Jumat, 10 April 2009

Protes Kaum Muda Moldova


Kemenangan Partai Komunis Moldova, dalam pemilu parlemen beberapa hari lalu, harus dibayar dengan pecahnya demonstrasi ribuan kaum muda.

Partai Komunis di bawah pimpinan Presiden Vladimir Voronin memenangi 50 persen suara atau 61 kursi dari 101 kursi parlemen yang diperebutkan. Adapun Partai Liberal meraih 13 persen suara dan Partai Demokratik Liberal memperoleh 12 persen.

Pemantau pemilu internasional menyatakan, pemilu dilaksanakan secara fair meski ada campur tangan pihak berwenang. Karena itu, kaum muda menuding kemenangan diraih secara tidak fair dan direkayasa.

Para demonstran, sebagian besar kalangan mahasiswa dan pencari kerja, menyatakan mayoritas pemilih dan pendukung Partai Komunis adalah orang-orang tua, tetapi banyak di antara mereka yang kini sakit-sakitan.

Sementara itu, jumlah pemilih muda sekarang lebih banyak dibanding orang tua. Karena itu, bagaimana mungkin Partai Komunis bisa memenangi pemilu. Kecurigaan itulah yang memicu pecahnya protes yang kemudian menjadi anarki. Polisi pun menangkap 193 demonstran.

Menurut berita yang tersiar, sekitar 10.000 kaum muda turun ke jalan. Mereka menyerbu gedung-gedung pemerintah dan merusaknya; membakar kursi dan potret presiden. Ajakan untuk memprotes pemilu disebarluaskan lewat SMS, Facebook, penyeranta, dan e-mail, meniru aksi serupa di Ukraina (2004) dan Belarus (2006).

Aksi itu sebenarnya dipicu oleh buruknya kondisi sosial-ekonomi. Moldova, negara kecil yang terletak di antara Romania dan Ukraina, seluas 33.800 kilometer persegi, dan berpenduduk 3,8 juta jiwa, adalah negeri yang miskin.

Setelah lepas dari Uni Soviet tahun 1991, nasib Moldova tak seperti negara-negara Eropa Timur lainnya, yang bisa keluar dari krisis politik dan ekonomi. Moldova tetap dijerat krisis. Karena itu, pada tahun 2001 rakyat marah dan kembali mendukung komunis yang di masa lalu punya program-program sosial.

Akan tetapi, harapan mereka tak kesampaian. Kondisi perekonomian tetap buruk. Kaum miskin menumpuk. Banyak anak muda dan terpelajar mencari kerja ke Barat. Bahkan ada yang mendesak agar Moldova bergabung dengan Romania.

Krisis keuangan global menghapus pula peluang kerja di luar Moldova. Mereka kembali ke negerinya, tetapi tanpa pekerjaan. Anak-anak muda menginginkan kehidupan yang lebih baik. Mereka tak mau hanya berpenghasilan 150 dollar AS per bulan. Ujungnya, gerakan antikomunis pun meledak. Dan, pemilu menjadi momentum.

Ini yang tidak ditangkap penguasa, yang hanya memburu kemenangan demi kekuasaan dengan menghalalkan segala cara. Bisa jadi ini lonceng awal revolusi di Moldova yang diteriakkan kaum muda yang menuntut perubahan.

Tidak ada komentar: