Sabtu, 03 Januari 2009

Palestina Pascaagresi Israel

Oleh Azyumardi Azra

Aksi militer Israel menjelang dan awal tahun baru 2009 merupakan serangan terbesar Israel dengan jumlah korban terbanyak dalam dasawarsa terakhir. Serangan Israel yang membabi buta kali ini merupakan salah satu puncak dari rangkaian upaya Israel untuk menghancurkan Hamas (Harakah al-Muqawamah al-Islamiyah, Gerakan Perlawanan Islam) sejak organisasi ini terbentuk pada 14 Desember 1987.

Israel dengan leluasa melancarkan aksi brutalnya antara lain karena perpecahan yang terus berlanjut di dalam tubuh bangsa Palestina, khususnya antara Hamas dan Al-Fatah, faksi Palestina warisan Yasser Afarat yang pernah begitu dominan sampai dikalahkan Hamas dalam Pemilu Legislatif Palestina pada 25 Januari 2006. Namun, pemerintahan Hamas tidak pernah bisa efektif, bukan hanya karena perpecahan yang akut di antara bangsa Palestina, melainkan juga karena Amerika Serikat dan banyak kalangan Barat lainnya menolak mengakui pemerintahan Hamas. Perpecahan di antara kedua faksi Palestina mencapai puncaknya ketika Hamas mengambil alih kekuasaan di Jalur Gaza pada Juni 2007.

Kekuatan Hamas

Akankah riwayat Hamas tamat dengan kekerasan Israel terakhir ini? Jika Israel menganggap begitu, pastilah sia-sia. Pengalaman menunjukkan, berbagai tindakan kekerasan Israel terhadap Hamas khususnya gagal menamatkan perlawanan Palestina. Pada 1992 militer Israel misalnya melakukan ”cuci bersih” terhadap apa yang mereka sebut sebagai ”fundamentalisme agama” dengan mengasingkan sekitar 400 pemimpin dan intelektual Hamas ke sebuah puncak bukit di Lebanon selatan. Selanjutnya, pada 22 Maret 2004 militer Israel atas perintah PM Ariel Sharon berhasil membunuh pendiri dan pemimpin Hamas di Gaza, Syaikh Ahman Yassin. Penggantinya, Dr Abd al-Aziz Rantisi, juga dibunuh Israel pada 17 April 2004.

Dengan tewasnya kedua pemimpin utama ini, Israel menganggap Hamas sudah lumpuh, lalu menarik tentaranya dari Jalur Gaza sejak 15 Agustus 2005 sampai 12 September 2005, menandai berakhirnya pendudukan Israel di kawasan Palestina ini selama 38 tahun. Namun, Israel salah hitung. Sebaliknya, Hamas mampu mengonsolidasikan diri, seperti terlihat dalam kemenangannya pada pemilu 25 Januari 2006.

Di mana letak rahasia ketahanan dan kemampuan Hamas dalam menghadapi Israel sekaligus menjadi alternatif bagi bangsa Palestina selain Al-Fatah? Jawabannya, Hamas lebih daripada organisasi militer, tetapi merupakan sebuah organisasi yang cukup kompleks. Sayap militer yang dikenal sebagai Brigade Izz al-Din al-Qassam hanyalah bagian kecil dari organisasi Hamas. Selebihnya, Hamas merupakan jaringan berbagai organisasi lain yang mencakup asosiasi mahasiswa (Kutla Islamiyyah), lembaga-lembaga pelayanan sosial (al-Mujamma al-Islami), Universitas Islam Gaza (al-Jami’ah al-Islamiyyah), bank Islam (bayt al-mal), dan Partai Penyelamatan Islam Nasional. Dipimpin ulama, intelektual, dan kaum terdidik lainnya, jaringan Hamas memberikan berbagai bentuk pelayanan sosial-ekonomi dan bantuan hukum kepada masyarakat Palestina, khususnya yang berada di Jalur Gaza yang berpenduduk 1,2 juta jiwa.

Berkat berbagai jaringan sosial seperti itulah Hamas memperoleh legitimasi dan dukungan meluas dari banyak kalangan masyarakat Palestina. Para anggota dan pendukungnya terutama datang dari kelas menengah bawah dan pekerja yang umumnya terekrut melalui jaringan pelayanan sosialnya. Meski kepemimpinan Hamas umumnya adalah ulama dan kaum intelektual serta teknokrat, ideologi keagamaan organisasi ini pada dasarnya konservatif dan karena itu tidak cocok dengan ideologi nasionalisme sekuler yang diusung Al-Fatah.

Karena itu, pernyataan Presiden AS George W Bush bahwa Hamas adalah ”organisasi teroris” memperlihatkan bias politik pro-Israelnya. Seperti dikemukakan Alastair Crooke dari Conflict Forum London dalam pengantarnya untuk buku karya Azzam Tamimi, Hamas: Unwritten Chapter (2007), adalah keliru menganggap Hamas sebagai ”organisasi teroris”—sama dengan Al Qaeda misalnya. Menurut Crooke, Hamas mestilah dilihat tidak hanya secara militer, tetapi juga secara intelektual dan sosial.

Perdamaian kian jauh

Aksi kekerasan Israel terakhir sekarang ini jelas membuat perdamaian kian menjauh di Palestina dan bahkan juga dapat mengancam keamanan Israel sendiri. Konflik dan kekerasan antara Israel dan Hamas kembali menjadi war of attrition, perang ketahanan semangat, yang sangat melelahkan dan dapat membuat kian banyaknya jatuh korban sepanjang perjalanan waktu.

Palestina pascaserangan militer Israel, pada satu pihak dapat mendorong bangkitnya kembali perlawanan masyarakat Palestina dalam bentuk intifadah III. Seperti terlihat dalam intifadah I (1987-1989) dan intifadah II (2000-2001). Melalui jaringan pelayanan sosialnya yang luas, Hamas dapat membangkitkan intifadah baru yang melibatkan masyarakat sipil Palestina.

Selain itu, proses radikalisasi dalam bentuk pengeboman bunuh diri (suicide bombing) dapat marak kembali. Bom bunuh diri warga Palestina telah terjadi sekitar 120 kali (termasuk 10 pengebom bunuh diri perempuan) dengan menewaskan 652 warga Israel dan melukai 2.267 lainnya.

Mengantisipasi skenario yang mencemaskan itu, tak bisa lain kuasa-kuasa dunia semacam PBB, AS, dan Uni Eropa meningkatkan tekanan terhadap Israel untuk segera menghentikan operasi militernya dan kembali secara serius mengusahakan perdamaian. Berlanjutnya kekerasan dalam konflik Israel-Palestina dapat melimpah ke bagian-bagian dunia lain, yang dilakukan atas nama solidaritas terhadap Palestina.

Pada saat yang sama, bangsa Palestina sendiri harus berusaha saling kompromi/akomodasi demi menyelamatkan warga mereka sendiri. Selama para pemimpin Palestina tetap terpecah belah, bisa dipastikan kenestapaan warga mereka terus berlanjut pula.

Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota World Economic Forum’s Global Agenda Council on the West-Islam Dialogue, Swiss.

Tidak ada komentar: