Rabu, 15 April 2009

Demokrasi di Ujung Senjata


Dua orang tewas! Seratus dua puluh tiga orang terluka. Rakyat terpecah belah. Dan, militer kembali campur tangan. Para investor resah.

Itulah harga ”yang harus dibayar” oleh Thailand setelah terjadi tiga pekan demonstrasi yang dihadapi dengan kekuatan militer. Demonstrasi antipemerintah yang dilakukan oleh kekuatan pro-Thaksin, mantan perdana menteri, yang sebagian besar adalah orang-orang pinggiran, masyarakat dari kelas bawah, memberikan pesan yang tegas bahwa bangunan politik di Thailand begitu rentan; rumah demokrasi Negeri Gajah Putih itu mudah goyah.

Mengapa pertumpahan darah seakan menjadi semacam prasyarat bagi tegaknya demokrasi di negeri monarki konstitusional dengan sistem pemerintahan demokrasi parlementer itu?

Sekadar catatan, sejak Thailand menjadi monarki konstitusional pada tahun 1932, sudah 17 piagam dan konstitusi diberlakukan di negeri itu. Hal tersebut memberikan cerminan tingginya instabilitas politik di Thailand. Dan, setiap kali terjadi kudeta militer—sejak tahun 1932 hingga kini sudah terjadi 18 kali kudeta militer. Setiap kali kudeta, setiap kali pula konstitusi dibatalkan.

Apa yang terjadi saat ini, sekali lagi, memberikan gambaran betapa sebenarnya bangunan demokrasi di negeri itu sangat bergantung pada posisi dan sikap militer. Dengan kata lain, militer tetap memainkan peran penentu dalam perimbangan kekuatan.

Tahun 2006, pemerintahan Thaksin Shinawatra dikudeta militer. Tahun lalu pecah demonstrasi antipemerintah pro-Thaksin. Pemerintah jatuh, militer diam saja. Kini para pendukung Thaksin kembali bergerak untuk balas dendam hendak menggusur pemerintahan PM Abhisit Vejjajiva, militer kembali ikut bermain, yakni membela Abhisit dan memukul mundur para demonstran.

Sampai kapan pola semacam itu terjadi? Tidak mudah menjawab pertanyaan itu. Akan tetapi, demokrasi baru akan bisa tumbuh dan berkembang serta akhirnya menjadi bangunan yang kuat di Thailand kalau ada keberanian untuk menyingkirkan ancaman intervensi militer di pemerintahan yang demikian kronik dan kemudian dibarengi dengan penguatan institusi-institusi demokrasi.

Bila institusi demokrasi masih lemah dan para elite politik justru memanfaatkan atau bahkan cenderung menyenderkan kepentingannya pada kekuatan militer, bangunan demokrasi di negeri itu tidak akan dapat berdiri dengan kokoh.

Serangkaian peristiwa politik belakangan ini membuktikan bahwa hal itu masih kuat. Dan, bukan berarti bahwa demonstrasi antipemerintah berakhir juga berarti bahwa ”utang” pemerintah sudah terbayar. Belum! Potensi terjadinya krisis politik masih terbuka. Demikian pula potensi campur tangan militer masih ada.

Tidak ada komentar: