat Hamas tamat dengan kekerasan Israel terakhir ini? Jika Israel menganggap begitu, pastilah sia-sia. Pengalaman menunjukkan, berbagai tindakan kekerasan Israel terhadap Hamas khususnya gagal menamatkan perlawanan Palestina. Pada 1992 militer Israel misalnya melakukan ”cuci bersih” terhadap apa yang mereka sebut sebagai ”fundamentalisme agama” dengan mengasingkan sekitar 400 pemimpin dan intelektual Hamas ke sebuah puncak bukit di Lebanon selatan. Selanjutnya, pada 22 Maret 2004 militer Israel atas perintah PM Ariel Sharon berhasil membunuh pendiri dan pemimpin Hamas di Gaza, Syaikh Ahman Yassin. Penggantinya, Dr Abd al-Aziz Rantisi, juga dibunuh Israel pada 17 April 2004.

    Dengan tewasnya kedua pemimpin utama ini, Israel menganggap Hamas sudah lumpuh, lalu menarik tentaranya dari Jalur Gaza sejak 15 Agustus 2005 sampai 12 September 2005, menandai berakhirnya pendudukan Israel di kawasan Palestina ini selama 38 tahun. Namun, Israel salah hitung. Sebaliknya, Hamas mampu mengonsolidasikan diri, seperti terlihat dalam kemenangannya pada pemilu 25 Januari 2006.

    Di mana letak rahasia ketahanan dan kemampuan Hamas dalam menghadapi Israel sekaligus menjadi alternatif bagi bangsa Palestina selain Al-Fatah? Jawabannya, Hamas lebih daripada organisasi militer, tetapi merupakan sebuah organisasi yang cukup kompleks. Sayap militer yang dikenal sebagai Brigade Izz al-Din al-Qassam hanyalah bagian kecil dari organisasi Hamas. Selebihnya, Hamas merupakan jaringan berbagai organisasi lain yang mencakup asosiasi mahasiswa (Kutla Islamiyyah), lembaga-lembaga pelayanan sosial (al-Mujamma al-Islami), Universitas Islam Gaza (al-Jami’ah al-Islamiyyah), bank Islam (bayt al-mal), dan Partai Penyelamatan Islam Nasional. Dipimpin ulama, intelektual, dan kaum terdidik lainnya, jaringan Hamas memberikan berbagai bentuk pelayanan sosial-ekonomi dan bantuan hukum kepada masyarakat Palestina, khususnya yang berada di Jalur Gaza yang berpenduduk 1,2 juta jiwa.

    Berkat berbagai jaringan sosial seperti itulah Hamas memperoleh legitimasi dan dukungan meluas dari banyak kalangan masyarakat Palestina. Para anggota dan pendukungnya terutama datang dari kelas menengah bawah dan pekerja yang umumnya terekrut melalui jaringan pelayanan sosialnya. Meski kepemimpinan Hamas umumnya adalah ulama dan kaum intelektual serta teknokrat, ideologi keagamaan organisasi ini pada dasarnya konservatif dan karena itu tidak cocok dengan ideologi nasionalisme sekuler yang diusung Al-Fatah.

    Karena itu, pernyataan Presiden AS George W Bush bahwa Hamas adalah ”organisasi teroris” memperlihatkan bias politik pro-Israelnya. Seperti dikemukakan Alastair Crooke dari Conflict Forum London dalam pengantarnya untuk buku karya Azzam Tamimi, Hamas: Unwritten Chapter (2007), adalah keliru menganggap Hamas sebagai ”organisasi teroris”—sama dengan Al Qaeda misalnya. Menurut Crooke, Hamas mestilah dilihat tidak hanya secara militer, tetapi juga secara intelektual dan sosial.

    Perdamaian kian jauh

    Aksi kekerasan Israel terakhir sekarang ini jelas membuat perdamaian kian menjauh di Palestina dan bahkan juga dapat mengancam keamanan Israel sendiri. Konflik dan kekerasan antara Israel dan Hamas kembali menjadi war of attrition, perang ketahanan semangat, yang sangat melelahkan dan dapat membuat kian banyaknya jatuh korban sepanjang perjalanan waktu.

    Palestina pascaserangan militer Israel, pada satu pihak dapat mendorong bangkitnya kembali perlawanan masyarakat Palestina dalam bentuk intifadah III. Seperti terlihat dalam intifadah I (1987-1989) dan intifadah II (2000-2001). Melalui jaringan pelayanan sosialnya yang luas, Hamas dapat membangkitkan intifadah baru yang melibatkan masyarakat sipil Palestina.

    Selain itu, proses radikalisasi dalam bentuk pengeboman bunuh diri (suicide bombing) dapat marak kembali. Bom bunuh diri warga Palestina telah terjadi sekitar 120 kali (termasuk 10 pengebom bunuh diri perempuan) dengan menewaskan 652 warga Israel dan melukai 2.267 lainnya.

    Mengantisipasi skenario yang mencemaskan itu, tak bisa lain kuasa-kuasa dunia semacam PBB, AS, dan Uni Eropa meningkatkan tekanan terhadap Israel untuk segera menghentikan operasi militernya dan kembali secara serius mengusahakan perdamaian. Berlanjutnya kekerasan dalam konflik Israel-Palestina dapat melimpah ke bagian-bagian dunia lain, yang dilakukan atas nama solidaritas terhadap Palestina.

    Pada saat yang sama, bangsa Palestina sendiri harus berusaha saling kompromi/akomodasi demi menyelamatkan warga mereka sendiri. Selama para pemimpin Palestina tetap terpecah belah, bisa dipastikan kenestapaan warga mereka terus berlanjut pula.

    Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota World Economic Forum’s Global Agenda Council on the West-Islam Dialogue, Swiss.