Minggu, 04 Januari 2009

Konflik Israel dan Hamas yang Melelahkan


luki aulia


Geregetan dengan serangan roket dan mortir yang tidak kunjung berakhir dari Jalur Gaza, militer Israel menyerang balik melalui udara sejak 27 Desember 2008. Hingga hari kedelapan, operasi militer yang tidak imbang itu mengakibatkan 424 orang tewas (sekitar 60 warga sipil) dan 2.098 orang terluka serta menghancurkan sekitar 500 infrastruktur Hamas.

Berbeda dengan pengalaman saat menghadapi kelompok gerilyawan Hezbollah di Lebanon pada tahun 2006, serangan Israel kali ini lebih terencana, tepat sasaran, dan tujuannya lebih realistis. Ketika menyerang Hezbollah dua tahun lalu, Israel kelabakan karena ternyata Hezbollah kuat bertahan hingga konflik sengit selama 34 hari itu berakhir. Bahkan, Hezbollah justru menguat secara politis di Lebanon.

Menurut harian Los Angeles Times, intelijen Israel telah menyusun ”daftar target” serangan selama dua tahun. Dalam daftar itu tercantum lokasi-lokasi yang dianggap penting dan strategis oleh kelompok Hamas.

Tempat strategis itu antara lain terowongan bawah tanah yang digunakan sebagai sarana penyelundupan, gedung parlemen, masjid, rumah persembunyian Hamas, gudang penyimpanan senjata, kamp pelatihan, kantor polisi, dan markas intelijen Hamas.

Meski tepat sasaran, serangan militer Israel itu jelas tidak berimbang. Tembakan roket dan mortir Hamas di Gaza dibalas dengan bom-bom Israel yang kekuatannya jauh lebih dahsyat.

Untuk meminimalisasi korban warga sipil, militer Israel mengaku telah sering memberikan peringatan dini kepada penduduk Gaza. Kadang-kadang peringatan itu disampaikan melalui telepon dari rumah ke rumah. Terkadang juga dengan menggunakan tembakan bom suara dengan harapan warga Gaza akan segera berlindung sebelum Israel menyerang. Pesawat-pesawat tempur Israel juga menjatuhkan pamflet dan brosur yang mencantumkan nomor telepon dan alamat e-mail yang digunakan militer Israel.

Harapannya, masyarakat Gaza akan memberikan informasi lokasi-lokasi persembunyian ”regu tembak” yang bertugas menembakkan roket dan mortir ke Israel. Taktik ini pernah dipakai Israel ketika berhadapan dengan Hezbollah di Lebanon.

Pengamat politik di Shalem Center, Jerusalem, Michael Oren, dalam jurnal The Christian Science Monitor mengatakan, Israel telah banyak belajar dari pengalaman di Lebanon. Israel memilih ”cara aman” dengan mengatakan serangan ke Gaza itu semata-mata untuk menghentikan serangan roket dan mortir Hamas serta memulihkan situasi keamanan di wilayah Gaza dan Israel selatan.

Sebelumnya, Perdana Menteri Israel Ehud Olmert juga berkali-kali menegaskan Israel sama sekali tidak berniat menduduki ataupun menggulingkan kekuasaan Hamas. ”Ia sadar langkah itu tidak populer secara politis. Dua tahun lalu, Israel gembar-gembor melucuti senjata, menggulingkan bahkan menghancurkan Hezbollah, tetapi tidak terjadi,” ujarnya.

Membuktikan diri

Meski tidak berniat menggulingkan Hamas, Israel tetap menjanjikan operasi militer total. Selain melalui udara, Israel juga telah siap menyerang dari darat dengan mengerahkan ribuan tentara dan puluhan tank yang kini disiagakan di sepanjang perbatasan Israel-Gaza. Mengingat pengalaman di Lebanon, serangan udara Israel ternyata tidak mampu menghentikan tembakan-tembakan roket Hezbollah ke Israel.

Para pengamat juga ragu operasi darat itu akan benar-benar dilaksanakan mengingat risiko yang terlalu besar. Jumlah korban warga sipil dan tentara Israel dipastikan membengkak. Jika ini terjadi, Israel juga akan semakin tertekan oleh kecaman komunitas internasional yang mendesak kedua belah pihak segera menyepakati gencatan senjata yang baru.

Namun bagi sebagian pengamat yang lain, Israel tidak mempunyai pilihan lain selain melaksanakan misi operasi militer darat itu. Tidak harus dalam bentuk operasi militer. Israel disebut hanya perlu membuktikan kepada musuhnya bahwa Israel masih memiliki kekuatan militer terbesar dan paling ditakuti di Timur Tengah. Apalagi mengingat kekalahan Israel di Lebanon.

Dengan menyerang Hamas, Israel berharap kekuatan Hamas melemah. Israel juga berharap akan ada kesepakatan gencatan senjata baru menggantikan kesepakatan lama berlaku enam bulan dan berakhir 19 Desember 2008. Namun, Israel tidak akan menyepakati gencatan senjata baru jika tidak ada keterlibatan tim pemantau dari komunitas internasional. Tim itu harus mengawasi pelaksanaan kesepakatan tersebut.

Israel menganggap Hamas melanggar kesepakatan dengan tidak menghentikan serangan roket dan mortir. Sebaliknya, Hamas menuding Israel tidak mematuhi kesepakatan karena masih memblokir Gaza dan menutup penyeberangan. Akibat pemblokiran itu, rakyat Gaza menderita karena kesulitan mendapatkan kebutuhan utama sehari-hari seperti makanan dan bahan bakar, terutama solar yang penting bagi pembangkit tenaga listrik diesel di Gaza.

Menjawab ”tantangan” Israel, Hamas bertekad akan melawan Israel hingga embusan napas yang terakhir. Hingga saat ini Hamas masih menembakkan roket ke Israel untuk menjawab serangan bom Israel. Ini disesali Mesir yang selama ini menjadi mediator dalam kesepakatan gencatan senjata kedua pihak.

Menteri Luar Negeri Mesir Ahmed Aboul Gheit menegaskan, jika ingin menghentikan serangan Israel, Hamas mau tak mau harus menghentikan serangan roketnya. Pasalnya, tembakan roket itulah yang menjadi pembenaran bagi Israel untuk menyerang Jalur Gaza. ”Kami harap Hamas bersedia menghentikan semua tembakan roketnya. Namun harus diingat, meski Hamas setuju, kemungkinan masih ada kelompok bersenjata lain yang tetap menembakkan roketnya. Ini yang akan menyulitkan proses negosiasi,” ujarnya.

Isu politik

Keputusan Israel menyerang Gaza dipicu serangan roket Hamas. Namun, serangan itu dicurigai bermuatan politis karena pelaksanaannya berdekatan dengan pemilihan parlemen Israel pada 10 Februari 2009. Harian The Chicago Tribune menyebutkan, popularitas PM Olmert, Menteri Pertahanan Ehud Barak, dan Menlu Tzipi Livni melejit karena serangan ke Gaza. Ketiganya didesak rakyat Israel segera membalas serangan roket Hamas. Karena musim kampanye pemilihan sudah dekat, ketiganya memutuskan mulai menyerang Gaza setelah mendapat restu dari kabinet Israel.

Pakar politik di Hebrew University of Jerusalem, Reuven Hazan, menyatakan, Olmert jelas memiliki tujuan lain untuk kepentingannya sendiri, yakni memulihkan citranya yang tercoreng akibat skandal korupsi dan kegagalan perang di Lebanon. ”Olmert tak mau mengakhiri kekuasaannya dengan predikat orang gagal. Ia hanya ingin menyelamatkan citranya,” ujarnya.

Sementara itu, Barak (Ketua Partai Buruh) dan Livni (Ketua Partai Kadima) yang akan berhadapan dengan Ketua Partai Likud Benjamin Netanyahu pada saat pemilihan tak mau terlihat sebagai pejabat yang pasif dan tak sanggup berbuat apa- apa terhadap serangan roket dari Gaza. Jika ini terjadi, kata Hazan, Netanyahu dipastikan akan memenangi pemilihan. Dengan serangan Israel ke Gaza selama tujuh hari terakhir, popularitas Barak dan Livni terbukti melejit. Apalagi sebelumnya Livni dianggap tak memiliki pengalaman yang cukup untuk menjadi seorang PM.

Namun, tetap saja bagi para pengamat politik, serangan ke Gaza itu sama halnya dengan judi tingkat tinggi. Jika operasi militer di darat tak berhasil atau serangan roket Hamas tak juga berhenti, dukungan rakyat Israel akan menguap dengan cepat. Begitu pula dengan popularitas Barak, Livni, dan Olmert.

Tidak ada komentar: