Kamis, 11 Juni 2009

Kontribusi Negara Arab



Sapto Waluyo
(Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform)


Kampanye pemilihan presiden berlangsung panas hingga menyentuh isu sensitif. Salah satunya adalah komentar yang menyudutkan etnis Arab oleh anggota tim sukses salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden. Dalam diskusi yang disiarkan berbagai media itu terdengar lontaran bernada menyudutkan bahwa Arab tidak tidak pernah membantu Indonesia dan pihak yang lebih banyak membantu adalah Amerika Serikat.

Terlepas dari sikap emosional dalam merespons pernyataan lawan politik dan kemungkinan keseleo lidah (slip of the tongue), peristiwa itu menggambarkan betapa dangkalnya pengetahuan politisi kita tentang realitas hubungan internasional dewasa ini. Apabila kita merujuk teori Sigmund Freud tentang alam bawah sadar yang sengaja ditekan, sewaktu-waktu bisa meletup sebagai reaksi spontan. Masalahnya, apakah reaksi negatif terhadap suatu etnis (Arab) dilandasi kebencian (fobia) atau kejahilan (ignorance)? Hal itu terkait masa lalu seorang atau lingkungan organisasi (partai politik) yang memengaruhinya, sehingga membentuk persepsi tersendiri.

Artikel ini berusaha mendiskusikan fakta yang sesungguhnya terjadi dalam hubungan Indonesia dan negara-negara Arab di masa kontemporer maupun dalam lintasan sejarah. Fakta yang sangat melimpah itu sebenarnya telah menjadi pengetahuan umum, sehingga sangat aneh apabila ada tokoh politisi yang tidak mengetahui atau sengaja meremehkannya. Ketidaktahuan terhadap informasi umum sangat fatal, dan hanya mungkin dilakukan seseorang atau kelompok yang benar-benar tidak menyukai fakta itu, sehingga terjadi seleksi atas informasi yang bertebaran.

Ada banyak aspek yang memperlihatkan kontribusi besar negara-negara Arab dalam hubungannya dengan Indonesia, termasuk dari sisi ekonomi.

Sang politisi (Ruhut Sitompul) tampaknya meragukan bantuan (biasanya berkonotasi: ekonomi) yang diberikan negara Arab, kemudian serta-merta membandingkannya dengan bantuan (lebih tepat: pinjaman) yang biasa diberikan AS (sebagian besar melalui lembaga keuangan internasional semisal Bank Dunia atau IMF).

Berdasarkan data BKPM tahun 2007, investasi dari Timur Tengah di Indonesia mencapai 2,17 miliar dolar AS, yang ditanamkan pada sektor infrastruktur dan properti. Qatar Investment Authority, sebagai contoh, membentuk perusahaan patungan dengan pemerintah Indonesia di bidang infrastruktur dengan modal 1 miliar dolar AS. Pada bidang properti, EMAAR dari Uni Emirat Arab membangun kawasan pariwisata internasional seluas 1.200 hektare di Lombok dengan nilai investasi 600 juta dolar AS. Kemudian dalam bidang pembangkit listrik, Konsorsium Gulf Petroleum Limited (Qatar) dan Mining Power Corporation (Bahrain) bersama dengan PT Ridlatama Energi (Indonesia) membangun pembangkit listrik di Indragiri yang berkapasitas 2x150 MW. Investasi yang diserap dari proyek ini nilainya 400 juta dolar AS. Pada bidang konstruksi, investor dari Dubai, LIMITLESS, bekerja sama dengan Bakrie Group membangun pusat pengembangan bisnis di kawasan Kuningan dengan investasi 170 juta dolar AS.

Selain menerima dana dari luar, perusahaan Indonesia sendiri berinvestasi di Timur Tengah. PT PUSRI bersama NPC International Ltd, dan Petrochemical Industries Investment Company membangun pabrik amonia dan pupuk urea di Iran dengan nilai 700 juta dolar AS.

Konsorsium Indonesia yang terdiri atas PT Petrogres, Pupuk Kaltim, Medco Energy, dan Bosowa juga membangun pabrik asam fosfat di Maroko bekerja sama dengan OCP, Maroko. Proyek itu akan menelan investasi sekitar 350 juta dolar AS. Pada bidang konstruksi, PT Waskita Karya membangun menara milik Bin Ladin Group di Dubai senilai 10 juta dolar AS. Sementara, kerja sama bidang jasa keuangan dibuktikan dengan Al Barakah Bank dari Saudi Arabia dan Asian Finance Bank dari Qatar telah resmi membuka kantor perwakilan di Indonesia.

Utusan khusus RI untuk kawasan Timur Tengah, Alwi Shihab, mengungkapkan, investasi Timur Tengah yang masuk ke Indonesia pada 2008 mencapai 7 miliar dolar AS, lalu pada 2009 ditargetkan mencapai 10 miliar dolar. Di samping investasi langsung itu, pemerintah juga menerbitkan sukuk global perdana sebesar 650 juta dolar AS pada bulan April lalu. Obligasi syariah dengan imbal hasil sekitar 8,8 persen itu akan jatuh tempo pada 23 April 2014. Secara geografis, calon pembeli sukuk global Indonesia 30 persen berasal dari Timur Tengah, sekitar 40 persen dari Asia (termasuk domestik), Amerika Serikat hanya 19 persen dan Eropa 11 persen. Penerbitan sukuk ini penting karena dapat menutup defisit APBN sebesar Rp 139,5 triliun atau 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Saat ini, negara Arab sedang kebanjiran dana segar dari "windfall profit" kenaikan harga minyak dunia sekitar 1,6 triliun dolar AS.

Karena itu, anggota Dewan Penasihat World Islamic Economic Forum (WIEC), Tanri Abeng, optimistis target investasi 10 miliar dolar AS dari Timur Tengah akan bisa diraih, asal promosi dipergencar dan prosedur investasi dipermudah. Penanam modal terbesar di Indonesia selama ini memang masih didominasi Jepang dengan total investasi sejak 1967 hingga 2007 sebesar 40 miliar dolar AS. Investor kedua terbesar adalah Inggris dengan jumlah investasi 35 miliar dolar AS.

Pada 2004, Arab Saudi pernah menjadi investor terbesar di Indonesia dengan investasi 3,02 miliar dolar AS atau 29,4 persen dari total investasi sebesar 10,3 miliar dolar AS. Investasi itu pada 4 buah proyek yang meliputi industri pupuk buatan majemuk, industri refinery dan kilang minyak, real estate, dan kantor perwakilan perdagangan. Posisi kedua adalah Jepang dengan nilai investasi 1,68 miliar dolar AS, diikuti Inggris dengan 1,32 miliar dolar AS, Singapura dengan 576 juta dolar AS, dan Australia dengan 481 juta dolar AS. Investasi dari AS, menurut Kepala BKPM, Muhammad Lutfi, berada di luar lima besar. Faktanya, ekspor Indonesia ke AS hanya dua persen, sedangkan 60 persen dari komoditas nasional digunakan untuk kebutuhan sendiri. Karena itu, wajar Indonesia tidak terpengaruh resesi global.

Meskipun total investasinya tak cukup besar, pengusaha Barat memiliki lobi yang sangat kuat dengan orang nomor satu di negeri ini sebagaimana terlihat dari pertemuan khusus mereka dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara (24 Maret 2009). Saat itu, Komuro Seiji dari Marubeni Indonesia mewakili Jakarta Japan Club, Jim Castle dari American Chamber, Leonard Van Heier dari Europe Chamber, dan Peter Fenning dari International Bussines Chamber, menyampaikan aspirasinya terkait peluang bisnis pasca pemilu. Harus diakui investor negara Arab atau Timur Tengah memiliki lobi yang masih lemah, walaupun potensi dananya sangat besar.
Bukan mustahil dana mancanegara berperan penting dalam percaturan pilpres, sekurang-kurangnya untuk menjaga keseimbangan ekonomi makro.

Di antara kandidat yang sedang bertarung, hanya Prabowo Subianto yang tampak berterus terang bahwa sebagian dana kampanyenya berasal dari keuntungan bisnisnya di luar negeri, seperti Kazakstan.

Kontribusi negara Arab secara historik lebih bernilai ketimbang aspek ekonomi. Pengakuan internasional pertama atas kemerdekaan Republik Indonesia pada 1945 berasal dari Mesir dan disusul negara Muslim lainnya. Pengakuan itu tidak datang tiba-tiba, melainkan berkat perjuangan para pemuda dan mahasiswa Indonesia di Timur Tengah dan dukungan organisasi dakwah, seperti Ikhwanul Muslimin di Mesir, serta para ulama Al-Azhar. Mereka sampai membentuk Lajnah Difa'iyan Indonesia atau Komite Pendukung Kemerdekaan Indonesia (lihat Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, Muhammad Zein Hassan, 1978) untuk menolak kolonialisme Belanda.

Dari segi sosial-politik peran warga keturunan Arab di Indonesia juga amat krusial dalam menumbuhkan semangat kebangsaan melawan penjajahan.

Mereka memelopori berdirinya Jami'at Khair yang menjadi cikal-bakal dari Syarikat Dagang Islam (1906) dan Syarikat Islam (1911).

Institusi-institusi itu dapat dikatakan sebagai organisasi modern dan partai politik pertama yang berorientasi kebangsaan mendahului kemunculan Boedi Oetomo (1908) dan Indische Party (1912).

Dengan setumpuk fakta dan data historik itu, lontaran tuduhan terhadap etnik Arab gugur seketika. Masyarakat bertanya-tanya, apakah itu hanya sikap emosional-individual atau cermin dari ideologi partai tertentu yang cenderung kepada Barat? Harus ada corrective action yang tegas dalam hal ini, sebab tak cuma melanggar prinsip kesantunan dan kecerdasan dalam berkampanye. Prospek ekonomi nasional dan kebijakan luar negeri yang bebas-aktif boleh jadi ikut terganggu.

Tidak ada komentar: