Selasa, 07 Juli 2009

IRAN Kekuasaan Khamenei Mulai Digugat


Selasa, 7 Juli 2009 | 04:46 WIB

Revolusi Islam Iran tahun 1979, yang dipimpin Ayatollah Imam Khamenei, telah berusia 30 tahun. Ini adalah sebuah rentang waktu yang cukup lama. Dalam kurun waktu 30 tahun itu, tentu banyak perubahan, baik perubahan di kawasan Timur Tengah maupun di dalam negeri Iran sendiri. Perubahan itu menyangkut banyak hal, seperti wacana politik, manajemen pemerintahan terutama menyangkut ekonomi, sistem informasi dan komunikasi, serta perubahan generasi.

Wajar saja jika muncul suara lantang di Iran saat ini tentang isu reformasi yang di dalamnya termasuk isu demokrasi dan sistem kekuasaan yang lebih berpusat pada kekuasaan rakyat.

Sistem politik dan kekuasaan di Iran saat ini bersumber pada hasil referendum pada awal tahun 1980-an. Rakyat Iran, melalui referendum itu, menyetujui pembentukan Republik Islam Iran dengan kekuasaan penuh di tangan Wali al Fakih yang saat itu dijabat Pemimpin Revolusi Ayatollah Khamenei.

Mayoritas rakyat Iran sejak revolusi tahun 1979 hingga hari ini tampak tetap mendukung kuat sistem Wali al Fakih itu. Kekuatan politik di Iran dari berbagai latar belakang aliran, baik reformis maupun konservatif, tetap kompak satu suara mendukung sistem Wali al Fakih tersebut. Belum ada kekuatan politik di Iran saat ini yang meminta penghapusan sistem itu.

Namun, perbedaan pendapat terjadi antara berbagai kekuatan politik. Perbedaan pendapat itu terjadi pada dua tataran. Tataran pertama, perbedaan pendapat tentang sejauh mana kekuasaan Wali al Fakih itu, yang saat ini cenderung mutlak. Kini muncul kekuatan politik yang meminta kekuasaan Wali al Fakih dikurangi dan sebaliknya agar kekuasaan presiden diperkuat.

Peneliti senior pada Institut Riset dan Pendidikan Imam Khamenei, Dr Mohammad Fanael Eshkevari, hari Selasa (30/6) di kota Qom mengungkapkan, ”Satu hal yang sangat berbahaya adalah menyusupnya unsur sekuler radikal yang bersembunyi di belakang Mousavi, seperti elemen Mujahidin Enkilab.”

Menurut dia, ada kelompok di Iran saat ini, termasuk di antaranya Mujahidin Enkilab, yang cenderung mengurangi otoritas pemimpin spiritual Ali Khamenei dan lebih memperkuat kekuasaan presiden. ”Namun, kelompok itu masih sangat minoritas di Iran,” kata Eshkevari.

Ada pula Front Partisipasi pimpinan Reza Khatami (adik kandung mantan Presiden Muhammad Khatami) yang memiliki garis politik seperti Mujahidin Enkilab.

Pada tataran kedua, perbedaan pendapat lebih menyangkut isu pragmatis, seperti program ekonomi, korupsi, kebijakan politik luar negeri, dan isu sosial budaya. Kekuatan politik yang menggugat status quo kini tergabung dalam kubu reformis. Pihak yang menolak perubahan adalah kubu konservatif.

Perpecahan kekuatan politik di Iran sudah muncul sejak awal tahun 1990-an. Puncaknya ketika kubu reformis mengantarkan Muhammad Khatami menang pemilu presiden tahun 1997, mengalahkan capres kelas berat dari kubu konservatif Ali Akbar Nateq Nouri.

Bahkan perbedaan pendapat dalam tataran pertama, tentang kekuasaan Wali al Fakih, sudah terjadi sebelum itu, yaitu antara Ayatollah Imam Khamenei sendiri dan deputinya, Ayatollah Montazeri, pada tahun 1986. Montazeri menghendaki pembatasan atas kekuasaan Wali al Fakih. Namun, perbedaan pendapat antara Imam Khamenei dan Montazeri lebih bersifat intelektual dan elitis yang tidak merembes ke ranah publik. Namun, perbedaan pendapat itu berakhir dengan dipecatnya Montazeri dari jabatan Deputi Pemimpin Revolusi. Montazeri diminta lebih fokus pada profesi sebagai peningkatan ilmu agama di kota Qom, pusat pendidikan spiritual Iran ternama.

Kuasai kelembagaan

Akan tetapi, kini perbedaan pendapat itu lebih institusional. Baik kubu reformis maupun konservatif membawa sederetan tokoh politik di belakangnya. Namun, selama ini kekuatan masih ada di pihak konservatif, baik secara pemikiran, kekuasaan politik, maupun militer.

Namun, perpecahan semakin mengkristal.

Bukti terakhir adalah pertarungan antara kubu Mir Hossein Mousavi dan Presiden Mahmoud Ahmadinejad. Akan tetapi, lagi-lagi kubu konservatif masih terlalu kuat. Mantan Presiden Iran Hashemi Rafsanjani yang sedang menduduki posisi kunci di pemerintahan seperti Ketua Dewan Pakar dan Ketua Penentu Kemaslahatan Pemerintah adalah pro-Mousavi, tetapi akhirnya memilih mendukung keputusan Dewan Garda yang memenangkan Ahmadinejad pada pemilu presiden 12 Juni.

Kekuatan konservatif begitu besar. Mantan presiden dari kubu reformis, Muhammad Khatami (1997-2005), tidak bisa berbuat apa-apa selama delapan tahun menjabat karena dikepung ketat kubu konservatif. Bahkan, meletup aksi unjuk rasa mahasiswa pada tahun 2003 menuntut Khatami turun dari jabatan presiden karena dinilai tidak berbuat apa-apa.

Lebih dari itu, kubu konservatif masih menguasai lembaga yudikatif serta aparat keamanan seperti pengawal revolusi dan Basij (milisi loyalis revolusi). Lembaga yudikatif dan aparat keamanan sangat menentukan kemenangan Ahmadinejad. Adapun Basij sangat berperan dalam membungkam aksi-aksi unjuk rasa pro-Mousavi di jalanan Teheran.

Butuh waktu lagi bagi kubu reformis untuk bisa unjuk gigi di Iran. Mungkin harus menunggu generasi keempat, yakni minimal 10 tahun lagi, agar perimbangan kekuatan lebih tercipta. Iran kini baru dalam tahapan generasi ketiga sejak revolusi 1979. (mth)

Tidak ada komentar: