Minggu, 14 Desember 2008

Demokrasi Jalanan di Thailand


Mahkamah Konstitusi Thailand memaksa mundur Perdana Menteri. Raja tak netral, demokrasi kehilangan tempat.

THAILAND terjerembap dalam demokrasi jalanan. Kita cemas menyaksikan kekuatan massa berulang kali menggulingkan pemerintah di negeri itu. Demokrasi yang menjunjung tinggi suara rakyat lewat pemilu kini (boleh jadi) tak lagi punya tempat dan martabat.

Perdana Menteri Somchai Wongsawat jatuh. Mahkamah Konstitusi membekukan partai berkuasa, Partai Kekuatan Rakyat, yang dinilai curang dalam pemilu. Mahkamah pun melarang Somchai—dan semua petinggi partai—berpolitik. Tapi, sulit dibantah, putusan itu amat dipengaruhi oleh tekanan demonstrasi besar-besaran.

Aliansi Rakyat untuk Demokrasi menggerakkan gelombang demonstrasi itu. Kendati bisa menggalang puluhan ribu orang, kelompok ini digerakkan oleh elite politik yang tak cukup punya basis massa partai yang kuat. Mereka didukung kelompok minoritas masyarakat kelas menengah di kota-kota besar. Tapi, ironisnya, parlemen jalanan bentukan kaum elite ini justru berhasil menyingkirkan partai pemenang pemilu, yang memiliki dukungan mayoritas masyarakat kelas bawah di desa-desa.

Aksi demonstrasi dipandang sangat terhormat bila diletakkan sebagai sebuah koreksi—misalnya terhadap kebijakan pemerintah yang melenceng. Dalam kasus Aliansi, aksi demonstrasi kelompok ini lebih tampak sebagai ”ritual rutin” penggulingan kekuasaan ketimbang koreksi. Dengan alasan pemerintah masih ”berbau” Thaksin Shinawatra, Aliansi dua kali mendongkel penggantinya. Pertama, Juni lalu, Samak Sundaravej, dan kini Somchai, adik ipar Thaksin.

Melalui demonstrasi besar pula, kelompok ini menggoyang Thaksin dua tahun lalu. Mereka menuduh Thaksin korup dan sewenang-wenang. Kemudian, atas dukungan Raja, militer melancarkan kudeta pada Desember 2006. Inilah kudeta kesekian sejak sejumlah perwira muda pertama kali mengambil kekuasaan pada 1932. Militer turut campur di lebih dari 15 kali pemerintahan hasil pemilu. Praktis hanya enam pemilu yang bisa disebut demokratis.

Thaksin harus diakui turut memperkeruh kisruh politik di Negeri Gajah Putih itu. Ia lari dari gelanggang politik dan menjadi buron. Partai Thai Rak Thai bentukannya telah lebih dulu bubar. Selama ini Partai Thai, juga partai penggantinya, Partai Kekuatan Rakyat, dikenal sebagai partai yang ”dermawan”. Dengan jurus derma itu, juga dengan kebijakan populis, Thai Rak Thai memenangi pemilu pada 2001 dan 2005. Begitu pula Partai Kekuatan Rakyat pada tahun lalu.

Tentu saja demokrasi di Thailand kian rapuh di bawah sistem plutokrasi. Dalam sistem politik ini, kaum kaya atau pemilik modal menguasai partai. Akan sangat berbahaya jika ”personal party” ini memenangi pemilu. Kekuasaan bisa terpusat di satu tangan.

Aliansi muncul untuk membendung sepak terjang Partai Thai itu. Tapi, tak berbeda dengan Thaksin dan kawan-kawan, Aliansi pun berlumur elite politik dan birokrasi. Dengan menafikan hasil pemilu, mereka mengepung gedung pemerintahan dan melumpuhkan dua bandar udara. Cara-cara jalanan ini jelas memperburuk citra Thailand.

Tindakan demonstran itu terbukti sama sekali tak dicegah polisi atau tentara, yang mestinya memprioritaskan pengamanan bandara. Kita pun tak melihat Raja Bhumibol Adulyadej turun tangan. Selama ini, Raja yang telah melewati 15 kudeta dan 26 perdana menteri itu berperan sebagai pilar stabilitas negara. Kini amat disesalkan Raja tak lagi berdiri di tengah.

Kelompok yang mendapat restu Raja akhirnya memang akan menang. Tapi karena itu pula dikhawatirkan badai politik di Thailand tak akan kunjung reda.

Tidak ada komentar: