Minggu, 18 Januari 2009

Operation Cast Lead: Implikasinya bagi Israel & Hamas

 
 

Konflik yang terjadi antara Israel dan Hamas sebenarnya telah terjadi sejak puluhan tahun yang lalu. Hal ini semakin meruncing ketika Hamas berhasil menguasai pemerintahan di Gaza melalui kudeta berdarah pada Juni 2007. Gesekan antara kelompok garis keras Hamas dan Israel tidak dapat dihindarkan hingga dicapai perjanjian 6 bulan gencatan senjata yang berakhir pada 26 Desember 2008 lalu.  

Momentum berakhirnya gencatan senjata ini dipandang Israel sebagai awal strategis untuk menghancurkan kekuatan Hamas sampai ke akar-akarnya. Seminggu sebelum gencatan senjata berakhir, Israel menghentikan seluruh suplai makanan dan kebutuhan pokok lain yang masuk ke Gaza di sepanjang jalur pantai dan darat. Hal ini menimbulkan shortage logistik masyarakat Gaza umumnya dan pihak Hamas khususnya. Hamas pun menjawab strategi Israel dengan menekan balik melalui peningkatan aktivitas serangan roket ke Israel. Suatu reaksi yang memang diharapkan oleh Israel sebagai pembenaran serangan balik Israel ke Jalur Gaza. Sebuah sumber Departemen Pertahanan Israel yang tidak mau disebutkan namanya berkata, "Kelihatannya operasi militer Israel akan dimulai dengan serangan udara untuk melawan peluncuran roket dan dilanjutkan dengan invasi darat."

Momentum ini juga sengaja dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh Israel yang mencalonkan diri sebagai Perdana Menteri untuk menaikkan popularitas pada pemilihan umum tanggal 10 Februari 2009 nanti. Termasuk Menteri Luar Negeri Tzipi Livni dan Menteri Pertahanan Ehub Barak yang saat ini posisinya sangat tidak menguntungkan karena tekanan Benjamin Netanyahu untuk mengambil langkah secepatnya terhadap keamanan Israel. Namun, Livni lebih pandai dalam mengambil kesempatan. Dialah orang Israel pertama yang menyatakan akan menyerang Hamas. Padahal, Ehud Barak sebagai Menhan seharusnya yang paling berkesempatan mengambil peluang ini.

Ketidakmampuan Ehud Barak bertindak cepat bukanlah tidak beralasan. Setidaknya ada 3 alasan penting mengapa dia terlambat bersikap dibandingkan dengan Menteri Luar Negeri dalam menyatakan perang melawan Hamas. Pertama, moril tentara Israel masih rendah karena ekses kekalahan perang musim panas 2006 di Lebanon sungguh di luar perkiraan Israel, dimana ratusan personel dan tank Markava IDF (Israeli Defence Force) diluluhlantakkan Hezbollah.

Kedua, kekhawatiran yang besar juga menyelimuti warga sipil dan personel IDF karena saat ini secara de facto Israel masih memiliki konflik dengan 3 negara besar di jazirah Arab; Iran, Syria, dan Lebanon dalam hal ini Hezbollah. Apabila Israel membuka front dengan Hamas di perbatasan selatan, bukan tidak mungkin Hezbollah, Iran dan Syria akan ikut membantu Hamas karena mereka memiliki keterkaitan emosional dan politik.

Ketiga, Ehud Barak kurang percaya akan kemampuan Israel dalam mengambil keputusan pelik. Hal ini terjadi pada kasus pembebasan seorang prajurit Israel bernama Gilead Shalit yang telah ditahan oleh tentara Hamas lebih dari dua tahun. Barak lebih memilih jalan diplomasi lewat Mesir daripada melakukan negosiasi langsung antara Israel-Hamas.

Serangan udara tidak membawa hasil

Serangan udara selama 5 hari yang dimulai tanggal 27 Desember 2008 dengan menggunakan pesawat F-16 dan helikopter Apache ternyata tidak sesuai harapan. Tujuan Israel untuk "mengembalikan keamanan di Selatan" dengan satu cara, yaitu menghentikan penembakan (roket) Hamas ke Israel belum tercapai. Hamas masih mampu menembakkan sekitar 70 roket ke Israel dalam satu hari walaupun serangan udara dipergencar dan lebih intensif dibanding perang melawan Hezbollah 2006. Bahkan bisa dikatakan serangan udara Israel gagal, seperti pernyataan Jeffrey White, seorang peneliti Washington Institute for Near East Policy (WINEP) sekaligus mantan analis Defense Intelligence Agency, "penggunaan angkatan udara Israel mampu menekan kemampuan Hamas untuk melakukan serangan balik, namun akibat yang dihasilkan oleh Israel juga dibawah pencapaian yang seharusnya bisa dipenuhi."

Keputusan melakukan invasi darat pada Operation Cast Lead ini sempat menjadi perdebatan besar dan keraguan bagi kalangan ahli militer Israel. Beberapa ahli militer mengatakan bahwa jika Israel ingin melakukan invasi darat in full scale operation maka Israel harus menyiapkan setidaknya 10.000 personel. Untuk itu, 6500 tentara cadangan dikerahkan dalam rangka memperkuat IDF melakukan serangan darat. Pertimbangan kedua adalah pengalaman perang 2006 dengan Hezbollah membuktikan bahwa serangan darat akan berisiko tinggi jika Hamas, yang memiliki roket sama dengan Hezbollah pada perang yang lalu, belum sepenuhnya dihancurleburkan. Dan pertimbangan ketiga, sikap presiden Amerika terpilih Barrack Obama yang hanya diam mengenai pembunuhan etnis di Gaza dan situasi geopolitik regional Timur Tengah menjadi tanda tanya besar bagi Israel. Israel belum meyakini bahwa Obama akan berada dibelakang Israel dan memberikan restu terhadap kepentingan politik dan keamanannya di Timur Tengah.

Beberapa hal yang mengindikasikan kebijakan Obama akan berseberangan dengan George W Bush di antaranya: rencana penarikan pasukan Amerika dari Iraq, penolakan kampanye Global War on Terrorism, dan keinginan Obama untuk menggunakan jalur diplomasi dalam membicarakan masalah nuklir Iran, bukan melalui tindakan militer. Namun dari semua pertimbangan di atas, Israel menggarisbawahi indikasi ketidakberpihakan Obama pada kebijakan politik Israel. Sehingga hari-hari terakhir Bush di kursi kepresidenan dijadikan tumpuan untuk menunjukkan kemampuannya sebagai kekuatan penentu di Timur Tengah.

Delapan hari penyerangan besar-besaran yang dilakukan Israel untuk menghancurkan militansi Hamas baik lewat udara maupun darat ternyata berbuah pahit. Hamas masih mampu menembakkan roket jauh ke dalam wilayah Israel walaupun berbagai markas Hamas dan infrastruktur pemerintahan hancur, listrik diseluruh wilayah Gaza padam, suplai bahan kebutuhan pokok serta bantuan medis menipis. 

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, "apakah penghentian penembakan roket oleh Hamas benar-benar akan tercapai ketika Hamas masih memegang kendali pemerintahan di Gaza?"

Kontra produktif bagi Israel dan IDF

Penyerangan Operation Cast Lead sebagai pembantaian etnis di Gaza, pembersihan Hamas sampai ke akar-akarnya atau apapun itu sebutannya bukanlah hal yang mudah. Walaupun kekuatan Hamas tidak sekuat Hezbollah dan medan tempur Gaza tidak sesulit Lebanon Selatan, namun Israel perlu berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan untuk mendapatkan kemenangan mutlak. Kabinet Israel pun mulai meragukan keberhasilan serangan ini. Dalam sebuah rapat pada hari kedelapan penyerangan tentara Israel ke Hamas, kabinet Israel menyimpulkan "Hamas tidak dapat ditumpas." Suatu kesimpulan yang sangat mengejutkan dan sulit diterima.  

Serangan yang memakan korban paling mengerikan sepanjang sejarah Gaza, dimana didalamnya termasuk anak-anak, perempuan dan orang lanjut usia, sama sekali tidak mengecilkan semangat Hamas dalam berjuang mempertahankan wilayahnya. Bahkan simpati kepada Gaza semakin hari semakin besar dan sebaliknya kecaman bertubi-tubi diteriakkan kepada Israel dari sejumlah tokoh internasional.  
Bantuan kemanusiaan yang dikirimkan dari berbagai penjuru dunia merupakan bukti nyata semakin meluasnya simpati dunia internasional kepada penduduk Gaza, yang secara tidak langsung juga berimbas kepada Hamas.  

Keinginan Israel untuk membakar habis Hamas sampai ke akar-akarnya ternyata berbuah dendam yang membara terhadap Israel disetiap sanubari rakyat Gaza, bahkan janin yang masih di dalam kandungan. Popularitas Hamas di Palestina pun semakin naik seperti halnya Hezbollah di Lebanon setelah memenangkan pertempuran 34 harinya. Kemenangan Hamas pada pemilu legislatif 4 tahun lalu akan semakin menaikkan posisi Hamas ke puncak tiang bendera aspirasi politik Palestina. Mereka dipandang sebagai pejuang bangsa dalam mempertahankan kedaulatan negara. Dan secara bersamaan akan menurunkan kredibilitas kelompok pro-Barat, Fatah, pimpinan Mahmoud Abbas dinegaranya sendiri.

Pemerintahan Abbas yang dinilai korup oleh masyarakatnya akan dipandang sebelah mata dan sebaliknya Hamas dapat menjadi alternatif lain yang lebih baik. Seperti pernyataan seorang analis politik Israel, Aluf Benn, pada 2 Januari 2009 di surat kabar Haaretz "Jika perang ini berakhir imbang, seperti yang diprediksikan, dan Israel gagal untuk menguasai kembali Gaza, maka Hamas akan memperoleh pengakuan diplomatik."  

Bagi Israel sendiri, waktu yang tersisa sampai Barrack Obama disumpah untuk menduduki kursi kepresidenan Amerika Serikat pada 20 Januari mendatang sangatlah sempit. Pertaruhan kredibilitas kemampuan teknologi angkatan bersenjatanya yang disampaikan Perdana Menteri Israel, Ehud Olmert, pada wawancara eksklusif berbahasa Arab di saluran televisi Al Arabiya sebelum penyerangan pertama ke Gaza bahwa "kami lebih kuat" menjadi beban berat dan hutang tak terbayarkan Israel.  

Jika Israel tidak mampu menyelesaikan pertarungan ini dengan absolute victory maka perang ini menjadi kekalahan ke dua melawan non-state enemy di Timur Tengah. Dampak terbesar yang akan muncul bagi bala tentaranya adalah krisis kepercayaan diri. Padahal musuh bebuyutan Israel di Lebanon, Hezbollah, saat ini mengaku memiliki kekuatan dan persenjataan tiga kali lebih besar dibanding perang 2006. 

Sekjen Hezbollah, Hassan Nasrallah, dalam pidatonya memperingati As Syura awal tahun ini juga mengatakan bahwa Hezbollah telah memiliki roket anti pesawat terbang jika Israel menyerang dan mengganggu ketenangan Lebanon. Selain misil baru dengan jangkauan lebih jauh sampai ke Tel Aviv atau Negev, Dimona, sebuah kota instalasi nuklir Israel berada. Bagi penduduk Israel, hal ini berarti mimpi buruk yang akan selalu menghantui di bawah bayang-bayang kekhawatiran dan serangan balik yang lebih agresif dari Gaza kelak dikemudian hari.

Selanjutnya, Hamas pun akan memiliki bargaining position di meja perundingan yang lebih menentukan untuk memaksakan tuntutan penghapusan boikot ekonomi dan pembukaan jalur perbatasan darat yang selama ini diberlakukan.  

Pertaruhan terakhir

Walaupun beberapa perwira militer Israel masih meyakini mereka akan memenangkan peperangan ini, namun pertanyaannya "Berapa lama waktu yang dibutuhkan Israel untuk menghabisi Hamas?" Akhirnya, Israel harus membuktikan bahwa taktik IDF yang digunakan dalam Operation Cast Lead merupakan taktik paling ampuh untuk membungkam Hamas berapapun harga yang harus dibayar. Jika tidak, maka Israel harus menyiapkan payung perlindungan roket yang lebih canggih bagi keamanan warganya di masa depan dalam mengantisipasi dendam kesumat masyarakat Gaza, selain menciptakan taktik baru yang lebih kredibel komprehensif untuk mempertahankan eksistensinya di jazirah Arab. Namun, hal ini sekaligus berarti kemenangan mutlak bagi Hamas secara militer, politik dan diplomasi interasional.  
 
Kapten Inf Kukuh Suharwiyono, BS
Penulis saat ini masih bergabung dibawah Satgas Yonif Mekanis TNI Konga XXIII-C/UNIFIL di Lebanon Selatan. Sebelum bergabung dalam penugasan PBB, penulis menjabat sebagai Kaur Data & Statistik Spaban I/Ren Spersad

Tidak ada komentar: