Minggu, 15 Februari 2009

Gaza


Selasa, 06 Januari 2009 | 08:52 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta: Omong kosong Israel bilang mau menghabisi Hamas. Di Libanon, pada 2006, mereka juga bilang mau menghabisi Hizbullah. Namun, setelah meriam tank-tank Ma’rev dibungkam oleh perlawanan Hizbullah, Israel terpaksa mengakui bahwa Hizbullah tidak bisa dibasmi. Seperti halnya dengan Hizbullah, Hamas pun tak mungkin dihabisi.

Sudah lebih dari sepuluh tahun Israel melakukan operasi pembunuhan pimpinan garis keras Palestina. Puluhan komandan pasukan gerilya Palestina mati, tapi ratusan sukarelawan berebut menawarkan diri untuk dilatih mengisi lowongan yang ditinggalkan mereka yang dibantai. Sepuluh dibunuh, seratus yang maju. Politik basmi yang ditujukan pada gerakan yang didukung rakyat adalah pengantar ke jalan buntu.

Koalisi partai yang berkuasa di Israel kepepet waktu. Paling sedikit ada dua ketidakpastian di benak mereka. Benar Obama menempatkan dua tokoh pro-Israel pada posisi utama dalam pemerintahannya, Rahm Emmanuel sebagai Kepala Staf Gedung Putih dan Hillary Clinton, menteri luar negerinya. Tapi mengapa hal itu dilakukannya setelah menang pemilu secara amat meyakinkan? Buat apa merayu masyarakat Zionis Amerika lagi? Bukankah suara mereka sudah dikantonginya? Israel bimbang akan bentuk perubahan yang dijanjikan Obama. Akankah Amerika menjalankan politik luar negeri baru yang lebih menguntungkan bagi Amerika sendiri, atau melanjutkan politik luar negeri lama yang cetak birunya dibuat di meja gambar Tel Aviv? Yang jelas, Amerika sedang kehabisan uang. Nafsu terjun dalam avontur seperti Perang Vietnam atau serbu Irak mungkin masih besar, tapi tenaga dan dana sudah berkurang.

Partai yang berkuasa di Israel juga kepepet waktu karena pada Februari 2009 Israel akan mengadakan pemilihan umum. Diperkirakan, koalisi yang bisa digalang Partai Kadima warisan Ariel Sharon akan menang tipis karena semburan api naga murka bernama Benyamin Netanyahu. Partai politik Netanyahu, Likud, penganut garis keras dalam politik Israel. Netanyahu condong pada kebijakan libas-sana-libas-sini, gagal atau berhasil perkara belakang. Likud mengecam pemimpin Kadima berpolitik lembek, lemah, mengorbankan Yahudi untuk berkompromi dengan kebohongan Arab.

Untuk menangkis tuduhan ini harus dibuktikan bahwa Kadima bisa main kasar. Perlu juga diketahui bahwa operasi ”habisi Hamas” sudah dirancang lebih dari setahun. Hanya alasannya yang baru muncul ketika Hamas mengakhiri gencatan senjata secara sepihak. Penembakan roket ke selatan Israel sebagai alasan perang kurang meyakinkan. Lima tahun penembakan roket Qassam ke Israel menimbulkan enam korban jiwa di Israel; perang lima hari membantai 400 orang Palestina dan melukai 2.000. Hamas juga sudah lama mempersiapkan perang. Terowongan-terowongan digali untuk menyelundupkan senjata dan amunisi menembus blokade dan masuk ke Gaza.

Apa sebenarnya yang dituntut pejuang di Gaza? Hamas berkeras minta jam Palestina diputar kembali ke zaman pra-1940-an. Palestina harus diberi cap Islam yang jelas, di samping cap Kristen dan Yahudi. Hamas mau hidup berdampingan dengan umat Kristen dan Hibrani dalam satu negara Palestina. Mereka tidak suka solusi dua negara, karena tanah subur dan sumber air akan tetap dikuasai Israel. Namun demikian, Hamas bersedia menerima konsep dua negara untuk sementara dan dalam keadaan gencatan senjata jangka panjang, bukan damai. Hak Palestina yang direbut Israel harus dikembalikan, termasuk kampung halaman yang sekarang terletak di Israel.

Garis keras Hamas merupakan pantulan struktur kependudukan di Gaza. Delapan puluh persen penduduk Gaza yang berjumlah 1.500.000 orang adalah pengungsi beserta anak, cucu, dan cicit mereka. Dulu, ketika para Zionis tinggal dalam pengasingan diaspora, dalam setiap kesempatan berkumpul mereka melepas kerinduan akan tanah leluhur mereka dengan seruan ”tahun depan di Yerusalem”. Para pengungsi Palestina yang diusir tentara pendudukan Israel dari kampung halaman mereka juga terus mendambakan kembali ke rumah mereka yang direbut orang Yahudi. Mereka juga secara turun-temurun merindukan mudik, dan berseru ”tahun depan di Haifa, di Tel Aviv, Al-Quds”.

Di dalam kanun Hibrani orang Yahudi dilarang melupakan kezaliman yang mereka alami. Dalam tradisi oral bangsa Arab juga ditemukan hikayat derita atas perlakuan kejam terhadap mereka. Seperti memori Yahudi akan pogrom dan holocaust, ratapan Palestina juga ditembangkan antar-generasi, supaya terus diingat dan terukir dalam memori peradaban mereka. Memori semacam inilah yang menjadi rintangan terbesar bagi perdamaian dan pemicu terkuat untuk perang. Untuk berdamai orang harus bersedia belajar lupa.

Israel sejak semula tidak mengizinkan pengungsi Palestina pulang ke kediaman asalnya. Israel tidak berminat membentuk negara kesatuan Islam-Kristen-Yahudi, yang dalam waktu singkat akan dibanjiri warga negara keturunan Arab. Dibandingkan dengan penduduk Kristen dan Yahudi, orang Arab Palestina memang paling suka, paling sering, dan paling banyak bikin anak. Bisa jadi pada pertengahan abad ke-21 mayoritas warga negara Palestina di negara kesatuan semacam itu adalah pemeluk agama Islam. Itu sebabnya mengapa usul negara kesatuan ditolak Israel setiap kali muncul dalam perundingan damai Arab-Israel. Penolakan itu memperkuat kesan bahwa Israel menjalankan politik apartheid seperti Afrika Selatan. Kesimpulan ini bahkan dibukukan oleh Jimmy Carter, mantan Presiden Amerika Serikat.

Dalam konfrontasi Arab-Israel orang banyak berasumsi bahwa semua negara di Timur Tengah yang bernapaskan Islam akan membantu Palestina. Kenyataannya tidak demikian. Hamas didukung Iran, Irak, dan Libanon, tiga negara dengan mayoritas Syiah. Gaza sudah lama diblokade oleh Israel. BBM, bahan makanan, dan obat-obatan dipersulit masuk ke Gaza. Ketika Israel mulai melancarkan bombardemen terhadap Gaza, banyak penduduk, terutama perempuan, orang jompo, dan anak, berduyun lari menuju pintu gerbang Mesir untuk mengungsi ke negeri umat terdekat.

Pemerintah Hosni Mubarak mengerahkan tambahan 300 penjaga gerbang untuk menutup rapat gerbang penyelamat. Mesir dan Israel bekerja sama dalam blokade ekonomi terhadap Gaza. Hamas dibentuk oleh Ikhwanul Muslimin Mesir 20-an tahun yang lalu. Rezim militer di negeri itu merasa terancam oleh organisasi itu, yang tambah lama tambah berakar di kalangan rakyat jelata Mesir. Membantu Hamas identik dengan membantu Ikhwanul Muslimin, pesaing kekuasaan Mubarak yang amat potensial.

Solidaritas antar-umat pada umumnya juga tampak lemah. Lapangan terbang militer Turki dipakai oleh pesawat tempur Amerika untuk mengebom Irak. Tadinya Amerika mempersenjatai dan membiayai Irak untuk berperang melawan Iran. Saudi berupaya keras agar program nuklir Iran dicegah. Struktur kepentingan di antara negara-negara Arab tidak memberikan banyak harapan manfaat bagi Palestina dari pertemuan Liga Arab yang direncanakan sebagai reaksi terhadap perang Gaza.

Di Palestina sendiri organisasi warisan Yasser Arafat terus dipojokkan oleh Hamas dengan tuduhan antek Barat, musuh Islam. Kampanye yang mengalahkan Fatah di Gaza berbunyi ”Fatah mau berunding terus! Hasilnya Nol Besar. Hamas memilih jalan perang. Hasilnya Israel enyah dari Gaza”. Jika sekarang Mahmud Abbas mulai berbicara tentang tekadnya menghentikan semua perundingan dengan Israel, itu harus diartikan sebagai sukses kampanye Hamas, dan munculnya kemungkinan Hamas dan Fatah merapatkan barisan.

Hamas mengakhiri gencatan senjata secara sepihak dengan tiga tujuan. Pertama, Hamas ingin menunjukkan bahwa garis Fatah yang terus berunding dengan Israel telah gagal karena tidak menghasilkan manfaat apa pun bagi Palestina. Sebaliknya, garis keras Hamas telah mengenyahkan Israel dari Gaza. Kedua, Hamas ingin memancing Israel agar menggunakan infanteri untuk berperang gerilya di kota. Ketiga, Hamas ingin meyakinkan lawan bahwa ia adalah satu-satunya pihak yang berdaulat untuk berunding atas nama rakyat Palestina.

Dengan alasannya masing-masing, Israel dan Hamas memilih jalan perang. Setiap kali debu perang mengendap dan orang menghitung harga, korban jiwa, dan materi di pihak Arab berjumlah 100 kali korban di pihak Israel. Tapi mereka terus berperang, tanpa menang sepenuhnya, tanpa kalah meyakinkan, tanpa kesudahan. Dalam kegelapan itu hanya tampak dua titik terang: sebelum bombardemen Israel suatu survei di kalangan penduduk Gaza menunjukkan bahwa sebanyak 74 persen orang Palestina menginginkan diteruskannya gencatan senjata. Hasil polling itu menunjukkan bahwa betapapun cacatnya gencatan senjata dalam kondisi cekikan blokade ekonomi, rakyat Palestina tetap memilih damai ketimbang perang. Suara dari bawah berbunyi ”hentikan perang”.

Titik terang yang satu lagi adalah kesediaan Hamas menerima solusi dua negara dalam suasana gencatan senjata jangka panjang. Titik terang ini perlu dikembangkan. Gencatan senjata biasanya sekadar stasiun persinggahan antara keberangkatan dan ketibaan. Gencatan senjata jangka panjang secara konsepsional tetap bermakna sebagai stasiun persinggahan, tetapi dibebani harapan bahwa penumpang kereta, masinis, dan kondektur menjadi terbiasa pada kenyamanan lingkungan stasiun sehingga tidak merasa terdorong lagi untuk repot-repot menuju stasiun ketibaan.

Gencatan senjata jangka panjang dijadikan sinonim perdamaian dengan tiga syarat: pengawasan internasional yang ketat, tidak berpihak, dan bergigi; bantuan ekonomi yang terarah pada kesehatan dan pendidikan rakyat; dan pengembalian wilayah secara bertahap sesuai dengan tahapan kepatuhan pada perjanjian gencatan senjata.

NONO ANWAR MAKARIM, Penasihat hukum di Jakarta

Tidak ada komentar: