Kamis, 08 Januari 2009

Invasi Gaza, Cermin Kepanikan Israel

M Nurkholis Ridwan
Associate Member The Fatwa Center

Sulit memperkirakan seberapa buruk situasi di Jalur Gaza pada hari-hari mendatang. Hingga artikel ini ditulis, tak kurang dari 400 orang tewas dan lebih dari 2.000 warga sipil luka-luka serius akibat serangan udara penjajah Israel, jumlah yang sepertinya akan terus melonjak.

Bukan hanya karena tak ada tanda-tanda invasi Israel ke salah satu wilayah terpadat di dunia ini akan berakhir, tapi juga karena militer Israel telah mempersiapkan serbuan ini jauh-jauh hari. Sumber resmi militer Israel menyatakan fase gencatan senjata selama enam bulan yang berakhir pertengahan Desember lalu dimanfaatkan dengan baik untuk menghimpun data intelijen tentang kekuatan Hamas dan melacak tempat persembunyian para petingginya. Selain itu, Menteri Pertahanan Israel Ehud Barak juga telah merilis kesiapan pasukannya untuk menyerbu lewat jalur darat guna melengkapi serangan udara yang masih dalam hitungan hari.

Mengapa Israel mengejutkan dunia dengan melancarkan serangan terhadap Jalur Gaza di penghujung 2008? Jawaban resminya sebagaimana dinyatakan oleh Menteri Luar Negeri Israel yang juga Ketua Partai Kadima, Tsivi Livni, tentu saja untuk menghabisi partai berkuasa Palestina, Hamas. Tapi, secara logika sederhana yang tentu saja dipahami baik oleh Israel, mana mungkin militansi sebuah gerakan yang mengakar kuat di hati rakyat Palestina, khususnya di Jalur Gaza, dapat dihabisi hanya dengan hantaman bom, roket, ataupun hujan peluru?

Sejarah berulang-ulang bersaksi, menghabisi militansi dengan kekerasan hanya akan makin meneguhkan militansi tersebut. Hamas akan menjadi pahlawan. Dunia pun menonton pentas pertarungan antara David dan Goliat. Negara-negara Eropa buru-buru berembuk membujuk Israel menghentikan serangannya. Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown, bahkan sempat menelepon PM Israel, Ehud Olmert, agar menghargai HAM dan menyetop invasinya.

Analisis lainnya, tentang alasan di balik penyerbuan ini, adalah Pemilu Israel yang akan berlangsung pada Februari. Baik Partai Kadima yang kini tengah berkuasa, maupun Partai Likud yang dipimpin oleh Benyamin Netanyahu, sama-sama menjanjikan akan menghabisi Hamas. Intinya, siapa pun boleh memerintah Palestina, asal bukan Hamas.

Tetapi pilihan ini hanya akan mengulang kegagalan Israel saat menyerbu Lebanon Selatan pada pertengahan 2006 lalu. Bukan hanya Israel gagal menghabisi Hizbullah, demi membebaskan Kopral Gilad Shalit yang hingga hari ini masih ditawan pejuang Palestina. Lebih dari itu, Hizbullah tampil sebagai pahlawan sekaligus kekuatan paramiliter yang diperhitungkan di kawasan konflik tersebut.

Pada saat sama, citra kekuatan adidaya militer Israel pun rontok. Bahwa Israel yang merupakan salah satu kekuatan militer paling terlatih di dunia, bahkan diyakini kuat mempunyai senjata nuklir, ternyata tak berdaya menghadapi milisi Hizbullah yang bahkan tak dibantu oleh negara mana pun, setidaknya secara resmi. Jika invasi ke Jalur Gaza kali ini gagal menekuk Hamas dan ini kemungkinan yang paling kuat, Israel akan makin tampak pecundang sekaligus musuh bersama bagi perdamaian dunia. Gelombang Intifadah ketiga bisa saja meletus.

Intifadah II atau yang lebih dikenal dengan Intifadhah Al-Aqsha meledak ketika PM Ariel Sharon memasuki Masjidil Aqsha pada September 2000. Intifadah I atau lebih dikenal dengan Intifadhah Al-Hijarah berkobar ketika tentara Israel membunuh empat pekerja Palestina asal distrik Jabaliyah Desember 1987.

Memburuknya situasi di Jalur Gaza dalam jangka panjang dapat menciptakan ketidakstabilan baru di kawasan Timur Tengah. Rasa ketidakpercayaan warga Timur Tengah terhadap sikap pemerintahnya yang berpangku tangan dan hanya sibuk menempuh jalur diplomasi akan menimbulkan gejolak dan gelombang protes massal. Selain didorong oleh izzah dan kehormatan Islam, semangat bangsa Arab juga sangat kental mewarnai gejolak itu. Ini akan menjadi gangguan serius bagi pemerintah negara-negara Arab yang umumnya sangat mengutamakan stabilitas dan cenderung monolitik.

Jika solusi yang ditawarkan oleh pemerintah negara Arab, baik melalui PBB, OKI, ataupun Liga Arab hanya terkesan diplomatik dan basa-basi, letupan-letupan kekecewaan bisa berwujud dalam bentuk yang sulit diduga. Apalagi media Timur Tengah di mana Aljazeera tampil sebagai ikon kini sudah lebih bebas dan berani dibanding satu dasawarsa lalu. Maka, serangan Israel kali ini bagi sebagian pengamat di Timur Tengah menjadi ujian besar bagi mereka, apakah akan bereaksi secara militer, seperti tuntutan warganya, atau tetap konsisten di jalur kata-kata.

Di dunia internasional, sikap Washington dan Berlin yang memahami serangan Israel ke Jalur Gaza bukan hal baru. Pemerintahan George W Bush selalu sejajar-sebangun dengan kepentingan Israel. PM Jerman, Angela Markel, yang membawa beban berat sejarah Holocaust, setali tiga uang: mustahil mengkritik Israel.

Obama tak berarti
Banyak harapan yang disematkan ke pundak Barack Obama, presiden terpilih AS, yang akan dilantik pada bulan ini. Tapi, apalah artinya Obama, itu pun kalau kebijakannya berbeda dengan Bush terhadap Israel, jika harus berhadapan dengan lobi Zionis di Washington yang terkenal ampuh. Apalagi, Obama jauh-jauh hari menyatakan dukungan totalnya terhadap Israel dan menampik hak kembali pengungsi Palestina.

Memang ada secercah harapan, kebijakan luar negeri AS di masa Obama tidak lagi unilateral. Dengan kata lain, Obama diharapkan bisa lebih mengerti negara lain daripada Bush. Mungkin dengan alasan itu pula Israel harus buru-buru menyerbu Jalur Gaza mumpung situasi belum berubah.

Dengan situasi regional maupun internasional seperti ini, serangan Israel ke Jalur Gaza dapat dipahami sebagai cermin kepanikan luar biasa Israel terhadap kehadiran Hamas. Hamas personifikasi gerakan Islam yang konsisten memilih jalur perlawanan bersenjata terhadap Israel. Pada saat yang sama gerakan ini mampu memenangkan pemilu dan memimpin Pemerintahan Palestina.

Kedekatan dan kepedulian para aktivisnya dengan rakyat membuat Hamas makin dicintai. Belum lagi gerakan antikorupsinya dan amal nyata Hamas untuk meringankan penderitaan rakyat Palestina. Inilah yang ditakuti oleh Tel Aviv.

Israel tak pernah takut terhadap gerakan nasionalis-sekuleris seperti Fatah ataupun PLO yang terkenal korup. Para petinggi Israel tahu betul kelompok nasionalis Palestina lebih betah berdebat di ruang ber-AC daripada memanggul senjata. Ketika meja perundingan menjadi pilihan, giliran PBB, AS, dan negara-negara pendukung Israel lainnya yang menyelesaikan tugasnya untuk membela Israel.

Ikhtisar:

- Kepanikan luar biasa membuat Israel menempuh opsi serangan militer meski mereka tahu betul risikonya.
- Kepanikan cenderung membuat orang kehilangan akal sehat dan kesadaran.
- Pemerintah Israel tidak sadar sedang berjalan cepat atau lambat menuju pusaranya sendiri.

Tidak ada komentar: