Kamis, 08 Januari 2009

Brutalisme Zionisme dan Dunia Arab yang Lumpuh



Oleh Ahmad Sjafii Maarif

31 Desember, hari yang paling ujung di tahun 2008. Dalam perjalanan pagi ke RS Dr Sardjito untuk keperluan kontrol dan general check-up atas kebaikan dan saran direktur keuangannya, Ichsan Abbas; dalam menyupir, saya berdoa sambil menangis, ''Ya Allah, turunkanlah keadilan-Mu untuk menolong rakyat Palestina yang sudah sangat-sangat dizalimi.''

Brutalitas zionisme sudah berlaku puluhan kali, puluhan tahun. Dunia tidak berdaya, kemanusiaan seolah tak peduli. Seperti tak ada lagi kekuatan duniawi yang bisa menghalangi kejahatan genosida itu. Cita-cita kemerdekaan Palestina telah ditempuh melalui jalan panjang, sarat dengan penderitaan dan pengorbanan yang nyaris tanpa batas. Tetapi, apakah rakyat Palestina pada akhirnya harus musnah dari muka bumi di tangan zionisme?

Saya tidak pernah percaya kemusnahan itu akan terjadi karena Allah tidak tidur. Pada saatnya, Dia pasti bertindak, sekalipun dunia Arab seakan telah mati rasa, hampir tidak punya solidaritas yang bermakna historis lagi. Brutalitas Israel, sebuah negara kecil yang dimanja Amerika, pada suatu hari, rasanya tidak terlalu lama lagi, akan dihentikan oleh kekuatan kemanusiaan sejagat dan akan dipaksa untuk menerima kemerdekaan Palestina. Penindasan tidak pernah berlangsung abadi dalam sejarah manusia. Pasti akan muncul kekuatan tak terduga untuk menghentikannya.

Dunia Arab memang dalam keadaan tak berdaya, sekalipun masih sering terlihat sibuk dengan berbagai pertemuan puncak, aksi yang efektif untuk membela kemerdekaan Palestina tidak dilakukan. Iran pun lebih banyak mengumbar retorika ancaman terhadap Israel untuk mengukuhkan pengaruhnya di kawasan Teluk. Tindakan nyata tidak juga dilakukannya.

Dalam pada itu, PBB yang punya mandat untuk menghentikan perang dan kekerasan demi perdamaian dunia sudah lama jadi macan ompong. Saya yang mengikuti agak intensif masalah Palestina ini hanyalah mampu berdoa dari kejauhan, semoga Allah berkenan mendengarnya. Janganlah kiranya kelumpuhan dunia Arab sampai menyebabkan Allah menurunkan siksanya atas semua yang belum sadar ini. Sekalipun keadilan tertindas suatu waktu, dunia akan menjadi gelap gulita tanpa sinar keadilan.

Kepercayaan saya terhadap dunia Arab memang semakin tipis. Terutama yang kaya, tetapi tidak serius membela Palestina, terlepas dari fakta bahwa rakyat Palestina pun terbelah dua. Kompleks memang masalahnya, tetapi kezaliman Israel atas mereka tidak boleh berlangsung lebih lama lagi. Palestina harus merdeka dalam tempo dekat.

Intuisi saya mengatakan, kemerdekaan itu tidak mungkin dibendung oleh kekuatan nuklir sekalipun. Tanpa keadilan dan kemerdekaan Palestina, negara zionis yang kejam itu pasti tidak akan pernah aman. Amerika sebagai cukong Israel pada akhirnya tidak punya pilihan lain, kecuali secara konkret mendukung terwujudnya sebuah Palestina merdeka.

Janganlah mengira bombardir pasukan Israel di Jalur Gaza akan membunuh cita-cita kemerdekaan mereka. Hasrat kemerdekaan manusia tidak bisa dikubur untuk selama-lamanya. Ini seakan telah menjadi ''hukum besi'' dalam sejarah.

Jika dunia Arab lumpuh, bangsa-bangsa Muslim yang lain idem ditto, tidak banyak yang telah dilakukan. Mereka sarat dengan masalah domestik yang tidak habis-habisnya. Energi mereka juga terkuras oleh pertentangan faksi radikal dengan faksi moderat. Ada demo dan protes di sana-sini, tetapi tak satu pun yang efektif untuk menghajar kebiadaban zionisme.

Hamas muncul karena Al-Fatah dinilai semakin tidak berwibawa. Terlepas dari apa pun corak ideologi politik yang ditawarkannya, Hamas adalah manifestasi dari cita-cita kemerdekaan manusia yang tertindas sekian lama. Kemenangannya dalam pemilu di kawasan Gaza tidak lain karena rakyat Palestina tidak mau ditipu lebih lama. Janji-janji Amerika dan Pemerintah Israel untuk kemerdekaan Palestina adalah dusta belaka.

Kesaksian Uri Avnery, seorang pejuang Yahudi pembela kemerdekaan Palestina, patut dicatat. Ia tidak punya kepercayaan lagi bahwa pemerintah zionis yang didukung Amerika akan rela melihat kemerdekaan itu pada suatu hari. Tetapi, Avnery punya keyakinan lain: Palestina pasti merdeka. Itulah yang mendorongnya untuk terus bersuara lantang. Dituduh sebagai pengkhianat oleh pemerintahnya, tidak dihiraukannya.

Dalam usia 85 tahun, Avnery belum menampakkan kelelahan dalam membela hak kemerdekaan Palestina. Dia adalah penulis tetap dalam The Palestinian Chronicle, salah satu media yang digunakannya untuk terus bersuara bersama para pejuang pena Palestina. Kita sungguh berharap, Avnery akan sempat juga menyaksikan detik kemerdekaan bangsa yang dibelanya itu.

Dalam perkembangan terakhir, Avnery tidak lagi sendirian. Rakyat Israel yang anti-zionisme semakin banyak bermunculan. Mereka sudah tidak tahan menyaksikan politik pemerintahnya yang anti-kemanusiaan, pro-kebiadaban. Di mata mereka, meneruskan politik kepala batu zionis akan berakibat fatal bagi masa depan Israel. Zionisme adalah imperialisme yang pasti segera masuk ke dalam museum sejarah.

Kita menyertai keyakinan ini. Harapan tidak boleh padam, kemerdekaan Palestina pasti akan menjadi kenyataan dalam tempo yang tidak terlalu lama lagi. Doa kita yang tulus jangan sampai berhenti. Kekuatan doa bukan sesuatu yang enteng. ''Ya Allah, turunkanlah keadilan-Mu untuk mempercepat proses kemerdekaan Palestina di tengah-tengah kelumpuhan dunia Arab untuk berbuat sesuatu yang berarti. Amin.''

Tidak ada komentar: