Senin, 22 Desember 2008

Obama dan Dunia Islam


Zuhairi Misrawi

Dalam kampanyenya, Presiden Amerika Serikat terpilih, Barack Obama, berjanji akan mengunjungi negara Muslim untuk menyampaikan visinya.

Setelah terpilih, dia menegaskan kembali tentang pentingnya hubungan AS dengan negara-negara Muslim. Ada sejumlah negara Muslim yang akan menjadi tujuan kunjungannya pertama, yaitu Mesir, Turki, Qatar, dan Indonesia. Kunjungan itu amat penting, terutama dalam rangka mendengarkan langsung visi pemerintahan Obama terhadap dunia Islam.

Sejauh ini sikap yang mengemuka dari dunia Islam terhadap Obama terbelah dua. Pertama, sikap optimis. Dalam banyak kesempatan, dunia Islam secara umum menyambut terpilihnya Obama sebagai langkah maju bagi demokrasi dan kebijakan politik di Timur Tengah.

Hashem Soleh (2008) menyatakan, Obama merupakan harapan bagi semua pihak untuk tegaknya demokrasi di Timur Tengah. Pada prinsipnya, Obama akan mengubah desain demokrasi secara umum. Demokrasi secara nyata dan substantif telah memberikan kemungkinan tentang perubahan.

Darah Muslim

Obama yang mempunyai pertalian darah Muslim dengan bapaknya sudah tidak diragukan oleh sebagian pihak akan mengeluarkan kebijakan yang lebih positif terhadap Timur Tengah. Karena itu, pimpinan Hamas menyambut positif terpilihnya Obama yang akan membawa pembaruan dalam peta politik di Timur Tengah.

Kedua, sikap pesimis. Yang paling menonjol menyatakan sikap pesimis tentu adalah Iran, utamanya Ahmadinajed. Hubungan AS-Iran yang kurang baik dalam beberapa tahun terakhir telah menyebabkan hilangnya kepercayaan terhadap AS. Obama, menurut Ahmadinajed, tidak akan membawa perubahan yang signifikan dalam politik Timur Tengah dan dunia Islam pada umumnya, khususnya Iran.

Meskipun Obama dalam kampanye dan debat politik melawan John McCain tetap pada sikapnya untuk bernegosiasi dengan Iran, Ahmadinajed sudah kehilangan kepercayaan terhadap AS.

Kecurigaan terhadap politik luar negeri AS bukan hal yang tidak beralasan. Sebab, AS sudah terbukti menggunakan ”tangan besi” untuk melakukan perang terhadap pihak mana pun yang dianggap mengancam dan mengganggu kepentingan politiknya. Perang hampir menjadi bagian terpenting dalam bentangan politik luar negeri AS.

Menyikapi kedua pandangan tersebut, sebenarnya ada hal yang menarik diketahui publik. Pandangan Obama terhadap dunia Islam sebenarnya bisa dimulai dari pengalaman dan pandangannya tentang Indonesia. Ia mempunyai catatan kritis yang akan membentuk pandangannya terhadap dunia Islam.

Dalam buku The Audacity of Hope: Thoughts on Reclaiming The American Dream, Obama memberi catatan betapa citra AS di dunia Islam, khususnya di Indonesia, yang menurut dia makin terpuruk.

Setidaknya dalam sebuah survei yang dirilis pada tahun 2003, publik menganggap Osama bin Laden lebih baik dibandingkan dengan George W Bush.

Sebagaimana yang terjadi di negara-negara Muslim lainnya, menurut Obama, di Tanah Air telah terjadi pergeseran yang bersifat signifikan, yaitu perihal pertumbuhan Islam yang militan dan fundamentalis. Obama menambahkan, partai-partai Islam membuat salah satu blok politik terbesar, dengan agenda penegakan Syariat Islam.

Intervensi Timur Tengah, khususnya pemimpin Wahabi, telah mengucurkan dana untuk membangun sekolah dan masjid yang mulai bermunculan di pedesaan.

Sikap yang disampaikan secara eksplisit oleh Obama merupakan penggambaran yang lebih luas tentang dunia Islam. Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dapat dijadikan sebagai contoh terbaik untuk melihat realitas dunia Islam secara lebih luas.

Meski demikian, Obama juga berupaya jujur melihat fenomena tersebut. Menguatnya radikalisme bukanlah sesuatu yang taken for granted, tetapi juga bisa dibaca sebagai dampak dari kebijakan politik luar negeri AS yang tidak tepat.

Sejak Perang Dingin, AS telah membuat kesalahan yang dampaknya mulai terasa sekarang. Dukungannya terhadap Taliban pada Perang Dingin saat melawan Uni Soviet telah memukul balik AS sendiri. Taliban merupakan ”anak haram” AS karena mereka awalnya mendapatkan latihan dan dukungan persenjataan dari AS.

Selain itu, kebijakan perang melawan Irak merupakan kesalahan lain yang memperpanjang imaji buruk AS di mata dunia pada umumnya, dan dunia Islam secara khusus. Kebijakan tersebut telah menjadikan kelompok militan terkonsolidasi dan mempunyai alasan kuat untuk melakukan aksinya. Tidak menutup kemungkinan, benih-benih terorisme justru bermunculan akibat kebijakan politik yang salah itu.

Obama menulis, ”Kadang-kadang, kebijakan luar negeri AS telah berpandangan jauh, sekaligus bermanfaat bagi kepentingan nasional, cita-cita, dan kepentingan bangsa lain. Di saat lain, kebijakan-kebijakan tersebut telah salah jalan, didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru, sehingga mengabaikan aspirasi orang lain, melemahkan kredibilitas dan menciptakan dunia yang lebih berbahaya.”

Tentu saja, pandangannya yang jujur dan jernih ini akan memberikan nuansa yang lebih positif bagi kebijakan luar negeri AS pada masa mendatang. Obama berupaya melihat persoalan yang terjadi di dunia Islam bukan dari ”fakta” yang tampak di permukaan, melainkan justru dari sesuatu yang menjadi dasar dan sebab munculnya fakta itu.

Pandangan obyektif tersebut akan memberikan dampak yang amat luar biasa karena bagaimanapun keterlibatan AS dalam menciptakan demokrasi di dunia Islam sangat penting, baik secara langsung maupun tidak langsung. Artinya, kebijakan politik yang mengedepankan diplomasi, negosiasi, dan persuasi akan memberikan kesan bahwa AS mempunyai ketulusan dan kejujuran dalam membangun demokrasi.

Israel-Palestina

Satu hal yang sedang ditunggu oleh dunia Islam adalah kebijakan Obama soal konflik Israel-Palestina. Dalam beberapa tahun terakhir sudah muncul tanda-tanda baik perihal penyelesaian konflik akut tersebut dengan cara mengakui kemerdekaan Palestina dan Israel. Satu bangsa dengan dua negara. Dalam konflik Israel-Palestina, kerumitan yang sulit dipecahkan adalah perihal konflik internal antara faksi Fatah dan faksi Hamas. Pada 9 Januari nanti pemerintahan Mahmud Abbas berakhir, sementara hingga kini belum dilangsungkan pemilu. Kedua faksi bersikukuh pada sikapnya masing-masing perihal pelaksanaan pemilu.

Meskipun demikian, posisi AS dalam soal Israel-Palestina amat menentukan. Sebab, Israel tidak bisa bertindak apa-apa tanpa dukungan AS. Di sinilah sikap Obama ditunggu dengan harap cemas oleh dunia Islam.

Pada akhirnya, relasi AS dengan dunia Islam harus bersifat mutualistik. Di satu sisi AS harus mampu memahami akar-akar masalah yang menyebabkan munculnya konflik, terorisme, dan krisis demokrasi di dunia Islam, tetapi di sisi lain dunia Islam juga mesti mempunyai komitmen yang kuat untuk mewujudkan perdamaian, toleransi, dan demokrasi. Masalah utamanya, yaitu kurangnya komitmen membangun kultur kebangsaan yang mengakui perbedaan dan keragaman. Kebinekaan kerap kali dibunuh atas nama agama dan penyeragaman.

Zuhairi Misrawi Direktur Eksekutif Moderate Muslim Society (MMS); Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia

Tidak ada komentar: