Jumat, 27 Maret 2009

Rekonsiliasi Dunia Arab dan Palestina


Jumat, 27 Maret 2009 | 02:51 WIB

Oleh HASIBULLAH SATRAWI

Konferensi Tingkat Tinggi Liga Arab akan dilaksanakan di Doha, Qatar, akhir bulan ini. Rekonsiliasi diperkirakan menjadi tema utama dalam pembahasan KTT Ke-21 Liga Arab ini. Rekonsiliasi dianggap penting sebagai pintu masuk untuk menyelesaikan pelbagai persoalan yang melanda kawasan ini dalam beberapa waktu terakhir.

Sebagaimana dimaklumi bersama, perpecahan di dunia Arab acap kali tak dapat disembunyikan lagi, terutama dalam menghadapi persoalan konflik Israel-Palestina. Konflik Israel-Hamas terakhir merupakan cermin yang cukup jelas dan lebar untuk melihat sejauh mana parahnya perpecahan yang melanda dunia Arab saat ini. Sebagian negara Arab mendukung apa yang dilakukan oleh Hamas, sedangkan sebagian negara Arab lain mengecam sepak terjang Hamas.

Dua kiblat kepentingan

Kiblat kepentingan adalah salah satu penyebab perpecahan dunia Arab, yaitu kiblat kepentingan yang berpusat di Iran di satu sisi dan kiblat kepentingan yang berpusat di Amerika Serikat di sisi lain.

Negara-negara Arab seperti Mesir, Arab Saudi, Jordania, dan yang sehaluan dikenal sebagai negara-negara Arab pro-AS. Negara-negara ini juga bisa dibilang cukup dekat dengan Israel sebagai efek tidak langsung dari kedekatan mereka dengan AS.

Sedangkan negara-negara Arab seperti Suriah, dan Kuwait merupakan negara-negara Arab pro-Iran. Kondisi ini juga mempunyai efek tidak langsung, yaitu kedekatan negara-negara Arab ini dengan faksi-faksi politik yang disinyalir sebagai kepanjangan tangan Iran di dunia Arab, seperti Hamas dan Hezbollah di Lebanon. Itu sebabnya negara-negara Arab pro-Iran lebih memihak dan memahami sepak terjang politik faksi-faksi tersebut.

Dalam konteks konflik Israel-Palestina, negara-negara Arab pro-AS mempunyai sikap politik yang lebih lunak ketimbang negara-negara Arab kontra-AS. Sedangkan negara-negara Arab kontra AS cenderung lebih keras dan radikal.

Perpecahan yang lebih kurang sama juga terjadi di Palestina. Faksi politik seperti Hamas sangat loyal kepada Iran. Sedangkan faksi politik seperti Fatah sebaliknya, sangat loyal kepada AS.

Rekonsiliasi menyeluruh

Di sinilah pentingnya rekonsiliasi. Setidaknya, rekonsiliasi ini harus segera terwujud pada dua level utama. Pertama, rekonsiliasi menyeluruh pada level dunia Arab. Rekonsiliasi menyeluruh ini mutlak dibutuhkan karena pelbagai persoalan yang melanda negara-negara Arab (seperti di Palestina) bertali-temali dengan persoalan yang ada di dunia Arab pada umumnya. Kelemahan pada tingkat dunia Arab secara umum berimbas langsung pada lemahnya negara-negara Arab. Begitu pula sebaliknya, kelemahan pada tingkat negara-negara Arab mencerminkan kelemahan pada tingkat dunia Arab secara umum.

Apa yang telah dilakukan oleh empat negara Arab ”garda depan” beberapa waktu lalu bisa dikatakan sebagai pencapaian maksimal dalam upaya menjembatani perpecahan yang ada. Sebagaimana dimaklumi, Mesir, Arab Saudi, Suriah, dan Kuwait tidak lama ini (Rabu, 11/3) berhasil mengadakan pertemuan ”segi empat” di Arab Saudi. Pertemuan yang dirancang untuk mewujudkan rekonsiliasi dunia Arab melalui momentum KTT itu menghasilkan beberapa kesepakatan penting, di antaranya adalah pentingnya menyatukan langkah dan menjadikan kepentingan dunia Arab sebagai tolok ukur dalam berhubungan dengan dunia luar (Al-Ahram, 12/3).

Kesepakatan di antara keempat negara Arab di atas menjadi sangat penting karena empat negara tersebut mewakili dua kubu yang berkiblat pada dua kepentingan berbeda di atas. Mesir dan Arab Saudi mewakili sekaligus menjadi komandan bagi negara- negara pro-AS, sedangkan Suriah dan Kuwait mewakili sekaligus menjadi komandan negara-negara Arab pro-Iran.

Kedua, rekonsiliasi pada level nasional Palestina. Rekonsiliasi ini mutlak dibutuhkan untuk mewujudkan negara Palestina yang merdeka dengan kedaulatan penuh. Bila tidak, Palestina akan semakin jauh terjebak ke dalam perpecahan internal yang akan semakin mengikis habis harapan bagi berdirinya negara Palestina.

Setelah mengalami kegagalan berkali-kali, kini rekonsiliasi nasional Palestina kembali diupayakan. Pertemuan di antara faksi- faksi Palestina untuk membahas rekonsiliasi ini terakhir kali berhasil dilaksanakan di Kairo beberapa waktu lalu (Selasa, 10/3). Upaya rekonsiliasi kali ini bisa dikatakan mengalami banyak kemajuan dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Hal ini terlihat jelas dari pembentukan lima komite untuk membahas dan menyepakati lima persoalan utama Palestina, seperti persoalan keamanan nasional, PLO dan pemerintahan Palestina bersatu.

Kepemimpinan yang kuat

Dalam hemat saya, rekonsiliasi menyeluruh hanya bisa berdiri tegak di atas kepemimpinan yang kuat, yaitu kepemimpinan yang dibentuk dan berjuang atas dasar kehendak rakyat. Kepemimpinan yang kuat adalah kunci utama untuk menyatukan kembali dunia Arab pada umumnya dan nasional Palestina pada khususnya. Dengan kata lain, kepemimpinan yang lemah selama ini telah membuat dunia Arab dan Palestina rapuh sedemikian rupa hingga diacak-acak oleh dua kepentingan di atas.

Dalam konteks dunia Arab, contohnya, saat ini tidak ada pemimpin karismatik seperti Jamal Abdul Nasir yang disegani dan dipatuhi oleh dunia Arab. Sepak terjang dan perjuangan Jamal Abdul Nasir dianggap mewakili aspirasi dunia Arab. Tak hanya oleh rakyat jelata, melainkan juga oleh pemimpin-pemimpin dunia Arab lain.

Begitu juga dalam konteks nasional Palestina. Kepemimpinan yang kuat dan penuh karisma seakan telah ”berpulang ke rahmatullah” bersamaan dengan jasad mendiang Yassir Arafat. Kini yang tersisa hanyalah pemimpin dalam arti yang sangat terbatas, yakni sebatas kelompoknya sendiri.

Lemahnya kepemimpinan telah membuat bangsa Arab dan rakyat Palestina mengalami kekalahan telak. Mereka kalah bukan hanya karena sering kali menjadi korban konflik. Lebih daripada itu, mereka kalah karena telah dikuasai oleh pihak luar yang kemudian membuat mereka terpecah belah.

Kekalahan ini tidak hanya membuat negara-negara Arab lemah di mata rakyatnya sendiri, melainkan juga lemah dalam pandangan masyarakat global. Mereka tidak mampu membulatkan sikap politik untuk kepentingan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka lebih menjadi ”kaki tangan” bagi kepentingan pihak lain, baik itu AS maupun Iran.

Hasibullah Satrawi Pengamat Politik Timur Tengah pada Moderate Muslim Society Jakarta

Tidak ada komentar: