Kamis, 08 Januari 2009

Israel Penjahat Perang?


Suripto
Wakil Ketua Komisi III DPR RI dari FPKS dan

Ketua Komite Nasional untuk Rakyat Palestina



Palestina? Dengan ketus, Golda Meir--perdana menteri Israel pertama--langsung menjawab, ''Palestina tak ada, sebagai bangsa, apalagi negara.'' Sebuah sikap politik yang penuh kebencian dan merenda sejarah panjang perseteruan dua anak bangsa serumpun: Yahudi versus Palestina, yang menelan korban tak bisa dihitung jumlahnya bagi suku bangsa terjajah (Palestina).

Kebencian yang pernah dilontarkan Golda Meir dan generasi penerusnya ditindaklanjuti dengan sejumlah tindakan barbaristik yang sangat biadab. Dan, hal ini sudah tak aneh di mata publik internasional.
Sayangnya, di saat suasana Natal yang sering dikumandangkan dengan pesan-pesan kedamaian ataupun perdamaian di belahan mana pun, Palestina kembali bergolak dengan kejadian yang dikotori dengan mayat-mayat bergelimpangan dan lumuran darah.

Itulah bombardir Israel ke tengah Gaza selama beberapa hari lalu yang menewaskan ratusan penduduk sipil bangsa Palestina, di samping yang luka-luka berat dan hancur luluhnya berbagai infrastruktur seusai Hari Natal itu.

Dengan sedih sekaligus memprihatinkan, Natal 2008 'harus kita catat' gagal menciptakan misi kemanusiaan, setidaknya di tengah Palestina, tempat Bunda Maryam melahirkan putranya (Isa AS). Sebuah potret kegagalan yang harusnya membangkitkan semangat kalangan Nasrani di berbagai belahan dunia sebagai individu, komunitas, bahkan negara yang merayakan Natal untuk mengambil prakarsa segera menghentikan agresi yang sangat mengotori spirit kemanusiaan.

Fakta sungguh paradoks. Sejumlah negara 'Nasrani', termasuk Amerika Serikat, justru menjustifikasi agresi biadab itu. Maka, sangat dimaklumi jika saudara-saudara kita yang cinta kemanusiaan terpaksa harus menunjukkan sikap (kritik pedas) kepada suku utamanya, seperti AS, meski melalui kantor-kantor kedutaan, termasuk di Jakarta.

Kini, kita perlu buka baju subjektivitas (pro-kontra Israel) yang menggiring tiadanya titik temu solusi. Yang perlu kita soroti tajam, bagaimana menyikapi tindakan zionis yang menelan korban ratusan jiwa, di samping luka-luka parah, apalagi para korbannya kebanyakan kaum sipil (anak-anak dan kaum wanita). Agresi yang dilakukan oleh Israel, dari kacamata apa pun, sulit untuk tidak dikategorikan sebagai tindakan yang tidak berperikemanusiaan.

Realitas menunjukkan bahwa pembombardiran yang dilakukan Israel bukan hanya melampaui batas, tapi sungguh-sungguh biadab, yang tingkat penderitaannya tidak hanya hari ini atau beberapa bulan setelahnya.

Karena itu, sikap politik dunia yang harus dibangun bukanlah sekadar menggiring dunia (Dewan Keamanan PBB) mengeluarkan resolusi gencatan senjata atau mengutuk, apalagi hanya menyesalkan. Hal ini karena sikap politik Israel bukan hanya mengabaikan suara dunia, tapi jika mengindahkan pun, tidak konsisten. Hal ini tak pernah membuat para pemimpin zionis mengakhiri kebiadabannya. Jika penghentiannya bersifat sesaat, akan selalu diulangi lagi kebiadabannya. Apalagi, kepentingan subjektifnya merasa terancam dan terganggu.

Belajar dari perangai politik zionis itu kiranya menjadi krusial jika pemimpin Israel--siapa pun yang berkuasa--harus digiring ke statuta hukum yang sangat keras: dinilai sebagai penjahat perang akibat agresi biadabnya. Inilah kategori yang tak pernah diformat dalam kerangka mengakhiri konflik rasial yang berkepanjangan di antara dua anak bangsa serumpun itu hingga kini. Jika kita buka lembaran historis dunia, kategorisasi itu (penjahat perang) relatif mampu mengakhiri konflik etnik. Sekadar contoh faktual yang dapat kita petik dari perang 1992-1995 di Bosnia-Herzegovina, di mana tentara Serbia Bosnia membantai sekitar 8.000 kaum Muslim pada Juli 1995, sebuah peristiwa yang disebut-sebut sebagai pembantaian yang paling mengerikan sejak akhir Perang Dunia II.

Akibat tindakan pembasmian etnik ini, Pengadilan Militer Internasional di Den Haag memutuskan penjahat perang kepada Milenko Trifunovic, Brano Dzinic, dan Radovan Karadzic (mantan presiden Serbia Bosnia) yang masing-masing dikenai hukuman 42 tahun. Juga, kepada Milos Stupar, Slobodan Jakovljevic, dan Branislav yang masing-masing harus menjalani hukuman selama 40 tahun. Yang perlu digarisbawahi, penyeretan mereka ke meja hijau dan pengenaannya sebagai penjahat perang benar-benar mengakhiri kondisi perang etnik di tengah Serbia Bosnia. Bahkan, akhirnya, bisa hidup berdampingan dengan masyarakat Muslim Bosnia-Herzegovina, sebuah 'komponen' anak bangsa yang sama-sama warga besar bekas negara Yugoslavia.

Contoh yang masih segar itu kiranya layak diterapkan untuk melihat serangan Israel terhadap anak bangsa Palestina. Namun, dapat diprediksi, negara-negara maju, seperti AS atau dari komponen Eropa, bukan hanya tak sependapat dengan kategorisasi itu, tapi akan melawan gerakan kategorisasi itu, termasuk hak veto jika kondisi politiknya masuk ke ranah Dewan Keamanan PBB. Namun, reaksi subjektif mereka dapat di-counter dengan Konvensi Geneva (KG). Berdasarkan beberapa pasal yang dilahirkan pada 12 Agustus 1949 itu, bombardir Israel 'menabrak' beberapa pasal KG, antara lain Pasal 16 (kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia, termasuk kejahatan agresi), Pasal 17 (kejahatan genosida), Pasal 18 (kejahatan terhadap kemanusiaan), dan Pasal 20 (kejahatan perang). Pasal-pasal ini cukup tepat untuk menjerat para pemimpin atau perancang atau pelaksana dari Israel yang melakukan operasi militer di tengah Gaza itu.

Jika kita analisis keempat pasal tersebut, fakta politik menunjukkan bahwa negeri zionis sejak berdirinya pada 14 Agustus 1948 hingga kini terus menciptakan ketidakdamaian, terutama kepada bangsa Palestina, baik secara masif maupun sporadis. Sejak pendudukannya pada 1949 di Kota Suci Jerussalem, Israel terus memperluas pendudukannya pada 1967 dengan menguasai seluruh wilayah Palestina, bahkan sampai ke Sinai dan Dataran Tinggi Golan. Kejahatan yang dilakukan Israel terhadap kemanusiaan tak pernah berhenti. Bahkan, pada 1982, ketika berhasil mengepung sebagian wilayah Lebanon selatan, masyarakat Palestina di kamp-kamp Sebra dan Satilla menjadi sasaran pembantaian (genosida) dalam jumlah ribuan jiwa. Jumlah pembantaian etnik ini belum termasuk pembantaian secara militeristik, dalam jarak dekat ataupun jauh seperti yang baru-baru ini dilancarkan. Secara kuantitatif, korban anak bangsa Palestina sudah sulit dihitung.

Mencermati kejahatan serius Israel itu sungguh tepat memberlakukan keempat pasal KG, apalagi korban yang menjadi sasaran utama serangannya adalah masyarakat sipil. Padahal, menurut Konvensi Geneva IV, jelas-jelas harus dilindungi (the protected persons). Tidak hanya dalam waktu perang (bilateral ataupun konflik internal), tapi dalam waktu damai. Apalagi, keberadaan warga sipil dari sebuah negara yang berbeda mempunyai kedaulatan.

Sekali lagi, siapa pun dari unsur Israel yang secara aktif berperan dalam memerintahkan perencanaan, persiapan, inisiasi, atau memicu terjadinya sebuah agresi haruslah bertanggung jawab atas kejahatan agresinya, baik sebagai kepala negara maupun aparat yang menjadi pemimpin (leader) atau penyelenggara (organizer). Semua itu harus diseret ke pengadilan militer internasional.

Kita perlu meneropong, sampai sejauh mana prospek penyeretan para agresor Israel ke meja hijau internasional? Cukup diragukan memang. Landasannya, manusia zionis berada di mana-mana. Mereka, sebagai warga negara atau pemimpin strategis di sejumlah negara maju, memegang peran penting di lembaga-lembaga internasional, termasuk di Mahkamah Internasional atau Pengadilan Militer Internasional. Dan, yang tak kalah strategisnya adalah kekuasaannya di industri media massa. Dalam konteks ini, manusia-manusia zionis sangat berkepentingan untuk melakukan counter terhadap isu Israel sebagai penjahat perang.

Kini, dunia Islam ataupun masyarakat Muslim di seantero dunia, setidaknya para pecinta kemanusiaan, perlu menggalang sikap: Israel memang penjahat perang. Pembangunan opini ini perlu dikembangkan secara masif-produktif dan diembuskan secara internasional. Misalnya, melalui PBB atau negara-negara maju dengan mengembangkan opini tentang Israel sebagai penjahat perang yang akan dihadapkan pada dilema. Di sisi lain, yang pro-Israel akan menolak kategorisasi itu. Padahal, fakta kebiadaban dengan melakukan kejahatan serius terhadap kemanusiaan sulit dibantah. Hal ini akan membuat sebuah kemungkinan: pemprosesan hukum untuk kejahatan Israel. Targetnya jelas: penghentian nafsu pembantaian etnik (bangsa) tertentu di muka bumi ini, yang memang harus dilindungi. Tanpa penegakan hukum ini (status Israel sebagai penjahat perang) akan terjadi instabilitas di tengah dua negara yang dilanda konflik itu dan menjadi potensi destabilitas dunia. Di sinilah urgensi kesadaran negara-negara adidaya jika sungguh-sungguh menghormati hak-hak kemanusiaan.

Kini, masyarakat internasional akan menonton, adakah negara-negara maju yang tergerak untuk menyupermasikan jati diri manusia yang harus dihormati atau justru hipokrasi dan terus bermain double standard? Upaya hukum internasional: 'Israel sebagai penjahat perang', akan menjadi kejelasan sikap yang sesungguhnya di antara komitmen kemanusiaan dan hipokrasi itu. Kita tunggu.

Tidak ada komentar: