Ahmad Syafii Ma’arif
Saya beruntung karena dalam pekan-pekan terakhir ini menerima beberapa artikel yang dikirim penulisnya, Gilad Atzmon (47), mantan Zionis, mantan anggota Angkatan Udara Israel, dan pemusik.
Tahun 1994, Atzmon hijrah dari Jerusalem ke London sebagai protes kekejaman Israel Zionis atas Palestina. Artikel terbarunya, God Blessed America, saya terima 6 Juni, dikirim dari Colorado, dalam kunjungan seminggunya ke AS.
Atzmon adalah cucu anggota pasukan teror sayap kanan Irgun yang pada 1948 membinasakan rakyat Palestina. Setahun lalu, Atzmon bersama sedikit temannya mendirikan situs Palestine Think Tank sebagai media untuk memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Suatu saat Atzmon berkata, jika ia terbunuh, orang akan tahu, agen rahasia Israel Mossad berdiri di belakangnya.
Suara Atzmon dan kelompoknya yang lantang radikal—tetapi secara historis amat mendasar terkait kekejaman Zionisme atas rakyat Palestina—terus bergulir.
Terakhir, kritik keras atas genosida pasukan Israel di Gaza beberapa bulan lalu. Tetapi, hal ini hampir tak pernah muncul di media Barat yang hingga batas-batas tertentu di bawah pengaruh Zionisme, seperti New York Times, BBC, CNN, dan The Guardian. Fakta ini pernah membuat Atzmon mengeluh kepada koleganya, Marry Rizzo, ”… We failed to make it to the main press” (… kita gagal memasuki media pers gelombang besar). Marry menghibur, ”Gilad, you may fail to see it, we do not want to assimilate into the so-called media, we do not need them. From now on we are the media” (Gilad, Anda mungkin gagal melihatnya, kita tak ingin mengunyahkannya ke dalam apa yang disebut media, kita tidak memerlukan. Sejak sekarang, kitalah media itu).
Jawaban Marry meyakinkan Atzmon untuk terus bersuara melawan segala kezaliman dan kekejaman demi perdamaian dan kemerdekaan Palestina.
Berlatar belakang itu, bagaimana reaksi Atzmon atas pidato Presiden Barack Obama di Kairo, 4 Juni lalu? Dibandingkan dua tahun lalu, tulis Atzmon, AS sudah berubah ke arah yang lebih mengundang simpati dan kepercayaan. Meski belum bisa melepaskan diri dari lingkaran Zionis, Obama bertekad memerdekakan Palestina. Kapan berhasil? Waktulah yang bisa menjawab.
Atzmon berandai, ”Sekiranya saya dalam posisi (Obama) itu, saya akan mengultimatum Israel dalam tempo 24 jam untuk membuka Jalur Gaza. Jika gagal melakukan, duta besar di Tel Aviv akan saya panggil, saya hentikan segala bantuan keuangan dan militer kepada Israel, saya bekukan aset-aset Israel karena masih saja sebagai negara teroris, saya akan mulai proses cepat deportasi orang Israel dari Amerika.”
Impian Atzmon tentu tak akan terjadi dalam waktu dekat. Tetapi setidaknya, suara mantan Zionis ini akan berpengaruh dalam jangka panjang, bukan saja di Barat, tetapi secara berangsur juga akan menembus dinding kesadaran orang Yahudi di Israel.
Dalam artikel lain awal Maret 2009, di mata Atzmon, eksistensi Israel digambarkan, ”Hidup di atas Waktu Pinjaman di Sebuah Tanah Curian.” Sadar akan fakta kritikal ini, Atzmon selain mengucapkan selamat tinggal kepada Zionisme juga hengkang dari Israel, menetap di London bersama keluarganya.
Bagi saya, keputusan Atzmon luar biasa nilainya, sebuah tindakan yang seharusnya mengilhami rakyat Palestina dan bangsa Arab lain untuk berhenti berkelahi sesama mereka.
Kesan spontan Atzmon tentang AS di bawah Obama terbaca dalam kutipan, ”Kini saya ada di AS untuk seminggu. Saya menjumpai ratusan orang Palestina dan aktivis solidaritas. Saya bisa mendeteksi tingkat optimisme sejati, sesuatu yang tidak saya rasakan dua tahun lalu. AS sedang mengungkap perasaan letih yang riil terhadap penyerbu Ziocon (kaum konservatif AS di bawah Presiden Bush yang dipengaruhi Zionisme). Kaum Ziocon tidak saja gagal; ia telah membuat rakyat AS menjadi antek kejahatan kolosal, Holocoust (bencana) atas rakyat Irak yang hingga kini merenggut lebih dari 1.300.000 nyawa.”
Bagi Atzmon, pidato Obama di Kairo diharapkan dapat menghapus stigma Barat, ”Islam dan Fasisme adalah satu kata.” Atzmon menulis, ”Tidak seperti boneka Zionis sebelumnya, Presiden AS kini mengerti ide kebersamaan dan saling menghormati.” Lalu mengutip Obama, ”Anda dan kami… memiliki prinsip yang sama, prinsip keadilan dan kemajuan; toleransi dan harga diri bagi semua manusia.”
Saya menyertai optimisme Atzmon tentang Obama dengan pertanyaan kritis. Beranikah Presiden AS ini menekan Israel untuk melihat munculnya negara Palestina merdeka dalam waktu dekat? Jika berani, Obama adalah lelaki sejati yang mampu menerjemahkan jargon perubahan ke dalam tindakan konkret sekalipun penuh risiko itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar